Menurut Buya Masoed kejadian seperti ini pernah terjadi 22 tahun silam. Saat itu dalam kurun waktu 1997-1998 beredar 7.000 eksemplar Injil berbahasa Minang.
Menyikapi hal tersebut kemudian, pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama bersama tokoh-tokoh agama Islam dan gereja-gereja di Sumbar di fasilitasi oleh Komandan Korem (Danrem) Â bertemu dan akhirnya Alkitab berbahasa Minang itu ditarik.
Berbeda dengan saat itu, yang mudah saja tinggal menarik saja karena berbentuk cetakan. Sedangkan saat ini melalui aplikasi tertentu yang tak bisa ditarik begitu saja, karena secara teknologi pemerintah tak memiliki kewenangan mutlak terhadap aplikasi yang terpasang di Google Play Store dan Appstore.
Pemerintah hanya bisa meminta kedua platform aplikasi itu segera menutup aplikasi yang dimaksud. Dan itu pun ada syarat-syarat tertentu untuk bisa dituruti oleh kedua platform tersebut.
Selain itu atmosfer sosial dan budaya saat ini berbeda dengan saat itu. Hal itu terbukti ketika Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno menyurati Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johny G.Plate yang isinya meminta Kemenkominfo menghapus aplikasi kitab suci Injil berbahasa Minang.
Kegaduhan tambah menjadi-jadi terutama di media sosial. Bahkan kata Gubernur yang berkaitan dengan surat dari Gubernur Sumbar pada Menkominfo itu menjadi trending topic di plaform medsos Twitter hari ini.
Ditengah isu SARA yang kini tengah melanda dunia sebagian pihak menyebut bahwa ini adalah bukti nyata dari SARA. Dan ini hanya masalah bahasa saja, mengapa harus dilarang-larang.
Seperti yang diungkapkan Dandhy Laksono lewat akun twitternya @Dhandy_LaksonoÂ
"Bahasa Minang bukan milik satu agama. Dia sarana komunikasi antarmanusia. Manusianya bisa beragama apa saja. Bahasa itu sendiri lebih tua dari agama-agama yang kini dianut. Logika sedasar ini, bagian mana yang susah dipahami? "
Mungkin apa yang dicuitkan Dandhy itu ada benarnya, tapi tentu saja masyarakat Minang memiliki prespektif berdasarkan budaya mereka terkait masalah ini.
Pemerintah benar-benar harus bijak menyikapi hal ini, agar kegaduhan dan polemik tidak lebih menjadi -jadi lagi. Dan akhirnya menjadi bahan gorengan beberapa pihak yang tengah menunggu airnya menjadi keruh dan mereka bisa mengambil keuntungan dari air yang tak lagi jernih itu.