Sebetulnya tak begitu mengejutkan ketika Muhammad Siradjudin Syamsudin atau lebih dikenal dengan nama Din Syamsudin, mantan Ketua Umum Pengurus Muhammadiyah, mengeluarkan pernyataan tentang pemakzulan Presiden.
Dosen Pemikiran Politik Islam Universitas  Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini, beberapa kali memang berbicara cukup keras tentang ketidakadilan yang dirasakan masyarakat, termasuk yang dianggap terjadi pada pemerintahan Jokowi.
Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia(MUI) ini menyampaikan bahwa pemakzulan pemimpin dimungkinkan dalam kerangka pemikiran politik Islam.
Mengutip pandangan dari Pemikir Politik Islam Al Mawardi, Din menerangkan terdapat 3 syarat untuk memakzulkan Kepala Negara.
"Pemakzulan itu dalam pendapat beberapa teoritikus politik Islam, Al Mawardi yang terkenal itu, pemakzulan imam, pemimpin, mungkin dilakukan jika syarat tertanggalkan," ujar Din dalam seminar nasional bertema 'Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di era pandemi Covid-19, Senin (01/06/20). Seperti dilansir CNNIndonesia.Com.
Pertama, tidak adanya keadilan dan menciptakan kesenjangan sosial. Berlaku adil merupakan syarat utama seorang pemimpin. Jika hal ini tak dipenuhi oleh Kepala Negara maka ia layak untuk diberhentikan.
"Ketika pemimpin berlaku tak adil, hanya menciptkan satu kelompok lebih kaya atau ada kesenjangan ekonomi" ujarnya.
Jika memang demikian, ukuran ketidakadilan itu hanya berupa kesenjang ekonomi, hampir seluruh pemimpin di dunia ini mungkin layak untuk dimakzulkan lantaran faktanya hampir tak ada satu pun negara yang terbebas dari kesenjangan ekonomi.
Hal ini bisa diukur melalui koefesien Gini rasio, rasio yang mengukur tingkat kesenjangan ekonomi masyarakat di suatu wilayah.
Saat ini negara yang memiliki koefesien Gini rasio terendah adalah Denmark dengan nilai 0,25 sedangkan yang tertinggi adalah negara di Afrika, Namibia dengan angka 0,70.
Angka acuan Gini rasio 0 untuk pemerataan sempurna sedangkan 1 merupakan gambaran kesenjangan sempurna.