Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menguji Efektivitas PSBB dengan Bansos ala Pemerintah Jokowi

19 April 2020   11:47 Diperbarui: 20 April 2020   21:35 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah pembatasan kegiatan tertentu di suatu wilayah yang diduga terinfeksi Covid-19 untuk mencegah meluasnya potensi penyebaran.

Hal ini bisalah disebut sebagai institusionalisasi gerakan physical distancing seperti halnya lockdown atau kalau di Indonesia disebut Karantina Wilayah sesuai Undang-Undang nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.

PSBB merupakan aplikasi  physical distancing yang pelaksanaannya setingkat di bawah karantina wilayah. Kondisi PSBB adalah pembatasan, bukan penutupan atau penghentian kegiatan di suatu wilayah yang sudah menerapkan PSBB.

Sejauh ini di Indonesia sudah ada 17 daerah yang sudah diizinkan menerapkan kebijakan PSBB antara lain DKI Jakarta, Kota dan Kabupaten Bogor, Bekasi, Tanggerang, Depok, Tanggerang Selatan. Wilayah Bandung Raya dan sebagian wilayah Sumedang.

Di luar 3 provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten, ada beberapa daerah lain yakni Kota Tegal, Makasar, akan menyusul sejumlah daerah lain yang kini izinnya sedang diproses oleh Kementerian Kesehatan, karena ada syarat tertentu yang harus terpenuhi jika kebijakan PSBB ini akan diterapkan di suatu daerah.

Tak semua yang mengajukan PSBB disetujui oleh Kemenkes, seperti Kota Palangkaraya di Kalimantan Tengah dan Kabupaten Sorong di Papua.

Kebijakan PSBB yang ditetapkan pemerintah pusat ini masih memungkinkan masyarakat untuk tetap bergerak untuk hal-hal yang esensial seperti untuk memenuhi kebutuhan pokok, bekerja, dan urusan kesehatan.

Begitupun untuk perputaran ekonomi ada 8 sektor usaha yang masih diperbolehkan bergulir di masa PSBB yang durasinya selama 14 hari dan bisa diperpanjang sesuai kondisi yang ada.

Pertanyaannya adalah apakah kebijakan ini ada sanksinya? Tentu saja ada. Mengacu pada PSBB yang dilakukan di wilayah DKI Jakarta, Gubernur Anies mengungkapkan bahwa sanksi yang akan diberikan berdasarkan Pasal 93 Juncto 9 UU no 6/2018 tentang Karantina Kesehatan, seperti yang dilansir Kompas.Com.

"Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraaan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah)."

Apakah ini akan efektif? Belum tahu juga karena dalam implementasinya kebijakan PSBB ini sebagian besar hanya berdasarkan "kesadaran masyarakat" untuk mengikuti aturan yang ada.

Padahal kesadaran masyarakat itu juga sangat berkaitan erat dengan kehidupan ekonomi mereka. Ketika mobilitas dibatasi dan seluruh masyarakat Indonesia di minta untuk bergerak secara minimal, atau tetap berada di rumah saja, lantas penghidupan mereka bagaimana.

Bagi masyarakat yang tempat kerjanya menerapkan kebijakan Work From Home (WFH) sementara ini mungkin tak akan ada masalah.

Tapi bagaimana mereka yang merupakan pekerja harian dan masyarakat yang bekerja di sektor yamg tak memungkinkan untuk melakukan WFH, seperti Manufaktur misalnya.

Mereka akan terus bekerja dan keluar rumah dan hal ini membuat kebijakan PSBB menjadi tak efektif. Mencoba menghentikan backbone angkutan masal KRL seperti yang diminta oleh beberapa Kepala Daerah di Wilayah tersebut tak akan membuahkan hasil apapun bagi PSBB, malah menambah runyam situasi seperti yang terjadi beberapa hari lalu.

Hentikan lah hulu permasalahannya, tutup semua kantor diluar 8 sektor tersebut, atau antar jemput seluruh karyawannya.

Tapi itu sulit dilakukan, jika memang mau benar-benar PSBB  berjalan efektif, bantuan sosial yang diberikan secara parsial oleh pemerintah Jokowi seperti saat ini harus di ubah menjadi menyeluruh tanpa mengenal kelas.

Artinya seluruh rakyat Indonesia tanpa terkeuali harus mendapatkan bantuan, atau meminjam istilah Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri, Negara membayar seluruh penduduknya untuk tetap berada di rumah.

Seperti yang dilakukan di Jepang, Singapura, beberapa negara lain di Eropa.  Jepang yang saat ini memiliki jumlah kasus positif Covid-19 menurut John Hopkins University  sebanyak 10.269 kasus, memberikan bantuan kepada seluruh penduduknya tanpa terkecuali sebesar 100.000 yen atau setara dengan Rp. 14,5 juta per orang.

Kebijakan bantuan tunai ini diumumkan langsung oleh Perdana Menteri Shinzo Abe seperti yang dilansir Nikkei  Asian Review 

"Kami segera bergerak cepat  untuk memberikan uang kepada setiap orang"ujar Shinzo Abe dalam.konferensi Pers Jumat (17/04/20).

Awalnya pemerintah Jepang akan memberikan bantuan tunai secara parsial, hanya bagi keluarga  yang terdampak saja dengan jumlah 300.000  yen per keluarga.

Namun karena dianggap prosedur dan pemilihan siapa yang berhak menjadi rumit, akhirnya parlemen Jepang kemudian mendorong Shinzo Abe untuk mengubah skema bantuan tunai, menjadi untuk semua orang dengan jumlah yamg dikurangi menjadi 100.000 Yen per orang per bulan.

Yah, memang kita tak bisa membandingkan kekuatan fiskal Jepang dan Indonesia, namun seharusnya tetap saja hal ini harus dipikirkan untuk dilakukan pemerintah Jokowi.

Atau paling tidak kategori penerimanya harus dinaikan tak hanya warga miskin saja namun juga kelas menemgah juga harus dibayar untuk tetap berada di rumah.

Karena pada dasarnya tak ada yang tak terpengaruh oleh krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 ini. Jika jumlah kelas menengah di Indonesia menurut data yang dirilis World Bank  Januari 2020 lalu, adalah 115 juta jiwa ditambah dengan warga miskin sebanyak 26,5 juta Jiwa maka ada 141,5 juta jiwa yang di beri bantuan tunai oleh pemerintah Indonesia agar PSBB ini bisa berjalan efektif.

Karena jika diamati kedua kelas inilah yang memenuhi jalan dan tak berada di rumah saat pelaksanaan PSBB berlangsung. Sebagian besar alasan mereka keluar yah untuk urusan pemenuhan kebutuhan ekonomi dirinya dan keluarganya.

Pemerintah Jokowi harusnya melakukan pendekatan yang berbeda dalam menyiapkan social safety net bagi masyarakat terdampak krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19, tak seperti krisis-krisis sebelumnya, yang bersumber dari masalah finansial, moneter, dan sosial politik.

Lantas uangnya dari mana? Kan Pemerintah sudah mengeluarkan Perppu no 1 2020 tentang Kebijakan Keuangan, yang memungkinkan defisit anggaran dilebarkan menjadi diatas 3 persen.

Selain realokasi dan refocusing anggaran , pemerintah juga bisa berhutang melalui penjualan surat utang domestik maupun global. 

Atau meminjam uang secara bilateral maupun multilateral kepada lembaga -lembaga keuangan dunia seperti Bank Dunia, IMF atau ADB.

Hal yang terpenting penuhi kebutuhan rakyat agar PSBB ini bisa berjalan efektif dan masyarakat tetap dalam kondisi tak kekurangan sehingga situasinya tetap kondusif, dan penyebaran Virus Corona seri terbaru SARS NCov-2 segera berhenti atau.paling tidak trennya menurun.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun