Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Berharap Corona Tuntas Saat Musim Panas, Pantas?

8 April 2020   21:06 Diperbarui: 8 April 2020   23:40 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Theconversation.com

Mungkin siapapun beberapa bulan lalu tak pernah berpikir dunia yang kita tinggali ini akan menjadi seperti sekarang. Kehidupan seluruh manusia di dunia ini jungkir balik 180 derajat.

Coronavirus seri terbaru SARS NCov-2 memaksa kita untk tak lagi bersalaman, memeluk pun menjadi haram dilakukan. Lebih dari 3 minggu saya tetap di rumah dan sebagian besar penduduk Indonesia melakukan hal yang sama.

Bosan dan jenuh mulai menghinggapi diri, rasanya sudah hampir di ubun-ubun. Namun kita harus tetap sadar bahwa langkah untuk berdiam diri di rumah, dan bekerja dari rumah merupakan tindakan paling bijaksana yang harus dilakukan saat ini.

Sambil menjaga kebersihan dan imunitas diri tentunya. Syukurlah saya di beri keleluasan untuk bisa bekerja dari rumah, masih banyak saudara-saudara kita yang masih harus bertarung dengan potensi cukup besar terpapar Covid-19 penyakit yang disebabkan oleh virus corona seri terbaru ini.

Akh kapan pandemi Covid-19 akan berakhir? Mungkin itulah pertanyaan semua manusia di bumi ini. Sudah tak sabar kita beraktivitas normal kembali.

Berbagai penelitian telah dilakukan oleh berbagai ahli dari berbagai Universitas terkemuka di dunia untuk mengetahui kemungkinan kapan pandemi Covid-19 akan berakhir? Apakah cuaca yang panas akan mengakhiri atau paling tidak mengurangi penyebaran virus ini?

Dilansir oleh Situs Live Science, saat ini sedang dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah penyebaran virus corona akan melambat atau bahkan berhenti sama sekali saat suhu dunia mulai memanas akibat perubahan cuaca.

Penelitian yang dilakukan oleh dua orang profesor dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) Amerika Serikat,  Qasim Bukhari dan Yusuf Jameel, mereka merilis hasil penelitiannya lewat jurnal Social Science Research Network.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh keduanya menemukan bahwa virus SARS NCov-2 tak bisa menyebar secara efektif dalam suhu yang lebih hangat dan kelembaban yang tinggi.

Mereka menganalisa penyebaran virus di seluruh bagian dunia dan menemukan penyebaran virus ini terjadi sangat efektif di wilayah yang suhu daerahnya berkisar antara 3 hingga 17 derajat celcius. Dengan kelembaban antara 4o hingga 90 persen.

Sementara di wilayah yang suhu daerahnya lebih dari 18 derajat Celcius dengan kelembaban lebih dari 90 persen, penyebaran virus ini lebih tidak efektif.

Namun bukan berarti masyarakat di wilayah yang lebih hangat suhunya bisa abai akan penyebaran Covid-19, Physical distancing masih harus dilakukan secara disiplin, karena penularan masih terus terjadi walaupun tak akan secepat di wilayah dengan suhu yang lebih dingin.

Hal ini mengacu pada penyebaran virus influenza yang masih merupakan keluarga virus corona yang akan berhenti menyebar secara masif saat musim panas tiba.

Penelitian senada pun dilakukan oleh fisikawan University of Utah Amerika Serikat,  Safeez Saffarian. Saat ini Saffarian sedang melakukan penelitian untuk memelajari bagaimana cangkang luar pelindung virus merespon suhu udara panas dan kelembaban udaranya.

"Coronavirus menyebar mirip dengan virus influenza, ketika tetesan lendir kecil menggantung di udara. Virus kehilangan infektivitas karena partikel kehilangan integritas struktural," ujar Saveez Saffarian  seperti dilansir dari Live Science

Penelitian ini diharapkan dapat memetakan kebijakan yang tepat untuk dilakukan oleh para pemangku kepentingan dan masyarakat pada umumnya dalam memerangi Covid-19.

Tak hanya imuwan Amerika Serikat saja yang meyakini bahwa Covid-19 akan kesulitan menyebar pada iklim yang lebih panas dengan kelembaban tinggi.

Seperti dilansir oleh BBC.Com ,Miguel Araujo, peneliti dampak perubahan lingkungan pada keragaman hayati dari Museum Ilmu Alam Nasional di Madrid, Spanyol.

Menurutnya Iklim berperan besar karena mempengaruhi stabilitas struktur virus di luar tubuh inangnya. Artinya semakin panas iklimnya semakin tak efektif pula virus itu menyebar.

Ia sangat yakin bahwa virus corona ini memiliki sessitivitas yang cukup tinggi terhadap suhu udara dan kelembaban.

Namun hal berbeda ditemukan oleh peneliti dari Harvard University, analisa mereka, virus Covid-19 ini tak memiliki sensitivitas terhadap cuaca dan suhu seperti disebutkan oleh banyak pihak.

Buktinya Guangxi yang merupakan daerah tropis yng suhu udaranya panas dan kelembabannya tinggi virus ini tetap menyebar dengan cepat.

Demikian pula dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) , mereka belum menemukan bukti yang valid bahwa virus corona seri terbaru ini, akan berhenti atau setidaknya berkurang penyebarannya karena cuaca panas.

Entahlah, sampai kapan pandemi ini akan berakhir, semoga saja benar, musim panas akan mengakhiri katastropi ini.

Sependek pengetahuan saya tentang pandemi Covid-19, saya masih yakin virus ini akan berakhir saat musim panas tiba seperti halnya influenza.

Walaupun bukan berarti terlena, kita harus tetap mengikuti arahan pemerintah untuk tetap melakukan Physical distancing dengan tetap tinggal di rumah, menjaga kebersihan dan imunitas diri.

Semoga.......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun