Namun bukan berarti masyarakat di wilayah yang lebih hangat suhunya bisa abai akan penyebaran Covid-19, Physical distancing masih harus dilakukan secara disiplin, karena penularan masih terus terjadi walaupun tak akan secepat di wilayah dengan suhu yang lebih dingin.
Hal ini mengacu pada penyebaran virus influenza yang masih merupakan keluarga virus corona yang akan berhenti menyebar secara masif saat musim panas tiba.
Penelitian senada pun dilakukan oleh fisikawan University of Utah Amerika Serikat, Â Safeez Saffarian. Saat ini Saffarian sedang melakukan penelitian untuk memelajari bagaimana cangkang luar pelindung virus merespon suhu udara panas dan kelembaban udaranya.
"Coronavirus menyebar mirip dengan virus influenza, ketika tetesan lendir kecil menggantung di udara. Virus kehilangan infektivitas karena partikel kehilangan integritas struktural," ujar Saveez Saffarian  seperti dilansir dari Live Science
Penelitian ini diharapkan dapat memetakan kebijakan yang tepat untuk dilakukan oleh para pemangku kepentingan dan masyarakat pada umumnya dalam memerangi Covid-19.
Tak hanya imuwan Amerika Serikat saja yang meyakini bahwa Covid-19 akan kesulitan menyebar pada iklim yang lebih panas dengan kelembaban tinggi.
Seperti dilansir oleh BBC.Com ,Miguel Araujo, peneliti dampak perubahan lingkungan pada keragaman hayati dari Museum Ilmu Alam Nasional di Madrid, Spanyol.
Menurutnya Iklim berperan besar karena mempengaruhi stabilitas struktur virus di luar tubuh inangnya. Artinya semakin panas iklimnya semakin tak efektif pula virus itu menyebar.
Ia sangat yakin bahwa virus corona ini memiliki sessitivitas yang cukup tinggi terhadap suhu udara dan kelembaban.
Namun hal berbeda ditemukan oleh peneliti dari Harvard University, analisa mereka, virus Covid-19 ini tak memiliki sensitivitas terhadap cuaca dan suhu seperti disebutkan oleh banyak pihak.
Buktinya Guangxi yang merupakan daerah tropis yng suhu udaranya panas dan kelembabannya tinggi virus ini tetap menyebar dengan cepat.