Pandemi Covid-19 yang kini terus merangsek  ke seluruh bagian dunia. Berbagai macam penelitian terus dilakukan untuk menghentikan atau paling tidak memperlambat penyebaran Virus yang berasal dari Wuhan China ini.
Salah satu pendekatan yang kini mulai ramai diperbincangkan adalah pendekatan Herd Immunity.
Herd Immunity atau kekebalan kelompok seperti yang dilansir dari laman Business insider, merupakan bentuk perlindungan tak langsung dari penyakit menular.
Namun kondisi ini bisa terjadi manakala sebagian besar populasi penduduk kebal terhadap infeksi, sehingga mampu melindungi indivudu yang tidak kebal terhadap infeksi.
Kebal terhadap infeksi ini bisa terjadi bila populasi tersebut pernah terpapar virus tersebut dan berhasil sembuh, atau bisa juga melalui vaksinasi.
Karena Covid-19 belum ditemukan antivirusnya maka kekebalan itu bisa terjadi datang dari mereka yang sudah terpapar virus tersebut dan bisa disembuhkan.
Menurut laman MIT Review Technologi, Herd Immunity bisa terjadi jika sudah cukup populasi penduduk yang terinfeksi oleh virus corona, artinya biarkan saja virus ini menginfeksi sebanyak mungkin orang, jika terinfeksi terus bisa bertahan hidup, nantinya virus itu akan berhenti menginfeksi dengan sendiri.
Sebab jika sudah banyak orang yang kebal maka virus itu akan kesulitan menemukan inang yang rentan untuk diinfeksi dan penyebaran akan berhenti secara alami.
Kekebalan tubuh seseorang akan timbul ketika dirinya terinfeksi dan bisa bertahan, hingga sembuh. Nah, orang tersebut kemudian akan kebal terhadap virus tersebut karena sudah memiliki antibodi untuk melawan virus.
Namun pendekatan herd Immunity ini bisa disebut radikal dan sangat berbahaya, karena harus membiarkan banyak orang terinfeksi terlebih dahulu dan membuat sistem kesehatan akan kewalahan dengan tsunami pasien yang terus berdatangan.
Dengan kondisi seperti itu bisa jadi akan banyak korban yang meninggal dunia, karena kamar Intensif Care Unit (ICU) dan bangsal pengobatan tak mampu menampung lonjakan pasien.
Pendekatan herd Immunity ini sempat terlontar dari mulut Perdana Menteri  Belanda Mark Rutte, dalam sebuah acara televisi.
Ia berucap dengan mengekspos lebih banyak orang untuk tertular Covid 19, peluang untuk sembuh akan semakin besar, dan penghentian penyebaran pun akan semakin cepat.
Namun, karena mendapat respon yang negatif dari para  ahli, Rutte kemudian menarik ucapannya itu seraya berkilah itu merupakan pendekatan keilmuaan saja, tidak untuk dilaksanakan.
Sebenarnya Herd Immnuity ini pernah dianggap berhasil  ketika mengakhiri penyebaran virus Zika di Salvador, Brasil pada tahun 2002, ketika 63 persen penduduk Salvador terpapar virus Zika, dan kemudian virus itu berhenti menyebar.
Menurut ahli epidemologi asal Harvard University, Marc Lipsitch, hal yang sama pernah terjadi pada pandemi Flu Spanyol pada tahun 1918.
Yang saat itu membutuhkan 50 persen populasi yang kebal baik karena terpapar maupun di vaksinasi  agar pandemi itu berakhir
Nah, masih menurut MIT, virus corona diperkirakan menulari 2- 2,5 orang, sehingga secara matematis butuh 60-70 persen orang terinfeksi untuk bisa herd immunity.
Semakin cepat penyebaran, semakin banyak pula yang dibutuhkan persentase populasi terpapar untuk mencapai herd immunity.
Selain itu, sampai sekarang belum dapat dipastikan yang sudah dapat disembuhkan dari terinfeksi Covid 19, punya kekebalan tubuh untuk tak terinfeksi lagi.
Namun karena virus ini bersifat dinamis dan terus berubah ada kemungkinan yang pernah terinfeksi bisa saja terinfeksi lagi.
Namun konsep herd Immunity ini tak akan pernah dipilih karena sebagian besar pihak lebih memilih konsep physical distancing dan agrresive testing. Karena kedua pendekatan tersebut sudah menunjukan bukti dan manusiawi dibanding Herd Immunity.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H