Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Lockdown Bisa Memperkeruh Keadaan, Makanya Jokowi Tak Berniat Melakukannya

17 Maret 2020   08:39 Diperbarui: 17 Maret 2020   09:38 845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus infeksi positif COVID 19 di Indonesia terus bertambah, hari Senin (16/03/20) Juru Bicara Nasional COVID 19, Ahmad Yurianto memaparkan terdapat 17 kasus tambahan menjadi 134 kasus positif infeksi virua corona.

Kondisi ini tentu saja sangat mengkhawatirkan masyarakat, di dorong rasa khawatir tersebut. Untuk memutus rantai penyebarannya beberapa pihak mengusulkan, bahkan sebagian lain menekan Pemerintah Jokowi untuk segera melakukan Lockdown.

Lockdown serupa dengan isolasi, lockdown merupakan istilah bahasa Inggris untuk kata terkunci, jika dikaitkan dengan COVID 19. Lockdown berarti mengunci seluruh akses keluar masuk manusia dalam suatu wilayah tertentu, bisa sebuah kota, provinsi bahkan seluruh negara.

Tujuannya adalah untuk mengurangi penyebaran virus berukuran 0,06 mikron dan memiliki bentuk seperti crown ini.

Jika sebuah wilayah di Lockdown maka seluruh kegiatan publik akan dihentikan, warga masyarakat tak boleh keluar dari bangunan.

Segala mobilitas manusia praktis dihentikan kecuali untuk urusan pemenuhan kebutuhan pokok dan masalah kesehatan.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, pernah mewacanakan untuk melakukan lockdown di wilayah Jakarta.

Walaupun kemudian hal ini dimentahkan oleh Presiden Jokowi, seperti yang ia ungkapkan dalam Konferensi pers yang dilaksanakan di Istana Bogor Senin (16/03/20) kemarin.

Ia menyatakan bahwa pemerintahnya tak pernah terpikirkan untuk melakukan Lockdown di Indonesia baik di daerah tertentu secara lokal apalagi sscara nasional.

"Tidak ada kita berpikir ke arah kebijakan lockdown," tegas Presiden Joko Widodo, Seperti yang dilansir CNBCIndonesia.Com

Lockdown ini dilakukan agar penyebaran COVID 19 bisa ditahan dan dikurangi. 

Nah pertanyaannya seberapa efektif Lockdown dapat mengurangi penyebaran COVID 19.

Lockdown memang dapat mencegah penyebaran virus corona dari luar daerah ke dalam wilayah tersebut. Namun jika virus tersebut sudah ada di dalam daerah tersebut kebijakan lockdown ini menjadi tidak efektif, selain hanya untuk mengurangi penyebaran keluar wilayah tersebut.

Sebagai contoh, Italia melakukan lockdown pada akhir Februari 2020 lalu di Provinsi Lombardi wilayah paling parah terkena pandemi COVID 19.

Tetapi tak menunjukan hasil apapun, virus corona sudah keburu menyebar ke wilayah lain. Bahkan saat Pemerintah Italia kemudian menerapkan lockdown secara nasional kasus baru malah naik secara signifikan.

Sejak lockdown dilakukan secara nasional di Italia, pada tanggal 9 Maret 2020 telah terjadi peningkatan kasus sebanyak 15 ribu kasus, 3 kali lebih banyak dibandingkan sebelum lockdown dilakukan.

Nah,  misalnya di DKI dilakukan lockdown penyebaran akan tetap terjadi baik di dalam wilayah DKI maupun di wilayah-wilayah lain karena virus itu memang sudah menyebar.

Di Indonesia saat ini baru masuk tahap permulaan, jadi pertambahan jumlah kasus pasti akan terus terjadi apapun yang dilakukan termasuk lockdown.

Jika lockdown tetap dilakukan maka keadaan akan bertambah buruk dengan berbagai permasalah yang akan mengiringinya.

Salah satu hal yang paling penting adalah masalah kesiapan logistik, suplai pangan dan berbagai kebutuhan pokok lainnya.

DKI Jakarta seperti diketahui bersama suplai kebutuhan pokoknya tergantung pada pasokan dari daerah lain.

Kebayang ga sih, kalau misalnya Jakarta melakukan lockdown tanpa persiapan yang matang. Satu kebijakan yang jauh lebih sederhana saja seperti pembatasan transportasi umum yang dikeluarkan oleh Anies hari Senin (16/03/20) kemarin tanpa kajian dan persiapan matang, harus berujung kekisruhan, antrean mengular,kepadatan tak terkendali terjadi.

Harga-harga kebutuhan pokok sudah dapat dipastikan akan meroket bila lockdown dilakukan. Pada saat bersamaan barang-barang kebutuhan pokok akan langka dipasaran.

Ujung dari kondisi ini adalah keresahan sosial yang bisa saja bsrakhir menjadi situasi chaos.

Sekarang saja, harga kebutuhan pokok sudah mulai merangkak naik. Beberapa harga kebutuhan pokok seperti beras kini sudah mulai naik meskipun relatif kecil.

Saat saya kemarin belanja disalah satu supermarket besar di Jakarta terlihat beberapa kebutuhan pokok ssperti gula sudah mengalami kenaikan, menurut salah satu penjaga supermarket tersebut harga gula sudah naik sejak sebulan terakhir, kini harga gula mencapai Rp. 17.000 per kilogram, naik sekitar 15 persenan dari bulan lalu.

Begitupun harga telur naik menjadi Rp.28.000 per kilogram padahal biasanya paling tinggi harganya Rp 25.000 per kilogran.

Selain telur, daging ayam pun harganya ikut merangkak naik, walaupun tak terlalu signifikan hanya naik sekitar 5 persenan menjadi Rp. 37.000 per kilogram.

Tekanan harga kebutuhan pangan akan ssmakin kuat akibat pasokan berkurang. Apalagi jika lockdown dilakukan tanpa persiapan yang matang.

Prosedur dan kajian yang jelas serta matang sangat diperlukan jika memang suatu saat lockdown itu diberlakukan.

Tanpa kejelasan prosedur maka yang akan terjadi adalah kebingungan dan keresahan yang terjadi di masyarakat.

Bagi kalangan atas, golongan orang berpunya mungkin kondisi demikian tak akan terlalu menjadi masalah karena mereka sudah berjaga-jaga sejak dini.

Bisa saja kenaikan harga tersebut di dorong oleh aksi mereka dalam mempersiapkan diri menghadapi kondisi seperti ini.

Lantas bagaimana bagi golongan ekonomi bawah golongan "the have not" seperti kebanyakan masyarakat, tentu saja akan sangat berat.

Hal ini bisa berpotensi meresahkan masyarakat dan ujungnya bisa menimbul situasi chaos.

Jika kita mengacu pada saat Provinsi Hubei di lockdown oleh pemerintah China, memang terlihat berhasil. Namun ada biaya ekonomi yang sangat besar ketika itu dilakukan. Belum lagi efek psikologis yang harus ditanggung oleh warga Kota Wuhan dan Hubei.

Secara ekonomi tindakan Lockdown akan berpengaruh sangat besar. Karena biasanya ini juga disertai dengan penghentian ssbagian besar para pekerja.

Memang teknologi saat ini memungkinkan karyawan bekerja dari rumah atau Work from Home (WFH). Tetapi faktanya 80 persen aktivitas pekerjaan membutuhkan mobilitas manusia.

Apalagi Jakarta sumbangannya terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 25 persen dan pemgaruhnya terhadap besaran ekonomi nasional sebanyak 60 persen.

Secara nasional jika kita hitung dengan asumsi  75 persen kegiatan pelaku ekonomi dan karyawan akan dihentikan.

Ini sama dengan 45 persen  kegiatan ekonomi nasional, karena posisi Jakarta bagi perekonomian nasional sangat besar.

Jika dilakukan secara nasional, lockdown selama 1 bulan berpotensi mengurangi pertumbuhan ekonomi ssbesar 0,5 persen hingga 1 persen.

Nah ini pun hitung-hitungan berdasarkan sektor riil saja tanpa menghitung  dampak keuangan. Jika itu dihitung dampaknya akan sangat besar terhadap perekonomian nasional.

Pasar keuangan sudah dapat dipastikan akan merespon negatif, terhadap lockdown.  Apalagi jika kita menghitung juga dampak distribusi  dari tindakan ini.

Paling terdampak, ya kelas menengah ke bawah lah yang paling terkena. Karena di kelas inilah kegiatan ekonomi langsung atau tatap muka terjadi.

Tanpa lockdown saja perekonomian Indonesia sudah susah dan harus menghadapi melemahnya perekonomian global, yang diperkirakan akan berpengaruh terhadap 1 persen pertumbuhan ekonomi nasional.

Intinya sih, jika lockdown diberlakukan di DKI Jakarta apalagi secara nasional konsekuensinya terhadap perekonomian nasional sangat besar.

Sebenarnya dibanding lockdown lebih baik pemerintah menyiapkan fasilitas kesehatan seperti test kit COVID 19 dan rumah sakit khusus  untuk menanggulangi kasus-kasus yang berat.

Walaupun tingkat kematian karena virus corona ini sangat kecil 3 hingga 5 persen saja dan hanya berdampak fatal pada kelompok rentan.

Namun jika mengacu pada kondisi di China,  15 persen dari terinfeksi butuh perawatan di rumah sakit. Artinya jika kemudian ada kasus positif COVID 19 sebanyak 1000 saja dibutuhkan paling tidak 150 kamar perawatan khusus isolasi.

Bagaimana jika jumlahnya berkali lipat, tentu jumlah kamar yang dibutuhkan lebih besar lagi. Dan ini sangat berat untuk dipenuhi oleh DKI Jakarta jika lockdown dilakukan.

Belum lagi masalah strategi tracking, yang hingga saat ini belum terkomunikasikan dengan baik. Masyarakat saat ini seperti buta terhadap riwayat perjalanan seseorang yang sudah terinfeksi.

Seharusnya detail akitivitas dan perjalanan seseorang positif terinfeksi COVID 19 itu bisa dipublikasikan secara informatif.

Selain itu, informasi terkait cluster daerah yang paling berbahaya terinfeksi harus diinformasikan atas dasar data yang valid, sehingga masyarakat bisa menghindari wilayah tersebut.

Dengan teknologi digital seperti saat ini, hanpir setiap penduduk Indonesia saat ini memiliki ponsel, kan pergerakan masyarakat mudah untuk di tracing, kemana saja dia pergi pada jam berapa.

Social distancing yang kini tengah digencarkan sosialisasinya bisa terus lebih diaplikasikan, bila perlu buat aturan seperti Peraturan daerah atau peraturan pemerintah agar bisa memaksa.

Hentikan semua kegiatan yang pola nya mengumpulkan masa dalam jumlah besar atas dasar apapun. 

Jadi berbagai tindakan alternatif ini bisa dipakai dibandingkan dengan lockdown yang implikasi jauh lebih rumit dan biaya ekonominya sangat besar.

Presiden Jokowi berkali-kali mengatakan social distancing merupakan cara terbaik dalam melawan penyebaran COVID 19.

Selain tentu saja self higienies seperti mencuci tangan dengan baik, menjaga imunitas tubuh menjadi sangat penting.

Syukurlah Jokowi selaku Presiden memutuskan untuk tak melakukan lockdown, mungkin karena berbagai perhitungan tersebutlah ia memutuskan untuk tak melakukan lockdown saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun