Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tolak Ahok Jadi Kepala Badan Otorita Ibu Kota Baru, Dendam Kesumat Beribu Karat Alumni 212 terhadap Ahok

6 Maret 2020   10:44 Diperbarui: 8 Maret 2020   00:38 786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ahok lagi, lagi-lagi Ahok, itulah mungkin yang ada dipikiran para "alumni" 212. Baru saja kemarin (5/03/20)  pagi saya tulis disini bahwa pencalonan Ahok sebagai Kepala Badan Otorita Ibukota Baru  akan banyak menuai protes terutama dari kelompok yang itu-itu juga, ya 212 and the gank.

Sore hari nya, hal itu jadi kenyataan. Mereka beramai-ramai menyatakan penolakannya jika Ahok menjadi CEO dari Badan pengelola ibukota baru tersebut.

Kelompok yang merupakan bagian dari Alumni 212 yang menamakan dirinya Mujahid 212 menolak pencalonan Ahok untuk jabatan tersebut.

"Sebagai calon kepala daerahnya [Ibu Kota Negara baru] adalah Ahok, maka Kami katakan dan nyatakan secara tegas. Kami menolak keras Ahok lantaran fakta-fakta pribadi Ahok merupakan seorang jati diri yang memiliki banyak masalah," kata Ketua Mujahid 212 Damai Hari Lubis, seperti yang dilansir CNNIndonesia.com, Kamis (5/3/20).

Bukan kali ini saja mereka bertindak seperti itu, mereka sepertinya memiliki dendam kesumat yang begitu dalam terhadap Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama ini.

Bermula saat Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan Jokowi yang saat itu maju sebagai calon Presiden dalam Pemilihan Presiden tahun 2014 lalu.

Kemudian mereka melakukan aksi unjuk rasa meminta kasus penistaan agama yang mereka tuduhkan ke Ahok untuk ditindak lanjuti.

Aksi Bela Islam, Aksi 411, hingga 212. 212 merujuk pada 2 Desember 2016.  Mereka lakukan untuk menenatang Ahok yang saat itu menjadi Gubernur DKI Jakarta dan dalam proses untuk mencalonkan kembali sebagai Gubernur DKI.

Dalam perjalanannya kemudian Ahok dinyatakan bersalah dan vonis 1 tahun 8 bulan dijatuhkan kepada Ahok, sehingga ia harus menjalani hukuman di Mako Brimob Kelapa Dua Depok.

Selepas menjalani hukuman, Ahok terus berkiprah di dunia politik dengan bergabung bersama PDIP, partai yang mengusung Jokowi sebagai Presiden untuk kedua kalinya.

Ketika kemudian Menteri BUMN Kabinet Indonesia Maju, Erick Thohir menunjuk Ahok sebagai Komisaris Utama Pertamina, kelompok Alumni 212 yang dimotori FPI dan Eks HTI  kembali melakukan protes.

Mereka mencoba memanas manasi serikat pekerja grup Pertamina, untuk menolak Ahok sebagai Komut di Pertamina.

Seraya mengancam akan melakukan demo besar jika Ahok jadi ditunjuk jadi Komut Pertamina. Demonstrasi pengerahan masa besar merupakan senjata andalan mereka, karena sejatinya Alumni 212 itu tak memiliki kemampuan apapun selain aksi demo.

Namun ancaman tersebut tak membuat Erick Thohir bergeming, ia tahu persis kapabilitas dan integritas Ahok bisa menjadi katalisator bagi perubahan Pertamina menjadi perusahaan yang lebih baik.

Selepas ditetapkan menjadi Komut dan Ahok kini terus bekerja untuk memperbaiki perusahaan supaya lebih baik lagi. Rupanya Rombongan Alumni 212 ini tak berdiam diri, mereka terus menggoyang Ahok.

Akhir bulan Februari 2020 lalu aksi dengan tema "Berantas Mega Korupsi Selamatkan NKRI", tiba-tiba menjadi demo meminta Ahok untuk mundur menjadi Komut Pertamina.

Marwan Batubara salah satu tokoh dalam demo 212 tersebut, menyatakan bahwa Ahok harus mundur dari Pertamina karena terlibat dalam 10 kasus Korupsi, tanpa menyebutkan secara rinci dereta kasus tersebut.

"Supaya Anda sadar bahwa di samping kasus penistaan agama, sebetulnya Ahok itu punya sekitar 6-10 kasus korupsi lagi," kata Marwan saat berorasi di Aksi 212di Monas Jakarta Pusat, Jumat (21/2/2020). Seperti yang dilansir CNBCIndonesia.com.

Menanggapi aksi ini Erick Thohir dengan santai menyatakan bahwa wajar saja dalam demokrasi menyatakan ketidakpuasannya, namun yang jelas ia merasa puas dengan kinerja Pertamina saat ini.

"Saya tidak mau dikotomi Komisaris atau Direksi. Keduanya sudah menjalankan dengan baik kok, sehingga Pertamina kondisinya lebih baik lagi dalam beberapa bulan terakhir," Ujar Menteri BUMN Erick Thohir.

Masih meradang, dengan sikap cuek pemerintah terkait keinginan memundurkan Ahok sebagai Komut Pertamina, karena faktanya memang Ahok bekerja dengan baik. 

Eh kemudian Presiden Jokowi mengumumkan calon Kepala Badan Otorita Ibukota Baru, yang kembali melibatkan nama Ahok di dalamnya, sebagai calon CEO  beserta 3 calon lainnya, yakni Bambang Brodjonegoro, Tumiyana, dan Abdullah Azwar Anas.

"Kandidat memang banyak. Satu, Pak Bambang Brodjonegoro, dua Pak Ahok, tiga Pak Tuniyana, empat Pak Azwar Anas," kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta Senin (02/03/20). seperti yang saya kutip dari Kompas.com.

Peraturan Presiden terkait Badan Otorita Ibukota Baru akan segera ditandatangi oleh Jokowi dalam minggu ini, termasuk di dalamnya Chief Excecutive Officer (CEO) lembaga yang akan mempersiapkan dan mengelola ibukota baru yang berada di kawasan timur pula Kalimantan ini.

Mendengar nama Ahok kembali disebut untuk memimpin sebuah lembaga negara setingkat menteri ini, sontaknya saja Alumni 212 meradang tak terhingga.

Selain menolak Ahok sebagai calon pimpinan Badan Otorita Ibukota Baru, Mujahid alumni 212 juga menolak pemindahan Ibukota Negara dari Jakarta ke Penajam Pasir Utara Kalimantan Timur dengan alasan, negara harus kembali berutang karena memindahkan Ibukota Negara itu memerlukan biaya yang cukup besar.

Sepertinya memang kelompok yang menamakan dirinya alumni 212 ini memiliki dendam yang teramat dalam terhadap Ahok, baru jadi kandidat saja sudah blingsatan.

Ahok memang pantas menjadi kandidat terkuat Kepala Badan Otorita Ibukota Baru, integritasnya tak diragukan, secara profesional pun mumpuni, dan ia tipe pendobrak yang akan mampu membawa pembangunan ibukota baru berjalan dengan baik.

Meskipun secara Teknis, Bambang Brodjonegoro lebih menguasai permasalahan dibanding Ahok, karena sebenarnya ia lah salah satu arsitek utama rencana pemindahan ibukota baru, mulai dari Feasibility studies hingga perencenaan pembiyaannya.

Namun siapa pun yang dipilih Jokowi kelak, tentu saja sudah berdasarkan pertimbangan yang sangat matang. Hal itu merupakan hak prerogatif Presiden untuk menunjuk siapapun sebagai CEO Badan Otorita Ibukota Baru.

Masyarakat boleh bersuara tapi hanya sebatas itu, demikian juga Alumni 212. tak perlu juga mengancam-ngancam Pemerintah jika kehendaknya tak digubris.

Sumber.

Detik, Kompas, CNBC

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun