"Kandidat memang banyak. Satu, Pak Bambang Brodjonegoro, dua Pak Ahok, tiga Pak Tuniyana, empat Pak Azwar Anas," kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta Senin (02/03/20). seperti yang saya kutip dari Kompas.com.
Peraturan Presiden terkait Badan Otorita Ibukota Baru akan segera ditandatangi oleh Jokowi dalam minggu ini, termasuk di dalamnya Chief Excecutive Officer (CEO) lembaga yang akan mempersiapkan dan mengelola ibukota baru yang berada di kawasan timur pula Kalimantan ini.
Mendengar nama Ahok kembali disebut untuk memimpin sebuah lembaga negara setingkat menteri ini, sontaknya saja Alumni 212 meradang tak terhingga.
Selain menolak Ahok sebagai calon pimpinan Badan Otorita Ibukota Baru, Mujahid alumni 212 juga menolak pemindahan Ibukota Negara dari Jakarta ke Penajam Pasir Utara Kalimantan Timur dengan alasan, negara harus kembali berutang karena memindahkan Ibukota Negara itu memerlukan biaya yang cukup besar.
Sepertinya memang kelompok yang menamakan dirinya alumni 212 ini memiliki dendam yang teramat dalam terhadap Ahok, baru jadi kandidat saja sudah blingsatan.
Ahok memang pantas menjadi kandidat terkuat Kepala Badan Otorita Ibukota Baru, integritasnya tak diragukan, secara profesional pun mumpuni, dan ia tipe pendobrak yang akan mampu membawa pembangunan ibukota baru berjalan dengan baik.
Meskipun secara Teknis, Bambang Brodjonegoro lebih menguasai permasalahan dibanding Ahok, karena sebenarnya ia lah salah satu arsitek utama rencana pemindahan ibukota baru, mulai dari Feasibility studies hingga perencenaan pembiyaannya.
Namun siapa pun yang dipilih Jokowi kelak, tentu saja sudah berdasarkan pertimbangan yang sangat matang. Hal itu merupakan hak prerogatif Presiden untuk menunjuk siapapun sebagai CEO Badan Otorita Ibukota Baru.
Masyarakat boleh bersuara tapi hanya sebatas itu, demikian juga Alumni 212. tak perlu juga mengancam-ngancam Pemerintah jika kehendaknya tak digubris.
Sumber.