Tanaman Ganja sebenarnya merupakan tanaman tua yang sudah ada dan dimanfaatkan ribuan tahun lalu, sejak jaman pra-sejarah. Ganja di jaman tersebut banyak di gunakan untuk kebutuhan spritual dan pengobatan.
Menurut Profesor Geografi University of Kansas Amerika Serikat, Barney Warf, Ganja pertama kali ditemukan di Benua Asia kemudian menyebar ke hampir seluruh dunia, melalui berbagai proses penyebaran diantaranya melalui misi-misi perdagangan dan proses alamiah seperti terbawa aliran air dan hembusan angin.
Di Eropa, Menurut Barney di temukan jejak-jejak bahwa bangsa Viking dan Jerman kuno menggunakan ganja sebagai obat untuk meredakan rasa sakit pada saat melahirkan dan sakit gigi.
Tanaman ganja pertama kali di diklasifikasikan pada abad ke 17 oleh Carl Linnaeus seorang ahli botani, Dokter, dan zoologi asal Swedia. ia merupakan perancang sistem modern yang digunakan untuk mengklasifikasikan dan memberi nama sebuah organisme.
Tanaman ganja ini bisa diklasifikasikan menjadi 3 species terpisah yakni Cannabis Sativa, Cannabis Indica, dan Cannabis Rudelalis. Cannabis Sativa terdiri dari 2 subspesies Cannabis Sativa dan Cannabis Sativa L, subspesies yang pertama mengandung zat psikoaktif yang di sebut Tetrahidrokanabinol atau THC.
Sedangkan Cannabis Sativa L atau sering disebut Rami ini sama sekali tak mengandung zat THC tersebut. Tanaman ganja jenis ini banyak dipakai dalam berbagai industri seperti minyak, pakaian, hingga bahan bakar.
Cannabis Indica merupakan tanaman ganja yang pertama kali ditemukan di India oleh Jean Baptiste Lamarck di akhir abad ke 17, jenis ini memiliki tingkat zat THC yang paling tinggi di banding Cannabis jenis lain.Â
Terakhir Cannabis Rudelalis, tanaman ganja jenis ini pertama kali ditemukan oleh ahli botani asal Rusia D. E. Janischevisky, pada tahun 1924. Tanaman ganja ini dipercaya sudah bervolusi di kawasan Asia Tengah khususnya di wilayah, yang kita kenal saat ini sebagai Mongolia dan Siberia Selatan.
Varietas Cannabis Rudealis ini merupakan salah satu jenis tumbuhan langka, dengan sifat autoflowering yang unik.Â
Namun bisa saja gagasan itu lahir seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang kemudian mampu mengidentifikasi kandungan yang berbahaya dalam tumbuhan yang berbentuk seperti jari itu.
Di Indonesia tanaman ganja mulai dilarang sejak jaman Pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1927. Kemudian pada tahun 1976 melalui Undang-Undang nomor 9 tahun 1976 ganja dimasukan ke dalam narkotika golongan I.
Kemudian pada tahun 2009 pemerintah kembali memperbaharui UU tentang Narkotika dan masih tetap memasukan ganja sebagai bahan narkotika golongan I.Â
Seperti dikutip dari sini, jika perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman tersebut beratnya melebihi 1 kilogram atau melebihi 5 batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda maksimum, yakni Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).Â
Berbeda dengan Indonesia ada beberapa negara di Eropa dan beberapa negara di kawasan Amerika seperti Uruguay, Peru, dan argentina kemudian beberapa negara bagian di Amerika Serikat, serta negara kawasan Oseania seperti Australia dan New Zealand yang sudah melegalkan ganja baik untuk kebutuhan medis maupun rekreasional.
Belanda, Uruguay, Kanada, dan Australia sudah mengesahkan ganja obat karena pasar ganja obat di dunia ini sangat menggiurkan, bayangkan Rp. 742 trliun per tahun berputar dalam bisnis legal ganja obat ini.
Menurut Pew Research yang melakukan survey di Amerika Serikat pada tahun 2017 lalu, 61 persen orang dewasa di AS mendukung legalisasi ganja, jauh meningkat dibanding survey yang dilakukan oleh lembaga yang sama pada tahun 200 yang mendukung legalitas tanaman ganja hanya 31 persen saja saat itu.
Umumnya terdapat tiga alasan pelegalan ganja, pertama untuk medis, kemudian rekreasional dan terakhir untuk alasan budidaya sendiri. Di Jerman, Portugal, dan Argentina ganja boleh dipakai dengan aturan-aturan yang sangat ketat. memiliki ganja dalam jumlah yang sedikit bukan merupakan kriminal di sana.
Sementara di Australia, New Zealand, Belgia, Perancis, Spanyol, Slovenia, Meksiko, dan Sri Lanka legal untuk kebutuhan pengobatan saja. Karena sejatinya ganja tak hanya mengandung zat psikoaktif yang bisa memberi efek melayang-layang penuh kegembiraan.
Namun terdapat 483 konstituen kimia lain yang terkandung dalam ganja, 66 diantaranya bisa memberikan manfaat bagi kesehatan yang biasa disebut Cannabinoid.
Selain itu ada banyak zat lain yang bisa memberi manfaat secara medis. Misalnya THC (Delta-9 tetrahydrocannabinol) yang memiliki efek analgesik atau penghilang rasa sakit, sifat anti-spasmodik atau menghilangkan kejang-kejang, anti-tremor, anti-inflamasi dan lainnya.Â
Zat lain bernama (E)--BCP (Beta-caryophyllene) dapat digunakan sebagai pengobatan nyeri, arthritis (peradangan sendi), sirosis (peradangan dan fungsi buruk pada hati), mual, dan lainnya. Cannabidiol (CBD) mengandung sifat anti-inflamasi, anti-biotik, anti-depresan, anti-psikotik, anti-oksidan, serta berefek menenangkan.
Hal inilah kemudian membuat stigma ganja sebagai narkotika, secara global mulai berangsur-angsur bergeser. Riset-riset yang dilakukan berbagai lembaga riset medis menguak manfaat ganja bagi kebutuhan pengobatan, bahkan mampu mengobati beberapa penyakit berat.
Usaha legalisasi ganja memang terjadi secara meluas di hampir seluruh dunia, Namun rasanya hal itu tak akan berlaku di Indonesia. Pihak Badan Narkotika Nasional yang bertanggung jawab terhadap pengawasan, pemberantasan dan penindakan Narkotika di Indonesia dengan tegas menyatakan ganja adalah narkotika, tak boleh dimiliki, dibudidayakan apalagi dipakai untuk alasan apapun termasuk pengobatan.
Walaupun saat ini sebuah Lembaga hukum bernama Institute for Criminal Justice and Reform (ICJR), sedang menyiapkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). ICJR akan mengajukan judicial review Pasal 8 UU no 35 tahun 200, pasal itu mengatur larangan penggunaan ganja untuk kebutuhan kesehatan.
Sumber.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H