Memimpin TVRI itu berat, permasalahannya banyak begitu kata Tantowi Yahya, saat Helmy Yahya meminta pandangan sang Kakak, terkait keinginannya untuk mengikuti seleksi calon Direksi Utama TVRI.
Namun setelah berkonsultasi dengan istrinya dan ada seseorang yang mengingatkan dirinya bahwa ia besar berkat TVRI.
Helmy mengabaikan pandangan Tantowi sang kakak tadi. Ia ikut seleksi dan akhirnya pada bulan November 2017, Helmy resmi menjadi  Dirut TVRI.
Itulah awal cerita Helmy Yahya yang menjadi Dirut TVRI untuk periode 2017 hingga 2022. Akh memang nasib berkata lain belum habis masa jabatannya Helmy kemudian diberhentikan, walaupun dengan hormat, tapi tetap saja merasa tak hormat karena yang namanya di copot dari jabatan ditengah jalan itu akan mengganggu rekam jejak profesional seseorang.
Seperti sudah kita tahu semua, saya pun sudah menulis berkali-kali tentang isu TVRI ini. Kisruh di TVRI yang berawal dari pemberhentian Helmy ini oleh Dewan Pengawas tanpa alasan yang jelas.
Padahal fakta di lapangan yang kasat mata, menunjukan TVRI sedang dalam kondisi yang menggembirakan.
Rating dan share naik cukup tajam, karyawan-karyawannya seperti menemukan gairah kembali, secara teknis juga oke, dan tata kelola keuangan pun jauh lebih baik terbukti dengan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memberi predikat Wajar Tanpa Pengecualian, padahal sebelum Helmy masuk laporan keuangan TVRI selalu disclaimer.
Lantas, apa masalahnya dong jika mengacu pada performa sebuah korporasi penyiaran apa yang dilakukan Helmy terhadap TVRI itu nyata terlihat memenuhi Key Performance Index yang diharapkan.
Namun Dewan Pengawas TVRI yang terdiri dari 5 orang, mem- fabrikasi alasan dengan membawa-bawa jati diri bangsa dan beberapa masalah ke administrasian yang seharusnya tak sampai harus melakukan pemecatan.
Proses administrasi hak siar Liga Inggris di soal mereka, katanya Helmy dengan kalimat kasarnya ugal-ugalan, menuduh berbohong bahwa hak siar itu di dapat secara gratis namun ternyata ada tagihan.
Padahal Dewas salah memahami bahwa gratis yang dimaksud Helmy adalah Free to Air, masyarakat bisa menikmati pertandingan Liga Inggris secara gratis, tak perlu berbayar seperti beberapa tahun belakangan ini.
Kemudian Dewas menjual istilah jati diri bangsa dalam konten siaran TVRI. Discovery Channel yang sarat informasi teknologi , lingkungan, dan Sains secara umum, mereka anggap tak mewakili jati diri bangsa.
Sebagai sebuah Lembaga Penyiaran Publik tentu saja TVRI harus berperilaku berbeda dengan Televisi Swasta. Namun Helmy Yahya juga bukan orang bodoh yang tak tahu aturan itu.
Buktinya, menurut Jajaran Direksi TVRI minus Helmy Yahya, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanya 0,06 persen konten asing dari seluruh konten siaran TVRI.
Lagipula, konten siaran TVRI seperti DC itu tak melanggar apapun terkait jati diri bangsa, pemahaman Dewas tentang konten siaran jati diri bangsa ini bagai katak dalam tempurung, sempit tanpa visi yang jelas.
Atau Dewas pura-pura berpikiran sempit demi membela kepentingan tertentu, seperti banyak gosip beredar.Â
Walaupun kebenaran gosip ini belum clear, tapi rasanya DPR atau siapapun yang berhak melakukan audit pengawasan menilisik gosip ini.
Kuasa Dewas dalam Struktur organisasi TVRI ini terlalu besar, sehingga potensi pemecatan semena-mena yang berujung konflik itu sangat besar.
Helmy sempat bercerita pula, bagaimana dalam operasional sehari-hari Dewas begitu aktif dan ketat .
Selama ia memimpin di tahun 2018, 168 surat dilayangkan kepada direksi dalam setahun perihal segala kegiatan yang sedang berjalan di TVRI.
Setiap konten harus diketahui mereka, Â bahkan untuk perjalanan ke Bandung pun harus atas izin mereka secara tertulis.
Dewas sudah tak seperti sebuah komite pengawas lagi, namun sudah berlaku direksional dimana Dewas membuat kontrak manajemen.
Jika jajaran direksi tak mampu  memenuhi kontrak manajemen tersebut, bisa langsung diberhentikan Dewas.
Padahal menurut Peraturan Pemerintah (PP) nomor 13 Tahun 2005 Tentang LPP-TVRI tidak demikian aturannya.
Hal ini lah yang kemudian membuat posisi Dewas seperti dewa di TVRI, dengan mudah mereka bisa memberhentikan direksi meskipun tanpa alasan yang jelas, seperti yang di alami Helmy Yahya.
Tinggal diberikan Surat Pemberitahuan Rencana Pemberitahuan (SPRP), di beri waktu satu bulan untuk memberikan sanggahan.
Bulan berikutnya langsung diberhentikan, menurut Helmy situasi seperti ini akan menjadi tidak sehat siapapun Direksinya.
Makanya ia kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), selain tentu saja Helmy merasa nama baiknya sebagai seorang profesional berpotensi tercoreng akibat pemecatan ini.
Dirinya tak berminat kembali menjadi Direktur Utama TVRI, walaupun misalnya PTUN memenangkan dirinya kelak.
"Saya tidak berpikir saya kembali juga pak, terus terang. Demi Allah, berat pak," kata Helmy saat memberi klarifikasi terkait pemecatannya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi I DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa (28/01/20). Seperti yang dilansir CNNIndonesia.com
Ia mau kembali  jika tata kelola TVRI benar-benar berubah. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H