Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

KPK Lumpuh di Tanduk Banteng atau Layu Terikat UU KPK Baru?

15 Januari 2020   07:09 Diperbarui: 15 Januari 2020   07:12 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di awal tahun 2020 langsung memggebrak, walaupun konon katanya operasi tangkap tangan (OTT)  ini sisa pekerjaan dari KPK periode lalu.Namun tetap saja apresiasi harus kita haturkan kepada para penyelidik  KPK.  

Hari Selasa (07/01/20) lalu 1 rangkaian OTT dilakukan KPK  di Jawat Timur, Bupati Sidoarjo Saiful Ilah beserta pejabat-pejabat SKPD di lingkungan Pemerintah Daerah dan beberapa orang pihak swasta beserta barang bukti uang suap sebesar Rp 1,83 miliar.

Transaksi uang suap ini mengenai proyek infrastruktur di lingkungan Kabupaten Sidoarjo.

Rangkaian OTT ke 2 hari Rabu (08/01/20) terjadi di Jakarta yang melibatkan komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan dan kader-kader dari partai pemenang pemilu 2019 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Rangkaian OTT ke 2 inilah yang kemudian menimbulkan kehebohan dan berbuntut panjang. Karena saat OTT terjadi biasanya diikuti dengan penggeledahan tempat-tempat yang diduga menjadi tempat kejadian perkara.

Nah kali ini berbeda bahkan untuk menempatkan sekedar KPK Line tak bisa dilakukan di kantor Dewan Pimpinan Pusat PDIP. 

Lain dengan kejadian di Kantor KPU dan rumah dinas Komisioner KPU di Menteng Jakarta Pusat mereka sangat kooperatif, ruangan kerja dan rumah dinas berhasil di segel KPK.

Pertanyaannya kemudian mengapa PDIP begitu resisten terhadap proses penyelidikan kasus korupsi ini.

PDIP beralasan bahwa petugas KPK yang datang ke kantor DPP PDIP tidak dilengkapi dengan surat-surat sebagaimana mestinya atau jika kita mengacu pada ucapan salah satu anggota legislatif dari PDIP Masinton Pasaribu dalam acara Indonesia Lawyer Club (ILC) di TVOne Selasa (14/01/20).

Bahwa petugas itu tak diberi izin karena petugas KPK tak bisa membacakan alasan mereka datang ke kantor PDIP.

Sebagai tambahan informasi 2 orang kader PDIP yang ditangkap beserta Wahyu Setiawan itu bernama Ilham dan Doni yang bertugas membantu Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto.

Dan yang akan di segel  untuk kemudian  di geledah KPK itu adalah ruang Sekjen PDIP. Buat saya itu agak aneh kenapa kalau memang tak ada yang salah kenapa takut buat di geledah.

Memang ada isu-isu yang kenceng di luar, disinyalir ada keterlibatan Sekjen PDIP dalam kasus ini meskipun hal ini masih harus dibuktikan lebih lanjut.

Hasto yang sempat diketahui keberadaannya sesaat setelah KPK melakukan OTT Wahyu, menyangkal bahwa dirinya terlibat dalam kasus ini.

Sebenarnya kasus suap ini tentang apa sih?  Kasus suap yang terjadi terkait dengan penetapan pergantian antar waktu (paw) yang terjadi dalam partai PDIP.

Menurut Komisioner KPU Pramono Ubaid, dalam acara ILC, kasus ini berawal dari Calon Legislatif PDIP daerah Pemilihan Sumatera Selatan, Nazarudin Kiemas meninggal dunia sesaat sebelum pemilu dilaksanakan.

Dalam perhitungan kemudian ia memperoleh suara terbanyak, nah karena itu lah kemudian ia digantikan oleh Riezky Aprilia yang memperoleh suara terbanyak kedua.

Riezky pun sudah dilantik dan saat ini duduk sebagai anggota DPR-RI, kemudian dalam perjalanannya entah apa yang terjadi di Internal PDIP tiba-tiba mereka mengajukan permintaan fatwa Mahkamah Agung tentang PAW  oleh Harun Masiku.

Sebelumnya PDIP sempat mengajukan Judicial review terkait PKPU Nomor 3 Tahun 2019 di mana permohonan PDIP dikabulkan sebagian oleh MA. 

PDIP pada pokoknya meminta calon yang telah meninggal dunia atas nama Nazarudin Kiemas, nomor urut 1, dapil Sumatera Selatan I, suara sahnya dialihkan kepada calon atas nama Harun Masiku

Untuk menaikan Harun Masiku ini PDIP telah mengirimkan 3 kali surat permohonan kepada KPU. Entah apa hebatnya Harun Masiku ini sampai PDIP begitu ngotot menjadikan orang yang kini buron itu jadi anggota DPR.

Namun KPU tetap pada pendiriannya, sstelah melakukan rapat pleno yang dihadiri 6 anggota Komisioner KPU diputuskan Riezky tetap sah jadi anggota DPR sesuai aturan yang berlaku.

Perlu diketahui bahwa keputusan di KPU itu seperti halnya di lembaga yang memiliki sistem manajemen one tier, pasti keputusannya bersifat kolegial atau keputusan bersama.

Jadi ketika ada kenyataan bahwa hanya satu komisioner KPU yang disuap oleh kader PDIP, agak aneh. Mana bisa seorang Wahyu Setiawan mengubah sendirian keputusan kolegial tersebut.

Apakah Wahyu sedang membohongi PDIP? bisa saja. Namun yang lucu adalah PDIP sendiri seperti mencoba ngeles dengan cara tidak mau di geledah dan di segel kantor PDIP.

Lebih lucunya lagi menghadapi hal ini KPK seperti lumpuh ketika harus berhadapan dengan Partai penguasa, PDIP.

Tak cukup  hanya menghalangi penyegelan kantor ,padahal dalam penanganan kasus ini pemasangan KPK line sangat penting.

Ketika petugas KPK mengejar calon tersangka ke gedung PTIK, dilalahnya malah petugas KPK itu yang di tahan dan di tes urine.

Lagi-lagi pimpinan KPK tak bisa berbuat apa-apa ketika harus berhadapan dengan partai berlambang banteng ini. 

KPK benar-benar gagap menghadapi PDIP, buktinya, alasan yang mereka katakan terkait kegagalan penyegelan kantor PDIP, terus berubah-rubah.

Derita KPK dalam penyelidikan kasus suap Wahyu Setiawan ini masih bertambah ketika penggeledahan  harus atas izin dari Dewan Pengawas sesuai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang KPK.

Kenapa jadi masalah? Karena penggeledahan itu akan efektif jika dilakukan secara cepat dan tempat yang akan digeledah harus dalam kondisi steril.

Penggeledahan menjadi terjadwal seperti mau menyelenggarakan sebuah event. Melihat kenyataan ini rasanya pemberantasan rasuah di Indonesia akan jalan ditempat, kalau tidak bisa dibilang mundur.

UU KPK yang baru ini terlihat jelas membuka jalan lurus bagi para koruptor untuk lebih sulit ditangkap dan pemberantasan korupsi hanya cita-cita utopis belaka.

Sumber.

[1]. [2]. [3]. Acara Indonesia Lawyer Club Selasa 14 Januari 2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun