Perlu diketahui bahwa keputusan di KPU itu seperti halnya di lembaga yang memiliki sistem manajemen one tier, pasti keputusannya bersifat kolegial atau keputusan bersama.
Jadi ketika ada kenyataan bahwa hanya satu komisioner KPU yang disuap oleh kader PDIP, agak aneh. Mana bisa seorang Wahyu Setiawan mengubah sendirian keputusan kolegial tersebut.
Apakah Wahyu sedang membohongi PDIP? bisa saja. Namun yang lucu adalah PDIP sendiri seperti mencoba ngeles dengan cara tidak mau di geledah dan di segel kantor PDIP.
Lebih lucunya lagi menghadapi hal ini KPK seperti lumpuh ketika harus berhadapan dengan Partai penguasa, PDIP.
Tak cukup  hanya menghalangi penyegelan kantor ,padahal dalam penanganan kasus ini pemasangan KPK line sangat penting.
Ketika petugas KPK mengejar calon tersangka ke gedung PTIK, dilalahnya malah petugas KPK itu yang di tahan dan di tes urine.
Lagi-lagi pimpinan KPK tak bisa berbuat apa-apa ketika harus berhadapan dengan partai berlambang banteng ini.Â
KPK benar-benar gagap menghadapi PDIP, buktinya, alasan yang mereka katakan terkait kegagalan penyegelan kantor PDIP, terus berubah-rubah.
Derita KPK dalam penyelidikan kasus suap Wahyu Setiawan ini masih bertambah ketika penggeledahan  harus atas izin dari Dewan Pengawas sesuai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang KPK.
Kenapa jadi masalah? Karena penggeledahan itu akan efektif jika dilakukan secara cepat dan tempat yang akan digeledah harus dalam kondisi steril.
Penggeledahan menjadi terjadwal seperti mau menyelenggarakan sebuah event. Melihat kenyataan ini rasanya pemberantasan rasuah di Indonesia akan jalan ditempat, kalau tidak bisa dibilang mundur.