Kemudian naturalisasi sungai yang merupakan antitesis lain dari program lain Ahok. Ahok semasa jadi Gubernur DKI mencanangkan normalisasi sungai yang sudah berjalan sepanjang 16 km atau hampir 50 persen dari seluruh panjang Sungai Ciliwung yang panjangnya 33 km.
Memang betul normalisasi sungai dengan melebarkan sungai yang menyempit akibat bantarannya dipenuhi bangunan pemukiman penduduk.
Nah itulah yang menimbulkan gesekan sosial, akibat Ahok harus menggusur pemukiman tersebut dan tentu saja penduduk yang ada di sekitarnya resistensi terhadap aksinya.
Wajar saja itu terjadi karena mungkin penduduk itu sudah turun temurun tinggal di situ. Namun secara teknis normalisasi sungai itu menampakan hasil titik banjir sudah mulai berkurang.
Sedangkan naturalisasi sungai yang digagas Anies belum terlihat hasilnya karena selama 2 tahun ia memimpin.
Konsepnya itu belum jelas benar, walaupun sudah dituangkan dalam Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan dan Revitalisasi Sumber Daya Air.
Tapi petunjuk teknis detilnya tak pernah jelas, beberapa kali Gubernur Anies diajak buat meeting bersama Kementerian PUPR, namun ia tak pernah mau datang.
Padahal hal itu sangat diperlukan agar kebijakannya sinkron dengan kebijakan Balai Besar Sungai Cisadane dan Ciliwung yang bertanggung jawab dalam pengelolaan dua sungai besar yang membelah Jakarta tersebut.
Itu harus dilakukan demi masyarakat agar masalah banjir bisa terselesaikan. Ketika banjir tiba pun, seperti kemarin saat meninjau kondisi sungai saat banjir, Anies terkesan defensif dan seperti menyalahkan pihak lain.
Ia lebih menekankan pengolaaan hulu air yang menjadi penyebab terbesar banjir Jakarta. Padahal semua juga tahu bahwa Anies tak memiliki wewenang di situ karena itu kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Sejatinya pengelolaan air dari hulu yang berupa pembanguan waduk, itu sedang dikerjakan, tak bisa juga simsalabim langsung jadi, ada prosesnya. Tapi menurut rencana tahun depan sudah rampung.