Jiwasraya lagi... lagi-lagi Jiwasraya, ya PT Asuransi Jiwasraya memang lagi happening apalagi saat ini mulai ada pihak yang menarik-narik kasus gagal bayar yang berujung sengkarut Jiwasraya menjadi masalah politik, dijamin akan semakin riuh rendah bak perayaan detik-detik perpindahan tahun yang dalam beberapa jam ke depan akan kita lalui bersama.
Jiwasraya, jika kita menukil keterangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah bermasalah sejak lama.Â
Bau busuk masalah keuangan Jiwasraya ini sudah mulai terciun sejak tahun 2004 ketika cadangan yang dimiliki perusahaan asuransi pelat merah ini dilaporkan berada dibawah standar yang telah ditenttukan. Insolvensi atau cadangan tak mampu bayar Jiwasraya hanya Rp. 2,76 trilun saja.
Entah apa yang dilakukan direksi dan otoritas saat itu sehingga ini tak tertangani dengan baik. Karena selang dua tahun kemudian keadaan Perseroan menjadi bertambah buruk. Jumlah ekuitas yang dimilikinya menjadi minus Rp. 3,29 triliun
Aset yang Jiwasraya miliki  jauh lebih kecil dibanding kewajiban yang harus mereka bayarkan.
Audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kemudian dilakukan hasilnya disclaimer. Lantaran cadangan insolvensi itu tak jelas runutannya. Jadi secara akuntansi itu tak bisa dipertanggungjawabkan.
Selepas audit ini dilakukan, lagi-lagi tidak ada tindakan yang menghasilkan perbaikan keuangan Jiwasraya.
Kondisinya malah tambah terpuruk, pada tahun 2008 defisit keuangan mereka melebar menjadi Rp. 5,7 triliun, setahun kemudian  naik lagi menjadi Rp.6,3 triliun.
Baru dari sini ada catatan management Jiwasraya berusaha menyelamatkan keuangannya. Mereka melakukan reasuransi untuk memperbaiki kondisi keuangan dalam jangka pendek.
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Â (Sekarang OJK) kemudian meminta bisnis plan yang komprehemsif dari manajemen Jiwasraya untuk menyelesaikan fundamental jangka pendek perusahaan.
Ini dilakukan otoritas setelah melihat skema reasuransi pada tahun 2010-2012 menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 1,3 triliun.
Nah, pada tahun 2012 Bapepam-LK kemudian memberikan persetujuan terkait penerbitan JS Saving Plan yang kemudian jadi masalah besar.
Saya pikir manajemen Jiwasraya untuk menutupi defisit yang semakin membengkak, merancang sebuah produk yang mereka pikir akan mampu meraup nasabah dengan investasi berjumlah besar.
Ya caranya produk tersebut harus menarik, dengan mengiming-imingi investor dengan imbal hasil yang diatas rata-rata investasi lain. Maka terbitlah JS Saving Plan tersebut.
Itu terbukti sepanjang 2013 hingga 2017 pendapatan premi melonjak dibanding tahun-tahun sebelum, sebagian besar lonjakan tersebut datangnya ya dari JS Saving Plan tersebut.
OJK saat itu sempat mengingatkan manajemen Jiwasraya untuk mengevaluasi JS Saving Plan tersebut agar sesuai dengan kemampuan pengelolaan investasi perseroan. Evaluasi kemudian mereka lakukan
Padahal tahun 2017 kondisi keuangan Jiwasraya tampak membaik. Laporan keuangan Jiwasraya pada 2017 positif dengan raihan pendapatan premi dari produk JS Saving Plan mencapai Rp21 triliun. Selain itu, perseroan meraup laba Rp2,4 triliun naik 37,64 persen dari tahun 2016.
Ekuitas yang mereka miliki pun surplus Rp. 5,6 triliun. Meskipun cadangan premi mereka defisit Rp. 7,7 triliun karena belum memperhitungkan penurunan aset.
Awal 2018 sebenarnya sudah tercium oleh OJK kondisi Jiwasraya mulai memburuk, maka dipanggilah direksi perseroan.
Karena akibat evaluasi yang dilakukan kemudian rasionalisasi imbal hasil dilakukan premi JS Saving Plan menurun sangat siginifikanÂ
Mei 2018 Direksi Jiwasraya diganti, nah direksi yang baru kemudian mencium ada yang janggal dalam laporan keuangan tahun 2017, yang mencatatkan keuntungan sebesar Rp. 2,4 triliun.
Setelah dilakukan audit ulang oleh Price Waterhouse Cooper. Ternyata keuntungannya menyusut jadi hanya Rp. 487 milyar saja. Tipu-tipu laporan keuangan dilakukan oleh direksi lama rupanya.
Eskalasi ini kemudian memuncak pada bulan Oktober 2018 setelah Jiwasraya menyatakan mereka tak mampu membayar klaim polis jatuh tempo nasabah JS Saving Plan sebesar Rp.802 miliar.
Dan mereka meminta roll over selama 12 bulan, artinya jatuh temponya di tunda dengan imbalan tertentu hingga Oktober 2019.
Nasabah terlihat tenang dan masih percaya karena toh ini Asuransi Jiwasraya milik negara. Dilalahnya janji ya tinggal janji, Oktober 2019 tiba janji Jiwasraya tak tunai jua, maka meledaklah kasus ini jadi seperti saat ini.
Selidik punya selidik ternyata keuangan Jiwasraya bobrok luar biasa. Semua kebusukan Jiwasraya akhirnya terkuak nyata ke publik setelah Hexana Tri Sasongko Dirut Jiwasraya bersama jajarannya mendatangi DPR-RI untuk meminta uang sebesar Rp. 32,8 triliun.
Uang tersebut akam dipakai untuk menutupi rasio solvabilitas perseroan agar sesuai standar Risk Base Capital (RBC) yang ditetapkan OJK.
Tak hanya itu, terkuak pula aset yang dimiliki Jiwasraya hanya Rp.23, 26 triliun dengan kewajiban yang harus dipenuhi Rp. 50,5 triliun.
Akibatnya ekuitas Jiwasraya menjadi negatif Rp. 27, 24 triliun. Sementara itu, liabilitas dari produk JS Saving Plan yang bermasalah tercatat sebesar Rp15,75 triliun.
Drama kemudian berlanjut, detil kesalahan investasi mulai naik ke permukaan. Urusan kesalahan investasi dan tata kelola kemudian berimplikasi hukum setelah dilakukan penelitian lebih mendalam yang berpotensi moral hazard alias ada kecurangan dan salah tata kelola terjadi.
Kejaksaan Agung pun turun setelah dilapori oleh Kementerian BUMN. Hasil penyelidikan menyatakan ada kesalahan tata kelola dalam perusahaan yang membuat negara berpotensi menelan kerugian sebesar Rp. 13,7 triliun.
10 orang kemudian dicekal jajaran direksi lama Jiwasraya dan beberapa orang pihak swasta. Lebih rumit lagi di penghujung 2019 ini kemudian urusan Jiwasraya digiring  ke ranah politik.
Sebetulnya hal ini dipicu oleh Jokowi, ketika pernyataannya seolah menyalahkan pemerintahan sebelumnya. Ya pemerintahan SBY, yang dkenal sangat sensitif kalau tak mau dibilang baperan.
Sontak saja para pendukungnya merasa keberatan dan kemudian menyerang balik Jokowi, bahkan isu yang tak jelas mengenai keberadaan uang dari Jiwasraya  mampir mengisi pundi-pundi dana kampanye pasangan Jokowi-Maaruf Amin dalam Pilpres 2019 lalu, mengemuka.
Urusan mismanagement dan tata kelola serta hukum menjadi tambah rumit ketika politik ikut meningkahi.
Bahkan  tagar #Jiwasrayaskandalpilpres sempat naik jadi trending topik di Twitter. Kemudian DPR-RI mulai bergerak untuk membuat Panitia Khusus (Pansus) untuk membuka semua permasalahan Jiwasraya ini.
Pansus DPR itu berpotensi akan melebarkan permasalahan ke mana-mana karena ini merupakan sebuah laku politik, tak ada jaminan hanya akan membahas  posisi keuangan Jiwasraya dan kesalahan tata kelolanya semata.
Nasabah-nasabah JS Saving Plan Jiwasraya pun ikut meramaikan kondisi ini, ribuan nasabah asing asal Korea Selatan mengajukan keluhannya. Pantaslah mereka lakukan itu karena ini melibatkan uang mereka.
Dan malangnya pemerintah sebagai otoritas, sekaligus pemegang saham 100 persen Jiwasraya terlihat seperti kebingungan menyelesaikan masalah ini.
Tahun 2019 ini menjadi tahun neraka bagi Jiwasraya dan para pemangku kepentingannya. Kalau meminjam istilah Ratu Elizabeth dari Inggris. It is Annus Horibillies. Tahun yang sangat mengerikan.
Kementerian BUMN, OJK, Kemenkeu, dan Kejagung mulai bergerak walaupun agak terlambat dan tertatih-tatih. Khusus untuk OJK selaku pengawas lembaga keuangan di Indonesia ini merupakan tamparan. Ya mereka bisa dianggap kecolongan.
Mereka sadar betul bail out bukan cara terbaik dalam mengatasi ini. Walaupun seharusnya kejatuhan Jiwasraya tak boleh terjadi. Karena suka atau tidak efek domino pasti terjadi jika Jiwasraya ambruk. Pemerintah harus segera melokalisasi kasus Jiwasraya raya ini.
Mereka merancang penyelamatan Jiwasraya tanpa harus melakukan bail out. Â Ya ada secercah harapan lah di tahun 2020 yang tinggal beberapa jam ini akan kita songsong.
Jiwasraya pun menekankan bahwa pembayaran klaim akan mulai dilakukan di tahun 2020. Walaupun untuk itu mereka harus menjual rugi berbagai portofolio investasinya.
Menurut Dirut Jiwasraya Hexana, portofilio saham mereka tadinya berjumlah Rp.5,6 triliun karena penurunan harga, nilainya tinggal Rp. 1,5 triliun.
Sedangkan Reksadana yang mereka miliki nilainya tinggal Rp.4 triliun turun jauh dibanding saat mereka membeli Reksadana tersebut senilai Rp. 12,7 triliun.
Tahun 2020 pemerintah akan mulai melakukan langkah penyelamatan walaupun untuk itu kelihatannya pemerintah harus tetap.mengeluarkan uang cukup besar.
Menurut Dirut Jiwasraya dan otoritas pemwerintahan sejauh ini ada tiga inisiatif yang dirancang pemerintah untuk menyelesaikan kasus Jiwasraya ini.
Pertama, Â Jiwasraya akan melepas sahamnya di anak usahanya PT. Jiwasraya Putra yang dimilikinya dengan 4 BUMN lain yakni PT. Bank Tabungan Negara(BTN) Tbk, PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT. Pegadaian, dan PT. Telkomsel anak usaha PT.Telkom.
Diperkirakan penjualan saham di Jiwasraya Putra ini akan menghasilkan dana senilai Rp. 9 triliun. Saat ini sudah ada 6 investor yang berminat dan sedang di lakukan Due Dilligence.
Dana yang diperoleh dari mitra strategis ini akan dipergunakan untuk memperbaiki likuiditas dan solvabilitas peeseroan sehingga mampu mencicil kewajiban yang harus dibayar kepada nasabah
Diperkirakan inisiatif ini akan bisa selesai kuartal pertama tahun 2020.
Kedua, pembentukan holding asuransi yang akan dieksekusi oleh Kementerian BUMN dengan OJK. Nantinya Jiwasraya akan menerbitkan Subdebt atau obligasi subordinasi yang bisa di konversi menjadi saham.
Nah Subdebt yang diterbitkan Jiwasraya inj akan dibeli oleh Holding yang akan dibentuk diakhir kuartal I 2020. Dari aksi ini diperkirakan akan mendapat dana senilai Rp. 7 triliun.
Ketiga, Jiwasraya akan membuat produk asuransi untuk dijual kepada perusahaan-perusahaan BUMN. Produk yang disebut finanacial reinsurance ini akan dirilis kuartal III atau IV tahun 2020.
Harapannya ketiga inisiatif ini bisa berjalan sesuai harapan agar bisa menyelesaikan sengkarut di Jiwasraya ini.
Selain tiga inisiatif tersebut, ada beberpa opsi yang saat ini masih digodog oleh OJK dan Kementerian BUMN.
Apapun yang dilakukan, paling penting uang nasabah bisa kembali seluruhnya. Dan jangan sampai ada potensi efek domino dari kegagalan Jiwasraya ini.
Karena sesuai dengan UU No 40 Tahun 2014 tentang Pereasuransian, perusahaan reasuransi melakukan pertanggungan ulang terhadap risiko perusahaan asuransi
Sejauh ini, menurut laporan keuangan Jiwasraya tahun 2017 ada 4 perusahan reasuransi  yang bermitra dengan mereka.
PT. Reasuransi Indonesia Utama, PT. Tugu Reasuransi (anak usaha Pertamina), PT. Reasuransi Nasional Indonesia, dan PT. Maskapai Reasuransi Indonesia.
Jika saja Jiwasraya ambruk keempat perusahaan ini akan mengalami kerugian juga.
Sekali lagi pemerintah harus cepat mengatasi masalah Jiwasraya ini dengan cara yang tepat. Lokalisasi  masalah yang ada agar tak melebar kemana-mana.
Bereskan uang nasabah, bayar seluruhnya. Kemudian lakukan audit ulang secara menyeluruh kemudian identifikasi mana kewajiban karena kesalahan perusahaan. Mana kesalahan individu. Kemudian pisahkan, agar pertanggungjawabannya jelas.
Hukum yang terlibat merugikan Jiwasraya. Jangan tebang pilih siapapun itu.
Semoga tahun 2020 memberikan berkah bagi penyelesaian carut marut kebusukan di Jiwasraya ini.
Sumber.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H