Nah, pada tahun 2012 Bapepam-LK kemudian memberikan persetujuan terkait penerbitan JS Saving Plan yang kemudian jadi masalah besar.
Saya pikir manajemen Jiwasraya untuk menutupi defisit yang semakin membengkak, merancang sebuah produk yang mereka pikir akan mampu meraup nasabah dengan investasi berjumlah besar.
Ya caranya produk tersebut harus menarik, dengan mengiming-imingi investor dengan imbal hasil yang diatas rata-rata investasi lain. Maka terbitlah JS Saving Plan tersebut.
Itu terbukti sepanjang 2013 hingga 2017 pendapatan premi melonjak dibanding tahun-tahun sebelum, sebagian besar lonjakan tersebut datangnya ya dari JS Saving Plan tersebut.
OJK saat itu sempat mengingatkan manajemen Jiwasraya untuk mengevaluasi JS Saving Plan tersebut agar sesuai dengan kemampuan pengelolaan investasi perseroan. Evaluasi kemudian mereka lakukan
Padahal tahun 2017 kondisi keuangan Jiwasraya tampak membaik. Laporan keuangan Jiwasraya pada 2017 positif dengan raihan pendapatan premi dari produk JS Saving Plan mencapai Rp21 triliun. Selain itu, perseroan meraup laba Rp2,4 triliun naik 37,64 persen dari tahun 2016.
Ekuitas yang mereka miliki pun surplus Rp. 5,6 triliun. Meskipun cadangan premi mereka defisit Rp. 7,7 triliun karena belum memperhitungkan penurunan aset.
Awal 2018 sebenarnya sudah tercium oleh OJK kondisi Jiwasraya mulai memburuk, maka dipanggilah direksi perseroan.
Karena akibat evaluasi yang dilakukan kemudian rasionalisasi imbal hasil dilakukan premi JS Saving Plan menurun sangat siginifikanÂ
Mei 2018 Direksi Jiwasraya diganti, nah direksi yang baru kemudian mencium ada yang janggal dalam laporan keuangan tahun 2017, yang mencatatkan keuntungan sebesar Rp. 2,4 triliun.
Setelah dilakukan audit ulang oleh Price Waterhouse Cooper. Ternyata keuntungannya menyusut jadi hanya Rp. 487 milyar saja. Tipu-tipu laporan keuangan dilakukan oleh direksi lama rupanya.