Jiwasraya perusahaan asuransi milik negara tak henti diterpa isu negatif. Bukan cuma isu sih sebenarnya, Â Jiwasraya memang dalam kondisi terpuruk. Berita buruk tentang Asuransi Pelat Merah ini dengan mudah kita dapat kan di berbagai media.
Kewajiban menggunung, aset menyusut. Kebusukan Jiwasraya mulai terkuak satu demi satu. Diawali dengan gagal bayar produk JS Saving Plan yang mulai terkuak Oktober 2018 lalu.
JS Saving Plan adalah sebuah produk asuransi berbalut investasi yang dipasarkan melalui Bank (Bancaassurance). Produk ini mengawinkan antara produk asuransi dengan investasi seperti unit link.
Bedanya di produk saving plan risiko investasi ditanggung oleh perusahaan asuransi. Sementara dalam unit link risiko investasi ditanggung oleh pemegang polis.
Nilai Saving Plan yang kemudian mengalami gagal bayar ini sebesar Rp. 12,4 triliun. Kondisi ini menyebabkan tingkat kepercayaan nasabah menjadi turun drastis, lapse rate naik secara signifikan dari 51 persen menjadi 85 persen.
Artinya hampir seluruh nasabah pemegang produk saving plan  berniat mencairkan polisnya, kondisi ini tentu saja akan membuat likuditas perseroan menjadi tertekan.
Jiwasraya dalam kondisi defisit sejak tahun 2006 dengan jumlah Rp.3,29 triliun. Hal itu ditemukan dalam catatan dokumen penyehatan perseroan yang dilansir oleh CNBCIndonesia.com.
Dari tahun ke tahun defisit itu terus membengkak, tahun 2008 ditemukan defisit sebesar hampir Rp.10 triliun, walaupun dalam perhitumgan internal jumlah defisit hanya Rp. 5,7 triliun.
Badan Pemeriksa Keuamgam (BPK) menemukan berbagai kejanggalan saat melakukan audit makanya BPK memberi opini disclaimer kepada Jiwasraya saat itu. Secara akuntansi laporan keuangan mereka tak layak.
Persoalan strategi investasi yang Jiwasraya lakukan pun sangat sembrono. Porsi dari total aset finansial adalah sebesar 22,4% atau senilai Rp 7 triliun. Sebesar 5% dari investasi saham dialokasikan ke saham-saham anggota indeks LQ45 (45 saham unggulan dan paling likuid di Bursa Efek Indonesia), sementara sisanya ke saham-saham di luar indeks LQ45.
Reksadana yang mereka mainkan pun seperti sengaja hanya mencari keuntungan tinggi tanpa memperhitungkan risiko yang juga tinggi padahal sebagai perusahaan asuransi unsur kehati-hatian itu sangat penting dalam berinvestasi.
Masalah yang dihadapi Jiwasraya ini memang sudah akut. Menutup kekurangan Risk Base Capital (RBC) sekalipun, yang jumlahnya Rp. 32 triliun tak menjamin membuat Jiwasraya bisa sehat kembali.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN terlihat seperti kesulitan mengatasi Jiwasraya. Hal ini diakui Jokowi, sampai kemudian Jokowi harus berkata bahwa kasus Jiwasraya sudah terjadi sejak 10 tahun lalu.
Dan ini kemudian dianggap sebagian pihak sebagai menyalahkan pemerintahan sebelumnya. Saya sih sangat yakin Jokowi tak bermaksud menyeret pemerintah sebelumnya. Hanya menerangkan bahwa kondisi Jiwasraya memang sudah akut.
Saya rasa tak perlu lah menarik-narik kasus Jiwasraya ini ke masalah politik. Tak perlu mengkait-kaitkan masalah ini dengan urusan politik yang berbau teori konspirasi.
Ini murni masalah hukum dan keuangan. Ada yang salah dalam pengelolaan keuangan Jiwasraya, terutama kesalahan investasi. Dan kejaksaan pun sudah menumukan indikasi tersebut.
Kerugian negara yang sudah ditemukan Kejaksaan Agung sebesar Rp.13,7 triliun. Apabila terlihat pergerakan pengungkapan kasuanya lambat. Karena  butuh bukti-bukti otentik, ada jutaan dokumen yang harus disisir dalam periode waktu cukup lama ke belakang.
Jika masalah Jiwasraya ini di seret ke ranah politik demi kepuasaan segelintir orang saja. Nasabah yang akan jadi korban. Yang terpenting, Â usut kasus hukumnya, bayar kembali uang nasabah. Selesai.
Sumber. CNBC
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H