Presiden Jokowi mewacanakan salah satu poin dalam penerbitan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kluster Cipta Lapangan Kerja adalah perubahan skema pengupahan.
Skema upah yang selama ini memakai sistem upah bulanan, melalui Omnibus Law akan berganti menjadi skema upah per jam.
RUU Omnibus Law tersebut saat ini masih dalam tahap penggodokan, nantinya jika jadi skema upah per jam ini diaplikasikan, maka upah yang akan dibayarkan kepada pekerja sesuai dengan jam kerjanya.
Misalnya pekerja tersebut bekerja selama 40 jam perminggu, maka dalam sebulan ia akan mendapatkan upah 40 dikalikan 4 minggu dikalikan upah perjam, itulah upah yang ia akan dapatkan.
Sementara pekerja lain hanya bekerja selama 30 jam per minggu maka ia akan mendapatkan upah 30 dikalikan 4 minggu di kali upah perjam, jumlahnya tentu akan berbeda dengan yang bekerja 40 jam per minggu.
Berbeda dengan saat ini, pekerja yang tak masuk kerja sehari atau seminggu akan mendapat upah sama besarnya dengan pekerja yang masuk kerja selama sebulan penuh.
Skema pengupahan per jam ini sebetulnya sangat fair bagi semua pihak, Â pengusaha akan dengan mudah mengukur produktifitas pekerjanya. Bagi pekerja jika ingin mendapat upah lebih banyak ya harus lebih rajin bekerja.
Nah, jadi format penghitungan upah per jam ini bisa dikatakan sebagai sistem pengupahan berbasis produktivitas. Siapa yang lebih produktif ya akan mendapat upah lebih banyak.
Sistem, skema, atau format pengupahan pekerja per jam seperti ini merupakan sesuatu yang asing dalam dunia ketenagakerjaan di Indonesia.Â
Berbeda dengan yang terjadi di negara maju, Amerika Serikat(AS) misalnya skema upah per jam adalah sesuatu yang lumrah bagi mereka.
Di AS standar upah per jam itu ditetapkan oleh pasar kerja yang ada saat ini, artinya jika pasar kerja sedang ketat upah pekerja per jam akan naik, namun jika pasar kerja sedang sepi maka upah pekerja per jam akan turun.