Mohon tunggu...
Ferry Koto
Ferry Koto Mohon Tunggu... wiraswasta -

Seorang Usahawan, Memimpikan Indonesia Yang Berdaulat, Yang bergotong Royong untuk Mandiri dan Bermartabat

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tri Risma Harini Mundur, Siapa yang di Untung kan?

20 Februari 2014   23:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:37 1677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan yang sering turun di Surabaya belakangan ini sepertinya tidak mampu mendinginkan suhu politik di kota buaya. Suhu politik semakin memanas, sejak pelantikan Wakil Walikota Surabaya terpilih, Wisnu Sakti Buana (WSB) oleh Gubernur Propinsi Jawa Timur berdasarkan surat ketetapan dari Menteri Dalam Negeri. Pelantikan Wawali tersebut tidak dihadiri oleh Walikota Surabaya, Tri Risma Harini (TRH), dengan alasan kondisi kesehatan. Belakangan publik mulai tahu alasan sebenarnya adalah ketidak-setujuan TRH atas proses pemilihan yang berlangsung, apalagi dengan tidak meminta pendapat TRH dalam penentuan calon wawali.

Situasi makin tambah panas dengan munculnya isu dugaan pemalsuan tanda tangan Panitia Pemilihan Wakil Walikota, sehingga dianggap pelantikan tidak sah. Walau kemudian hal ini pun tidak membuat Mendagri membatalkan keputusan pelantikan wawali, karena setelah team Mendagri melakukan verifikasi tidak ditemukan cacat dalam proses pemilihan yang dimaksud.

Tiba tiba muncul isu TRH akan mengundurkan diri sebagai Walikota Surabaya. Isu yang awalnya dibantah oleh berbagai pihak, mulai ketua DPRD Surabaya, Sekkota sampai Mendagri. Namun belakangan TRH sendiri menegaskan di depan publik melalui sebuah acara di TV Swasta Nasional, bahwa betul keinginannya untuk mengundurkan diri.

Alasan pengunduran diri ini tidak dijelaskan secara gamblang. Publik dipaksa mereka-reka bahwa ada sesuatu persoalan yang maha besar atau tekanan yang maha besar, ataupun sebuah kebijakan yang tidak sesuai dengan prinsip yang di anut TRH, sehingga membuatnya memikirkan untuk mengundurkan diri dari jabatan Walikota Surabaya.

Sepertinya jangan kan hujan, tiba tiba salju turun -pun, nampaknya suhu Politik di Surabaya tidak akan segera mendingin. Panas nya suasana Politik di ruang ruang Dewan yang terhormat di DPRD Surabaya dan di ruang yang terhormat para birokrat di Balaikota sudah menjalar ke ruang ruang publik di kota Surabaya.

Melalui tulisan ini saya mengajak para pembaca khususnya warga Surabaya, mengkritisi kondisi Politik kota tercinta ini, agar keberhasilan yang sudah dicapai oleh kota ini, dengan segala prestasinya, segala yang sudah dibangun sejak bergulirnya Reformasi 1998 tidak mencair, leleh, sia-sia, akibat suatu peristiwa yang mestinya tidak terjadi, atau setidaknya ada suatu penyelesaian yang bisa diambil tanpa mengorbankan segala pencapaian yang sudah ada.

Melihat Kebelakang

Mungkin tidak banyak yang mengingat kondisi kota Surabaya, pada saat-saat awal reformasi, dengan segala persoalannya yang maha rumit. Kota yang jatuh pada titik terendah kepercayaan warga nya, dengan berbagai persoalan kota yang membelit, seperti birokrasi yang buruk, pejabat yang seenaknya bertugas, persoalan sampah dan kumuhnya Kota, banjir dan banyak lagi.

Bertambah parah dengan keributan Politik akibat menghilangnya (yang kemudian diketahui berobat ke Aaustralia) Walikota Surabaya masa itu, Sunarto Sumoprawiro (cak Narto) ditengah persoalan sampah dan TPA Benowo. Demo hampir tiap hari terjadi, situasi politik memanas, bahkan Bambang Dwi Hartono (BDH), wakil walikota berencana mundur karena tekanan politik yang besar, keributan dengan DPRD dan persoalan loyalitas aparat pemkot. Rakyat Surabaya masa itu memilih memberikan dukungan pada BDH untuk memimpin kota, dan itu dibuktikan dengan keputusan Paripurna DPRD Surabaya 15 january 2002, yang mencabut mandat Cak Narto sebagai Walikota.

Perjuangan rakyat Surabaya memberikan dukungan pada wakil walikota Surabaya, BDH, masa itu tiada henti, sehingga saat dilengsernya Cak Narto oleh DPRD, kegembiraan warga kota demikian terasa bahkan harian JAWA POS menurunkan headlines pada tanggal 16 Januari "Kemenangan Hati Nurani".

Jalan yang tidak mudah bagi BDH memimpin kota Surabaya, karena masih berhadapan dengan intrik intrik politik bahkan dari oknum di dalam PDI-P sendiri. Masa itu secara terbuka ketua DPRD Surabaya, Basuki (PDI-P) bersama kelompoknya, selalu menjegal kebijakan BDH sebagai pejabat walikota, bahkan menghalangi agar BDH tidak dapat dilantik menjadi walikota Surabaya.

Akhirnya muncul perlawanan dari masyarakat Surabaya terhadap DPRD Surabaya, dan dilantiklah BDH sebagai walikota pada 10 juni 2002 oleh Gubernur Jawa Timur, Imam Utomo. Mulai saat itu Kota Surabaya mulai kembali menemukan jalan nya, menjadi kota yang dicintai dan dibanggakan oleh warganya. Satu persatu persoalan kota diatasi, persoalan sampah yang menggunung di Surabaya, yang sampai menjadi perbincangan di dunia disebut sebagai kota sampah, teratasi dengan segera, TPA Benowo bisa dibuka, persoalan TPA Keputih teratasi.

Masa BDH inilah wajah Surabaya mulai dibenahi, fisik kota dibangun, birokrasi ditata, layanan kepada warga ditingkatkan. Kepercayaan warga meningkat luar biasa pada birokrasi yang sebelumnya jatuh dititik terendah. Partisipasi warga dalam pembangunan meningkat bahkan dukungan politik pun menguat. Nyaris selama periode pertama ini, BDH ibarat Satria Pininggit yang diturunkan untuk menyelamatkan kota Surabaya.  Pada Pilkada 2005, BDH yang berpasangan dengan Arif Afandi, memenangkan pemilihan dengan suara 50% lebih.

Pada masa BDH inilah banyak lahir birokrat yang profesional dan dikenal oleh warga kota sepak terjangnya. Sebagai Walikota sepertinya BDH paham betul bahwa dia tidak bisa mengelola kota ini sendiri, dia butuh birokrat yang profesional dan bekerja dengan sungguh sungguh menjalankan program yang sudah di gariskan. Muncul lah masa itu salah satunya Tri Risma Harini (TRH), sebagai Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan yang sangat dekat dengan warga, yang berhasil mewujudkan program walikota untuk menghijaukan kota Surabaya dan menghadirkan taman taman di Surabaya. Karena kepercayaan BDH serta prestasi TRH, maka diangkatlah TRH menjadi kepala Bappeko Surabaya.

Silang Sengkarut, mengurai benang kusut

Surabaya yang sudah mulai berbenah sejak BDH naik jadi Walikota tahun 2002 dan menampakan hasilnya, memberikan harapan dan semangat baru bagi warga Surabaya. Pembangunan berjalan dengan baik, kepercayaan warga pulih pada pemerintah kota, dan birokrat yang selama ini hanya ABS (asal bapak senang) mulai hilang dan muncul birokrat dengan segala prestasinya.

Namun ternyata kota sebesar Surabaya ini selalu di uji dengan berbagai persoalan baru, tahun 2010 mulailah ujian baru bagi kota ini.

Berakhirnya periode kedua BDH sebagai walikota, menimbulkan kisruh Politik baru di Surabaya yang sudah lama adem. Sesuai dengan aturan BDH tidak dapat lagi mencalonkan diri sebagai walikota. Tapi PDI-P merasa BDH masih berhak maju dalam PILKADA Surabaya 2010, dengan alasan periode pertama BDH menjabat (2002-2005) bukanlah sebagai Walikota terpilih dalam PILKADA 2000, tapi hanya menggantikan Cak Narto ditengah jalan. Persoalan ini sampai dimintakan fatwa hukum ke MK, untuk memastikan apakah BDH dianggap baru 1 periode atau 2 periode menjabat. Akhirnya final keputusan MK, BDH dianggap termasuk 2 periode menjabat dan tidak boleh lagi maju mencalonkan diri sebaga WALIKOTA surabaya.

Akibat keputusan MK tersebut, PDI-P yang menganggap BDH adalah kader terbaik yang masih mampu ikut memimpin kota Surabaya dan melanjutkan program yang sudah dirintisnya, memerintahkan BDH tetap ikut maju dalam PILKADA 2010. Bukan sebagai Walikota tapi sebagai Wakil Walikota dari PDI-P. Masa itu PDI-P memiliki kursi yang cukup di DPRD Surabaya untuk mengajukan calon tanpa berkoalisi.

Dalam menentukan Calon Walikota dari PDI-P sempat muncul berbagai intrik di tubuh PDI-P. Muncul calon Walikota yang didukung sebagian besar Pengurus Anak Cabang (PAC) se Surabaya, Saleh Ismail Mukandar (SIM). Dipihak lain Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI-P Surabaya masa itu, Wisnu Sakti Buana (WSB), bermanuver bersama tokoh PDI-P, mantan Sekjend PDI-P, Soetjipto (almarhum), yang tak lain adalah Orang Tua dari WSB. Mereka mengusung nama TRH sebagai calon Walikota dengan BDH sebagai Calon Wawali. Berkat WSB lah akhirnya TRH mendapatkan rekomendasi dari DPP PDI-P menjadi Calon Walikota berpasangan dengan BDH sebagai calon wawali. Banyak cerita di balik layar yang tidak diketahui publik seputar perjuangan menggolkan TRH sebagai Cawali pada Pilkada 2010, termasuk peran beberapa nama seperti Don Rozano (DR), juga kisah mendapatkan dana untuk mensukseskan duet TRH-BDH.

PILKADA Surabaya 2010 adalah pilkada dengan berbagai macam intrik dan hal yang tidak terduga terjadi. Bukan hanya soal pencalonan TRH yang bukan kader PDI-P, hal yang sama juga terjadi di Partai lain yang mengusung calon bukan dari kader. Demokrat tidak mengusung Fandhi Utomo, tapi malah Arif Affandi mantan wakil walikota, PKS tidak mendukung Yulyani kader PKS, tapi malah mendukung Fandhi Utomo. PILKADA 2010 ini juga berlangsung panas, dan selisih perolehan suara sangat tipis. Terjadi perhitungan suara 2 putaran dan gugatan sampai ke MK untuk memutuskan pemenang.

TRH dan BDH memenangkan Pilkada 2010 yang penuh dengan persoalan ini, dan dilantik pada september 2010. Harapan warga Surabaya yang sangat besar, agar pembangunan yang sudah berlangsung dapat diteruskan dan ditingkatkan, sepertinya tidak akan terwujud. Sejak terpilih sebagai Walikota, TRH menghadapi persoalan yang semakin lama tidak semakin bisa diatasi tapi malah makin membesar. Dan semua bermula dari persoalan politik dan intrik intrik yang terjadi sesudah PILKADA 2010 tersebut.

Risma mundur, Siapa yang untung ?

Hanya dalam waktu 3 bulan setelah diangkat menjadi walikota, TRH terancam dengan keputusan pemakzulan yang dilakukan oleh DPRD Surabaya (2011). Keputusan pemakzulan yang bermula dari Perda mengenai Kenaikan Pajak Iklan yang dikeluarkan oleh pemkot yang dianggap menyalahi aturan. Namun pemakzulan ini tidak mendapatkan dukungan dari pemerintah pusat, mendagri Gamawan Fauzi menolak Pemkzulan tersebut. Pemakzulan ini disetujui oleh 6 Fraksi di DPRD Surabaya dan hanya ditentang oleh Fraksi PKS.

Sejak peristiwa pemakzulan tersebut, yang juga didukung PDI-P melalui Wakil Ketua DPRD masa itu Wisnu Sakti Buana (WSB), suasana politik Surabaya terus memanas. Berbagai persoalan silih berganti muncul, mulai kasus alotnya pembahasan APBD yang menghambat kinerja Pemkot (2012), kasus keributan perihal kewenangan staff ahli TRH yang bernama DR, kasus Wisnu Wardhana yang berbuntut pemecetan sebagai Ketua DPRD Surabaya (2013),  dan keinginan BDH mundur dari jabatannya sebagai Wakil Walikota karena merasa sudah tidak sevisi lagi dengan cara TRH dalam mengelola kota.

Hingga akhirnya muncul peristiwa yang tidak terduga, saat PILGUB Jawa Timur 2013, BDH yang tidak berniat ikut dalam perebutan kursi Gubernur Jawa Timur, tiba tiba ditugaskan oleh DPP PDI-P untuk maju sebagai calon Gubernur dari PDI-P. Akibat pencalonan ini, BDH seperti berkesempatan keluar dari carut marut kepemimpinan Kota Surabaya dan politik nya yang semakin tidak nyaman. Kosong lah Kursi Wakil Walikota, dimana sebelumnya juga sudah kosong kursi Ketua DPRD Surabaya akibat pemecetan WW sebagai ketua.

Dengan mundurnya BDH dari kursi Wakil Walikota, maka PDI-P sebagai partai tunggal yang mengusung Walikota dan Wakil Walikota Surabaya berhak mengisi kekosongan jabatan tersebut dengan kader nya. Dan tentunya PDI-P berhak memilih siapa kader terbaiknya yang akan dikirim untuk mengemban amanah tersebut.

PDI-P telah memilih kader terbaiknya di Surabaya, WSB, untuk diusung sebagai pengganti BDH, yang saat itu (2013) menjabat sebagai Ketua DPRD Surabaya menggantikan WW yang dipecat. Jika melihat kilas balik jauh kebelakang, WSB termasuk berjasa besar dalam menjadikan TRH sebagai walikota Surabaya, karena WSB lah yang membawa nama TRH untuk direkomendasikan DPP PDI-P sebagai calon walikota. Namun sisi lain, tidak dapat tutup mata juga, WSB pulalah yang ikut dalam kelompok yang berusaha memakzulkan TRH pada saat awal dilantik jadi walikota (2011).

Surabaya semakin memanas sejak WSB dilantik, TRH ngotot menolak dan bermanuver dengan membawa persoalan ini ke publik. Seolah ada tekanan yang sedemikian besar yang harus dihadapi oleh TRH dalam mengelola kota.

Dalam kasus pengangkatan wakil Walikota, TRH mengesankan pada publik bahwa perasanaan dan suara nya tidak dipertimbangkan oleh PDI-P. TRH menyuarakan keinginan-nya untuk mundur sebagai walikota menghadapai persoalan yang semakin dirasa berat, tidak mampu dipikul dan dipertanggung-jawabkan nantinya.

Dengan segala peristiwa diatas, saya ingin coba mengajak pembaca menganalisa apa manfaat dengan sikap TRH yang ngotot ingin mundur dan membawa persoalan nya ke publik.

Pertama harus diingat bahwa DPRD Surabaya yang ada saat ini, sebentar lagi akan habis masa kerjanya. Praktis mereka sudah tidak memiliki kekuasaan apapun yang dapat mengancam kedudukan walikota Surabaya. Semua Parpol akan konsentrasi pada PEMILU 2014 dibulan april nanti. Kepentingan Parpol saat ini adalah mengamankan suaranya dengan segala cara dalam perebutan Kursi DPRD surabaya 2014-2019.

Kedua, bahwa jabatan Walikota (termasuk wakil walikota) akan segera berakhir september tahun 2015, praktis hanya sisa 1,5 tahun efektif menjalankan roda pemerintahan Surabaya.

Ketiga, sesuai dengan system yang ada, maka pemilihan kepala daerah harus diusung oleh partai yang memiliki kursi yang cukup di DPRD, dan khusus di surabaya, memiliki minimal 8 Kursi di DPRD Surabaya baru dapat mengusung calon Walikota, jika tidak maka harus berkoalisi agar mencapai 8 kursi.

Keempat, tidak dapat dipungkiri, TRH adalah satu satunya tokoh di surabaya yang mendapat dukungan warga surabaya sangat besar dan sangat populer saat ini. Tidak ada satupun tokoh lain di Surabaya yang akan mampu menandingi popularitas TRH dalam 1 tahun kedepan.

Dari 4 kondisi diatas saya mencoba menganalisa apa untungnya TRH mundur, baik bagi TRH, PDI-P, Parpol lain bahkan juga tokoh tokoh yang memiliki kepentingan politik di Surabaya.

1. Bagi PDI-P, kekisruhan dengan isu mundurnya TRH ini sangat tidak menguntungkan. Isu ini tidak dapat disangkal akan membangun opini ditengah masyarakat, bahwa PDI-P adalah biang kerok penyebab TRH berkeinginan mundur. Dan opini ini secara logis berbahaya bagi PDI-P, khususnya  dalam merebut kursi DPRD Surabaya. PDI-P akan banyak kehilangan suara dari warga yang selama ini bersimpati pada TRH. Tidak ada satu manfaat pun bagi PDI-P atas isu mundurnya TRH ini, malah isu ini bisa memperburuk citra PDI-P, apalagi dengan mulai dibawanya isu ini oleh TRH ke level Nasional, ditambah adanya survei yang menempatkan TRH sebagai salah satu capres unggulan.

2. Bagi Parpol lain, dengan makin menggulirnya isu ini, membuka peluang PARPOL untuk menggerogoti suara PDI-P yang selama ini cukup kuat di surabaya. Isu ini makin menguntungkan jika Parpol tertentu terkesan sebagai pendukung TRH. Simpati warga kepada TRH bisa berefek meningkatkan perolehan suara bagi Parpol yang mendukung TRH. Bahkan jika PARPOL mampu menunggangi isu ini dengan baik bisa jadi suara GOLPUT yang cukup besar di surabaya, yang jumlahnya 30%-40%, bisa digerakan untuk membela TRH dan akhirnya berefek pada peningkatan suara Parpol dalam pileg DPRD Surabaya

3. Bagi Wisnu Sakti Buana, isu mundurnya TRH ini jika betul betul terwujud akan menguntungkan karena berpeluang untuk menjadi walikota pengganti hingga akhir periode. Tapi saya yakin WSB tidak akan sanggup menghadapi resiko jika TRH benar benar mundur dan mengambil peluang menjadi Walikota. Dia akan dituduh sebagai dalang mundurnya TRH, apalagi sejarah pernah mencatat WSB bersama WW pernah berkeinginan melengserkan TRH. Resiko akan dilawan warga kota akan sangat besar sekali, dan saya yakin DPP PDI-P tidak akan tinggal diam, dan membiarkan skenario ini terjadi. Resiko nya sangat besaar bagi PDI-P, bukan saja di Surabaya tapi juga secara Nasional.

4. Isu mundur ini bagi TRH, kelihatan seperti sedang memainkan salah satu strategi perang yang sangat terkenal, Tsun Tzu, yaitu strategi Tampak Lemah disaat Kuat. Isu mundur ini memperlihatkan TRH seolah sangat lemah, tidak berdaya menghadapi tekanan yang dia terima (entah dari mana), padahal sejatinya isu ini akan memukul dengan telak lawan lawan Politik dan orang yang bersebrangan dengan TRH, jika masuk menyerang. Selama 3,5 tahun memerintah, TRH semakin dekat dengan warga Surabaya yang dipimpinnya. Dukungan warga kepadanya semakin besar setiap hari. Banyak programnya yang kadang bertolak belakang bahkan dengan Pemerintah Pusat, justru mendapat dukungan dari warga Surabaya

Apakah nanti TRH benar benar mundur atau tidak sama sekali, tidak akan mempengaruhi dukungan pada dirinya. Jika benar-benar mundur, TRH akan mendapatkan dukungan luar biasa dari warga Surabaya bahkan Indonesia. Bisa jadi TRH akan jadi perebutan oleh Parpol untuk di gandeng menjelang Pileg. Jika tidak jadi mundur (ini yang paling mungkin terjadi), TRH juga akan menang, dukungan warga juga semakin kuat dan TRH akan lebih mudah tawar menawar dengan PDI-P dalam mengelola Surabaya.

Dari analisa diatas, terlihat bahwa TRH memainkan isu mundur ini pada saat yang sangat tepat. Pada kenyataannya bila TRH betul-betul mundur, dia akan menang dan tidak mundur juga akan tetap menang.

Dilihat dari sudut manapun baik peristiwa masa lalu maupun hitungan resiko yang akan dihadapai, dapat dipastikan bahwa menekan TRH sedemikian rupa sehingga memaksa mundur bukanlah strategi yang smart. Siapapun lawan Politik TRH atau yang tidak suka dengan TRH akan konyol sekali jika berencana membuat TRH mundur menjelang PILEG yang sebentar lagi berlangsung.

Melihat semua kemungkinan diatas, saya ragu apakah benar ada yang berani (khususnya Parpol) menekan TRH sehingga membuat TRH ingin mundur. Atau jangan jangan TRH sedang memperkuat posisi politiknya kedepan agar tidak lagi diganggu oleh lawan lawan Politiknya dalam mengurus Surabaya dan memastikan dukungan untuk Pilkada 2015 mendatang. Entahlah, hanya TRH sendiri yang tahu, apa yang sedang dimainkannya dan apa yang ingin dicapai dengan segala kekisruhan ini.

Terakhir, sebagai warga Surabaya, saya (mungkin juga warga lainnya), sama sekalli tidak merasa ada manfaatnya segala keributan ini. Keributan ini hanya membuat pemerintah kota tidak fokus pada tugas tugas yang harus dijalankannya. Banyak persoalan pembangunan di Surabaya akibat keributan ini tidak terpantau. Pembangunan pasar Turi yang tidak jelas kapan selesai, pembangunan Frontage Road yang tertunda tunda, juga MERR yang sampai sekarang belum jelas kapan selesai. Belum lagi rencana pengembangan wilayah dengan akan dibangunnya lingkar luar serta Transportasi Massal (MRT dan Trem). Keributan ini membuat warga seolah hilang peluangnya mengkritisi jalannya pembangunan di surabaya dan berbagai persoalan warga lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun