Saya berpendapat bahwa konsen Nadiem tentunya lebih kepada daya saing sumber daya manusia di dunia kerja, sehingga nantinya kurang dalam membenahi sistem pendidikan atau meningkatkan kesejahteraan guru.Â
Sebenarnya banyak problem pendidikan yang tidak Nadiem singgung, seperti kurikulum pendidikan Indonesia, akses pendidikan bagi anak-anak di pelosok, sarana dan prasarana sekolah di berbagai daerah, sistem zonasi yang kurang efektif di lapangan, atau penyaluran beasiswa yang belum merata.
Ditambah masalah guru honorer yang hingga kini belum tuntas, gaji yang sangat minim dan jaminan masa depan yang disediakan pemerintah baru sebatas rekrutmen ASN atau pengalokasian DAU untuk gaji guru honorer.Â
Namun kembali kita harus meyakini bahwa seorang Nadiem Makarim tentu memiliki kapasitas, ia adalah tokoh muda yang sangat menginspirasi. Terbukti dengan terobosannya yang membuka lapangan pekerjaan hampir di seluruh wilayah Indonesia, bahkan sayap bisnisnya sudah sampai ke negara Asean lainnya. Tapi bidang pendidikan tidak sama dengan bisnis yang selama ini digeluti oleh Nadiem.
Pendidikan sejatinya bukan sektor komersil yang dapat dimanfaatkan oleh para pebisnis dalam meraup keuntungan. Bukan pula bertujuan mencetak "robot-robot" yang siap menghadapi mesin-mesin pabrik.
Harapannya kedepan Nadiem tidak melupakan bahwa sektor pendidikan masih banyak menyisakkan masalah. Tak cukup diselesaikan dengan hanya visi pemenuhan pasar tenaga kerja, lebih dari itu.
Rangkul para akademisi, relawan, dan aktivis pendidikan dalam merumuskan grand design pendidikan Indonesia secara komprehensif. Publik pasti yakin Nadiem sangat mampu untuk itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H