Mohon tunggu...
Ferry Arbania
Ferry Arbania Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalist

Penyiar Radio Nada FM Sumenep, Redaktur Madura Harian Pagi Memorandum Surabaya, Penyair dan aktivis Pesantren.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Novela, Sang ‘Penakluk’ dari Papua

13 Agustus 2014   21:10 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:38 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski (harus )ikut ketawa, saat menyaksikan perjalanan sidang sengketa Pilpres di MK kemarin, tetapi (jujur) saja dalam hati saya yang paling dalam, saya merasa salud dan kagum dengan kemampuan Novela menciptakan ‘jebakab’ Ndeso dalam menjawab setiap pertanyaan yang diajukan Hakim MK.

Coba perhatikan bagaiman Novela, yang nota bene seorang perempuan biasa dari kampong terpencil di Papua, sanggup membuat ‘jebakan-jebakan’ diplomatis yang tak memudahkan orang-orang hebat di MK dalam menggali sebuah jawaban yang diinginkan.

Sepertinya, Novela begitu paham, menjawab sesuatu yang bukan domainnya itu bisa berbuntut persoalan lain yang bukan urusannya.

Misalanya saat menjawab pertanyaan Hakim MK, Patrialis Akbar, yang menanyakan “apakah ada masyarakat yang terlihat dilokasi pemungutan suara di kampungnya”, Tanya Patrialis.

Kemudian dijawab simple dan sangat diplomatis oleh Novela yang lugu dari KampunG Papua, “

“Jangan tanya saya Pak, saya juga masyarakat. Terima kasih,” jawabnya tanpa ragu-ragu.

Patrialis tak menghasilkan apa –apa dari ‘jebakannya’ mengorek keterangan Novela yang sebenarnya bukan domainnya perempuan hitam manis itu.

Berikutnya Hakim Arif di meja kebesaran MK melontarkan pertanyaan serius kea rah Novela, terkait apakah Novela melihat aktivitas pemilu di Distrik itu dengan jarak kurang lebih 300 meter?

“Saya tidak mau bicara itu, saya mau bicara di kampung saya saja,” jawabnyadengan nada protes.

“Saya kacau ini kalau begini,” balas Hakim Arif.

Bapak kacau, saya lebih kacau pak,” ujar Novela.

Kalau pembaca diposisikan sebagai wasit, maka siapa yang lebih unggul dalam sidang sengketa pilpres di MK kemarin? Pukulan telak mampu di berikan Novela, hingga membuat Hakim MK dibuat tak “berkutik”.

Skor 1-0 untuk Novela.

Dan jangan lupa pesan Rosulullah,

“Selamat tidaknya manusia itu bergantung pada kemampuannya menjaga lisannya”, heee:

Merdeka atau Mati…!!! M E R D E K A aja…dech.!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun