Mohon tunggu...
Ferry Silitonga
Ferry Silitonga Mohon Tunggu... karyawan swasta -

My life = psychology + movies + musics

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Biasakan Bicara Terbuka

10 Maret 2013   05:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:02 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita perihatin dengan semakin banyaknya kasus pelecehan/kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak belakangan ini, tahun ke tahun terjadi peeningkatan yang sangat signifikan. Bahkan Arist Merdeka Sirait, ketua umum Komnas Pelindungan Anak (PA) mengakatakan kepada Kompas.com bahwa peristiwa ini seharusnya sudah masuk pada kategori darurat nasional (disini).

Dalam 2 tahun terakhir, peningkatan persentase kekerasan seksual terhadap anak meningkat sangat signifikan, hampir 20%. Data tahun 2010 yang diterima oleh Komnas PA dari 48% dari 2.400 kasus merupakan kekerasan seksual pada anak-anak. Kemudian tahun 2011, terjadi sedikit penurunan menjadi 42% dari 2.508, walaupun menurun tetapi jumlah laporan semakin meningkat. Dan pada tahun 2012, meningkat tajam menjadi 62% dari total 2.637 kasus merupakan kekerasan seksual terhadap anak-anak yang berupa sodomi, pemerkosaan, pencabulan, dan incest. Ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual merupakan kejahatan yang paling rentan menimpa anak-anak kita saat ini.

[caption id="attachment_231748" align="aligncenter" width="561" caption="Berita di BBC Indonesia"][/caption]

Fakta yang lebih mengejutkan lagi adalah bahwa kebanyakan pelaku kekerasan ini merupakan orang-orang yang dikenal baik oleh korban, bisa guru, tetangga, teman, bahkan saudara atau orang tuanya sendiri. Dan biasanya kekerasan ini baru diketahui setelah korban berkali-kali mengalami tindak kekerasan seksual. Si anak bungkan 1000 bahasa. Apapun alasan si anak untuk bungkam, baik diancam, diperdaya, dipengaruhi, atau alasan-alasan lainnya, kita memang harus akui keterbukaan anak-anak kita untuk berterus terang kepada orang tuanya masih kurang.

Ketidakterbukaan ini menjadi salah satu faktor yang membuat kasus ini semakin lama semakin memprihatinkan. Si pelaku bisa dengan mudah memanfaatkan celah ini untuk melakukan aksinya, bahkan berulang kali tanpa takut akan ketahuan.

Cara yang paling ampuh untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mengajarkan anak untuk berbicara secara terbuka. Hal pertama yang perlu diketahui dan disadari oleh orang tua adalah bahwa kekerasan seksual pada anak-anak bisa terjadi dimanapun dan oleh siapapun, baik di dalam rumah maupun di luar. Oleh karena itu orang tua perlu membekali anak-anak pengetahuan mengenai kekerasan seksual ini karena para pakar meyakini bahwa anak-anak yang memiliki pengetahun ini sejak dini akan berpeluang besar mencegah hal ini terjadi pada dirinya.

Jika kita berbicara tentang kesiapan orang tua untuk membicakan masalah ini dengan anak, tidak ada orang tua yang benar-benar merasa siap untuk membicakan masalah ini apalagi budaya kita sendiri yang masih "malu-malu" soal masalah seksualitas. Tetapi perlu diingat bahwa semakin dini anak mengetahui masalah ini semakin besar kesempatan anak untuk terhindar menjadi korban kekejian kekerasan seksual ini. Pembicaran ini tentu saja disesuaikan dengan umur si anak, semakin muda si anak maka semakin sederhana juga cara penjelasannya.

Bagaimana cara melakukannya? Lakukan pembicaraan ini dengan positif. Pilihlah metode-motode pembicaraan sehari-hari yang mirip untuk menjelaskan masalah ini. Misalnya, ketika kita ingin menjelaskan bahaya-bahaya tindak kekerasan seksual, maka kita bisa analogikan dengan pembahasan tentang bahaya ketika menyeberang jalan. Karena pembicaraan mengenai kekerasan seksual ini termasuk yang kurang umum, selalu usahakan untuk menggabungkannya dengan kejadian-kejadian umum yang diketahui anak. Hal ini perlu agar si anak merasa "nyaman" dan "positif" menganai masalah ini. Jadi suatu saat, jika sesuatu yang tidak beras dirasa oleh si anak (mengalami kekerasan seksual), dia akan mudah membicarakannya dengan orang tuanya, sama seperti dengan polosnya si anak berbicara tentang temannya yang dinasehati gurunya karena tidak hati-hati ketika menyeberang jalan.

Orang tua juga perlu membekali anak-anak pengetahuan dasar tentang suksualitas, misalnya seperti organ-organ pribadi. Si anak perlu mengetahui bahwa organ-organ pribadi ini tidak boleh dijamah oleh sembarang orang. Untuk anak laki-laki seperti penis, buah zakar, dan anus sedang untuk anak wanita vagina, dada, dan anus. Dan usahakan untuk selalu menggunakan istilah yang sebenarnya untuk menamai alat kelamin (penis dan vagina). Karena jika kita menggunakan istilah pengganti yang banyak beredar di masyarakat, si anak bisa bingung dan akhirnya enggan dan malu membicarakan masalah ini.

Berkaitan dengan ini, dimulai dari rumah, si anak juga perlu dibekali pengetahuan tentang siapa saja orang dewasa atau seluruh pengguhi rumah yang lebih tua dari si anak yang bisa menjamah organ-organ pribadi si anak tersebut. Misalnya, jika si anak masih biasa dimandikan, maka beritahu si anak bahwa yang bisa menjamah organ pribadinya adalah orang-orang yang biasanya memandikan dan mengganti bajunya, apakah itu si ayah, ibu, nenek, atau pengasuh. Katakan secara jelas kepada anak agar dia tidak bingung.

Jadi, jika suatu hal terjadi pada si anak, misalnya di sekolah, baik guru maupun teman-temannya menjamah bagian pribadinya, si anak akan mengerti bahwa orang lain tersebut tidak benar menjamah organ pribadinya, sehingga si anak bisa terhindar dari kemungkinan terburuk dan terhindar dari kekerasan seksual. Dan si anak juga tidak akan malu lagi ketika membicakan pengalamannya tersebut kepada orang tuanya karena pada awalnya sudah ada diskusi positif antara anak dan orang tua.

Bagi anak yang lebih besar (menjelang remaja atau sudah remaja) bisa membicarakan masalah ini dengan lebih kompleks. Tingkat inteligensi anak yang semakin berkembang memungkinkan tingkat pembicaraan ini. Kita bisa memulai dengan sistem diskusi terbuka dan positif. Positif dalam hal ini berarti jangan langsung memarahi si anak jika jawabannya kurang tepat.

Misalnya, kita bisa membuka pertanyaan kepada si anak seperti berikut, "Anto jika orang lain datang dan mau memberi kamu uang kalau kamu mau berkunjung ke rumahnya, apa yang akan kamu lakukan?" Tunggu jawaban si anak sampai lengkap dan jika jawabannya tidak tepat jangan langsung menghakimi. Hal ini akan membuat si anak takut membicarakannya suatu saat. Jika jawabannya kurang tepat, arahkan si anak menggunakan logika untuk membantu si anak memahami positif dan negatifnya suatu kejadian tersebut. Diskusi seperti ini bisa terus berkembang sampai si anak benar-benar paham situasi dan permasalahannya.

Sebagai tambahan, sangat penting bagi orang tua untuk menyebutkan organ-organ kelamin dengan nama sebenarnya, seperti penis dan vagina dan jangan menggunakan istilah lainnya karena akan membingungan si anak dan juga orang tuanya suatu saat. Misalnya, jika orang tua menggunakan istilah burung untuk menyebutkan penis, suatu saat ketika si anak cerita bahwa dia dan Om X pergi melihat burung, kewaspadaan orang tua mungkin berkurang karena mungkin menganggap istilah burung ini merupakan burung sebenarnya, padahal mungkin saja itu merupakan tanda-tanda awal si anak mengalami kekerasan seksual.

Demikianlah beberapa hal yang bisa saya ceritakan. Semoga bermanfaat dan semoga anak-anak kita bisa tumbuh sehat jasmani dan rohani agar bisa menjadi pemimpin yang handal di masa depan.

Salam sehat jasmani dan rohani.

Sumber Kompas.com, BBC Indonesia, Majalah Nova Edisi Februari 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun