Bagi anak yang lebih besar (menjelang remaja atau sudah remaja) bisa membicarakan masalah ini dengan lebih kompleks. Tingkat inteligensi anak yang semakin berkembang memungkinkan tingkat pembicaraan ini. Kita bisa memulai dengan sistem diskusi terbuka dan positif. Positif dalam hal ini berarti jangan langsung memarahi si anak jika jawabannya kurang tepat.
Misalnya, kita bisa membuka pertanyaan kepada si anak seperti berikut, "Anto jika orang lain datang dan mau memberi kamu uang kalau kamu mau berkunjung ke rumahnya, apa yang akan kamu lakukan?" Tunggu jawaban si anak sampai lengkap dan jika jawabannya tidak tepat jangan langsung menghakimi. Hal ini akan membuat si anak takut membicarakannya suatu saat. Jika jawabannya kurang tepat, arahkan si anak menggunakan logika untuk membantu si anak memahami positif dan negatifnya suatu kejadian tersebut. Diskusi seperti ini bisa terus berkembang sampai si anak benar-benar paham situasi dan permasalahannya.
Sebagai tambahan, sangat penting bagi orang tua untuk menyebutkan organ-organ kelamin dengan nama sebenarnya, seperti penis dan vagina dan jangan menggunakan istilah lainnya karena akan membingungan si anak dan juga orang tuanya suatu saat. Misalnya, jika orang tua menggunakan istilah burung untuk menyebutkan penis, suatu saat ketika si anak cerita bahwa dia dan Om X pergi melihat burung, kewaspadaan orang tua mungkin berkurang karena mungkin menganggap istilah burung ini merupakan burung sebenarnya, padahal mungkin saja itu merupakan tanda-tanda awal si anak mengalami kekerasan seksual.
Demikianlah beberapa hal yang bisa saya ceritakan. Semoga bermanfaat dan semoga anak-anak kita bisa tumbuh sehat jasmani dan rohani agar bisa menjadi pemimpin yang handal di masa depan.
Salam sehat jasmani dan rohani.
Sumber Kompas.com, BBC Indonesia, Majalah Nova Edisi Februari 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H