Dibawah senja kemerahan yang begitu hangat, seorang mahasiswa bertanya pada saya, "Pak Ferri, apa itu seni?" Saya lebih memilih diam sambil tersenyum memandangi burung-burung yang berkicauan di ranting Pohon Beringin.Â
"Pak, kenapa bapak malah diam dan tersenyum?"
Saya menoleh padanya dan menjawab, "Dalam banyak hal, kita tak pernah dapat mengerti sepenuhnya secara tuntas."
"Bagaimana, pak? Saya tidak memahami apa yang bapak katakan."
"Iya, seperti halnya cinta/kasih sayang. Perhatikan dengan baik. Apakah kita bisa memahami cinta/kasih sayang/apapun itu namanya. Sepenuh-penuhnya. Setuntas-tuntasnya? Apakah dia itu? kenapa dia ada? dan bagaimana dia bekerja? Dan lain sebagainya."
"Tidak, pak."
"Memang enggak akan pernah juga sih. Sejalan dengan apa yang dikatakan Jalaluddin Rumi: tak ada yang kita tahu tentang cinta, kecuali namanya. Tapi apa karena kita sebatas tahu namanya, maka kita belum boleh mencintai/mengasihi seseorang? Begitu juga halnya dengan seni. Apa karena kita sebatas tahu namanya, maka kita belum boleh menciptakan karya seni?"
"Enggak sih, pak. Tapi menarik loh penjelasannya."
"Perjalanan mengerti, memahami atau mengenal itu sifatnya sepanjang hayat, harus dilakoni seumur hidup. Dan barangkali sampai akhir menutup mata sekalipun, hal-hal tadi tak pernah dapat kita mengerti sepenuhnya secara tuntas."
"Jadi apa sebaiknya kita tidak perlu mencari tahu? Toh tidak pernah ada ketuntasan juga didalamnya"
"Tetap perlu dong. Apakah sesudah makan, maka seumur hidup kamu enggak akan lapar lagi? Enggak kan? Ya begitupun dengan pencarian terhadap makna-makna tadi. Semuanya butuh proses, mensyaratkan waktu. Dan itulah hidup. C'est la vie.
Malam merambat pelan. Sebuah pesan masuk dalam gawai, "Hey. Lagi apa? Gmn kerjaannya hari ini?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H