Mohon tunggu...
Ferre Templar
Ferre Templar Mohon Tunggu... -

Saya Menulis Demi Menjaga Kewarasan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Curahan Hati Seorang "Commuter" Kemacetan di Jakarta Antara Dilema dan Realita

6 November 2017   08:54 Diperbarui: 6 November 2017   09:39 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masalah Perjalan Bekerja

Kehidupan di Jakarta, mulai terlihat dari subuh, saat intensitas kendaraan berangsur meningkat. Diatas jam 5.30 pagi, kendaraan akan berjubel dan membuat bertanya-tanya, darimana kendaraan sebanyak ini muncul. Diatas Jam 6.00 pagi, maka jalan Jakarta akan terlihat seperti sungai mobil dan motor. Saat ini terjadi, perjalanan 5 Km saja bisa dijalani dalam waktu 1 jam dengan mobil. Untuk ilustrasi kecepatan berjalan manusia adalah 3-5 km perjam. Artinya, waktu tempuh mobil dengan berjalan kaki kurang lebih sama. Sesuai dengan sebuah artikel yang sempat viral di social media, warga Jakarta menghabiskan waktu 22 hari setahun  di Jalan karena macet. Itu artinya 1 bulan hari kerja.

Jika waktu tempuh sama kenapa masyarakat tidak berjalan kaki? Seingat penulis, rasanya baru-baru ini pelebaran trotoar pejalan kaki menjadi perhatian pemerintah di Jakarta (apa yang terjadi di kota yang jauh dari kekuasaan?) Jalan kaki di Jakarta sungguh meletihkan, minimnya trotoar, polusi dan kurangnya kepedulian dari masyarakat terhadap kebersihan membuat pengalaman berjalan kaki menjadi tidak menyenangkan.  Belum lagi masalah keamanan. Jadi jangan heran masyarakat Jakarta adalah masyarakat yang malas jalan kaki. Lucunya banyak rekan penulis yang berpergian keluar negeri, tidak usah jauh-jauh ke Eropa, ke Singapura saja mereka merasakan nikmatnya berjalan kaki. Sebagain besar justru hanya ingin berjalan kaki karena merasakan suasana yang nyaman.

Bagaimana dengan kendaraan umum. Sudah pernah merasakan kereta comuter? Sudahkah anda merasakan berjejalan, antri dan resiko "mogok".  Kereta comuter terkesan lebih padat ketimbang kereta Jerman yang membawa tahanan ke Auschwitz. Selain padat, reabilitas waktu dan kereta masih kurang bisa diandalkan. Belom tentu jadwal yang terpampang sesuai dengan kenyataan. Apalagi jika kondisi hujan, makin meriah segala sesuatunya.  

Bus Juga tidak banyak beda, semakin jarang bus umum terlihat di jalanan. Dengan macetnya Jakarta, waktu dalam bus lebih tidak bisa dihitung. Terlepas jalur busway yang sempat jadi "news center" pelayanannya masih belom menjawab kebutuhan utama warga. Kebutuhan ketepatan waktu dan kenyamanan demi tidak lecek dan kumal saat tiba di kantor. Jadi jangan salahkan ojek online yang menjadi primadona masyarakat saat ini. Setidaknya mereka menjawab kebutuhan masyarakat. Waktu bisa diperkirakan, cukup nyaman dan aman untuk tidak kumal ketika bekerja, serta biaya yang relative murah ketimbang menyicil kendaraan pribadi  atau naik moda kendaaraan umum yang lain. contohnya bisa lihat link ini https://www.youtube.com/watch?v=YOUUwkCQLUo&feature=youtu.be

Kenapa Perjalanan Bekerja Penting.

Mungkin pembaca sering dengar kata-kata, Produktifitas masyarakat rendah. Kalo menghabiskan waktu pergi dan pulang dari tempat kerja sampai 4 jam rasanya bukan produktifitas yang rendah, tapi produktifitas habis di jalan. Jika perjalanan ke kantor hamper mencapai 2 jam, pulang kantor juga 2 jam. Maka, 4 jam dialokasikan untuk perjalanan. Sehari 24 jam, bekerja 8 jam (jika tidak lembur) tidur 8 jam (jika tidak ingin sakit) maka 20 jam sudah habis. Hanya ada waktu 4 jam tersisa. 4 jam. Yah begitulah bagaimana waktu bisa habis.

Masyarakat yang bekerja di Jakarta dengan rentang umur 30-40 tahun tidak banyak yang cukup berhasil bisa menikmati tinggal dekat dengan kantor. Mengingat hamper semua pusat bisnis dan perdagangan terkonsentrasi di pusat Jakarta, dimana kita tahu sendiri harga tempat tinggal bisa selangit. Sebagai ilustrasi, Suami istri bekerja, semuanya sudah level manager dengan gaji 15 -- 20 juta. Artinya keluarga itu punya pendapatan 30-40 juta sebulan, bisa mencicil rumah di kawasan pinggiran Jakarta seperti Cipete, Tanah Kusir, Pasar minggu, yang harga rumahnya sudah diatas 2 milyar rupiah? Supaya bisa menikmati kpr 2 milyar maka DP harus 30% dan cicilan maksimal 40% dari total pendapatan. Artinya harus ada uang 700 juta dan cicilan 15 jutaan. Hitung sendiri kapan lunasnya.

Solusinya adalah pergi kepinggiran Jakarta seperti Bintaro, Serpong, Cinere, Pamulang, dsb dimana harga rumah "masih" sekitaran 1 milyar. Keluarga dengan penghasilan 30-40 juta sebulan masih terjangkau memiliki rumah di tempat-tempat tersebut. Sehingga mereka akan menggunakan kendaraan pribadi ketimbang kendaraan umum demi menjaga ketepatan waktu yang dituntut dari kantor. Supaya menjaga ketepatan waktu, mereka ikhlas berangkat sangat pagi dan pulang malam.

Ironinya, terlalu sedikit masyarakat yang punya penghasilan sebesar ilustrasi diatas. Mereka memilih punya rumah lebih jauh lagi. Wilayah Bogor, Cibubur, Tangerang Tambun, Bekasi, dsb. Dengan jarak tempuh lebih dari 20km dari tempat kerja. Bisa dibayangkan betapa letih masyarakat kita bekerja. Bahkan demi menekan anggaran, menggunakan sepeda motor yang di design sebagai moda transportasi jarak pendek, digunakan sebagai transportasi utama. Karena kita terbiasa fenomena ini maka kita tidak melihatnya sebagai masalah, macam ikan yang bingung menjelaskan air itu apa. Tapi jika ingin membangun produktifitas, perhatikan berapa banyak produtifitas yang habis di jalan.

Regulator? Lupakan saja, Negara Tidak Pernah Hadir.

Sub judul diatas mungkin terlalu keras, tapi memang begitu adanya. Mereka selalu bicara "ini terjadi karena pertumbuhan jalan tidak sebanding dengan pertumbuhan kendaraan" itu sudah jelas. Masyarakat juga tau. Jawaban bodoh seperti itu semestinya tidak boleh muncul dari pemerintah mengingat mereka adalah "putra putri tebaik" orang pilihan dari saringan ketat PNS.

Mereka enggan berpikir, kenapa pertumbuhan kendaraan meningkat. Saat ini logikanya logika proyek. Membangun macam-macam fasilitas umum tanpa berpikir apakah proyek tersebut menjawab masalah. Contoh masalah busway dari Ciledug hingga Mampang. Pembaca sudah coba naik? Beberapa menit sekali busnya lewat? Sudah naik ke haltenya? Anda akan dipaksa naik tangga supaya sehat, tangganya tidak tanggung-tanggung, kurang lebih setinggi ruko lantai 3. Lagi-lagi tidak menjawab persoalan. Apakah moda transportasi ini tepat waktu dan membuat anda tidak lecek sampai tempat kerja?

Pemerintah tidak mau mengurus masalah paling fundamental, pelayanan publik. Pelayanan publik memang harus lost karena itu bentuk investasi pemerintah terhadap produktivitas masyarakat.  Pemerintah tidak mau lost inginnya dapat profit. Entah profit itu yang nikmati siapa. Mengenai perumahan umum, apakah ada pemukiman buat masyarakat yang dikelola dengan baik ditengah kota? Rasanya tidak ada, lahan-lahan strategis pasti milik swasta. Transportasi publik bagaimana?

Tidak ada, perusahaan bus dibiarkan mati, PPD Metromini, Kopaja mereka tinggal tunggu punah. Perusahaan bus dipaksa "lestari" dengan tarif rendah tanpa subsidi. Alhasil perusahaan menekan pengemudinya sehingga jadi ugal-ugalan, praktik lainnya, kendaraan dipaksa layak jalan walaupun tidak demi adanya pundi-pundi masuk ke perushaaan. Itupun belom cukup untuk mempertahankan biaya operasi. Justru yang melakukan subsisdi adalah perusahaan online. Mereka  mensubsidi tukang ojek. Terlepas perushaan online itu akan dapat profit darimana, justru mereka berani melakukan investasi kepada masyarakat dengan mensubsidi perjalanan ojek sehingga masyarakat bisa berpergian dengan reliable dan relative sampai dengan nyaman tanpa lecek.

Negara tidak pernah berpihak bagi masyarkat Jakarta, padahal masyarakat Jakarta dekat dengan kekuasaan, entah apa yang terjadi kepada masyarakat yang jauh dari pusat kekuasaan. Walaupun pada akhirnya Perusahaan transportasi online itu akan buat perkara (subsidi dalam jumlah besar pasti ada harapan kembali) Mereka sempat melakukan terobosan untuk menjawab kebutuhan. Logikanya adalah logika pelayanan, bukan logika proyek. MRT ini juga sebetulnya aneh. Jika pemerintah bisa mengatur bus way lebih "berpihak" kepada masyarakat dengan menyediakan ketepatan waktu dan kenyamanan, banyak masyarakat mau menggunakan. Saat ini busnya saja lewat senin-kamis, bagaimana masyarakat bisa memberikan kepercayaannya. MRT jika diperhatikan hanya memindahkan koridor 1 ke moda rel. tidak ada yang signifikan. Terkesan, yang signifikan proyeknya. Apa untungnya buat masyarakat nantinya?

Oiya apa kabar dengan monorail? Itu tiangnya masih tertanam di kuningan dan senayan? Tolong pemerintah/regulator terhormat, pembangunan proyek-proyek itu menggunakan uang anggaran pemerintah dimana disitu ada uang pajak masyarakat dan hasil kekayaan tanah air Indonesia. Jika saya tidak salah, maka pemerintah harus tunduk pada undang-undang dasar negeri ini.

Gimana nasib amanat undang-undang untuk "memajukan kesejahteraan umum" Kata "umum" rasanya  berarti masyarakat luas, bukan hanya oknum pemerintah dan pelaksana proyek yah. Peran regulator disini nampaknya memastikan bahwa uang yang terkumpul dari masyarakat digunakan seluas-luasnya untuk kepentingan pribadi. Ajaibnya, mayoritas masyarakat diam saja. Mungkin memang nikmat hidup di Jakarta dengan semua mukzizat ketimpangan yang ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun