Mohon tunggu...
Ferre Templar
Ferre Templar Mohon Tunggu... -

Saya Menulis Demi Menjaga Kewarasan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Curahan Hati Seorang "Commuter" Kemacetan di Jakarta Antara Dilema dan Realita

6 November 2017   08:54 Diperbarui: 6 November 2017   09:39 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sub judul diatas mungkin terlalu keras, tapi memang begitu adanya. Mereka selalu bicara "ini terjadi karena pertumbuhan jalan tidak sebanding dengan pertumbuhan kendaraan" itu sudah jelas. Masyarakat juga tau. Jawaban bodoh seperti itu semestinya tidak boleh muncul dari pemerintah mengingat mereka adalah "putra putri tebaik" orang pilihan dari saringan ketat PNS.

Mereka enggan berpikir, kenapa pertumbuhan kendaraan meningkat. Saat ini logikanya logika proyek. Membangun macam-macam fasilitas umum tanpa berpikir apakah proyek tersebut menjawab masalah. Contoh masalah busway dari Ciledug hingga Mampang. Pembaca sudah coba naik? Beberapa menit sekali busnya lewat? Sudah naik ke haltenya? Anda akan dipaksa naik tangga supaya sehat, tangganya tidak tanggung-tanggung, kurang lebih setinggi ruko lantai 3. Lagi-lagi tidak menjawab persoalan. Apakah moda transportasi ini tepat waktu dan membuat anda tidak lecek sampai tempat kerja?

Pemerintah tidak mau mengurus masalah paling fundamental, pelayanan publik. Pelayanan publik memang harus lost karena itu bentuk investasi pemerintah terhadap produktivitas masyarakat.  Pemerintah tidak mau lost inginnya dapat profit. Entah profit itu yang nikmati siapa. Mengenai perumahan umum, apakah ada pemukiman buat masyarakat yang dikelola dengan baik ditengah kota? Rasanya tidak ada, lahan-lahan strategis pasti milik swasta. Transportasi publik bagaimana?

Tidak ada, perusahaan bus dibiarkan mati, PPD Metromini, Kopaja mereka tinggal tunggu punah. Perusahaan bus dipaksa "lestari" dengan tarif rendah tanpa subsidi. Alhasil perusahaan menekan pengemudinya sehingga jadi ugal-ugalan, praktik lainnya, kendaraan dipaksa layak jalan walaupun tidak demi adanya pundi-pundi masuk ke perushaaan. Itupun belom cukup untuk mempertahankan biaya operasi. Justru yang melakukan subsisdi adalah perusahaan online. Mereka  mensubsidi tukang ojek. Terlepas perushaan online itu akan dapat profit darimana, justru mereka berani melakukan investasi kepada masyarakat dengan mensubsidi perjalanan ojek sehingga masyarakat bisa berpergian dengan reliable dan relative sampai dengan nyaman tanpa lecek.

Negara tidak pernah berpihak bagi masyarkat Jakarta, padahal masyarakat Jakarta dekat dengan kekuasaan, entah apa yang terjadi kepada masyarakat yang jauh dari pusat kekuasaan. Walaupun pada akhirnya Perusahaan transportasi online itu akan buat perkara (subsidi dalam jumlah besar pasti ada harapan kembali) Mereka sempat melakukan terobosan untuk menjawab kebutuhan. Logikanya adalah logika pelayanan, bukan logika proyek. MRT ini juga sebetulnya aneh. Jika pemerintah bisa mengatur bus way lebih "berpihak" kepada masyarakat dengan menyediakan ketepatan waktu dan kenyamanan, banyak masyarakat mau menggunakan. Saat ini busnya saja lewat senin-kamis, bagaimana masyarakat bisa memberikan kepercayaannya. MRT jika diperhatikan hanya memindahkan koridor 1 ke moda rel. tidak ada yang signifikan. Terkesan, yang signifikan proyeknya. Apa untungnya buat masyarakat nantinya?

Oiya apa kabar dengan monorail? Itu tiangnya masih tertanam di kuningan dan senayan? Tolong pemerintah/regulator terhormat, pembangunan proyek-proyek itu menggunakan uang anggaran pemerintah dimana disitu ada uang pajak masyarakat dan hasil kekayaan tanah air Indonesia. Jika saya tidak salah, maka pemerintah harus tunduk pada undang-undang dasar negeri ini.

Gimana nasib amanat undang-undang untuk "memajukan kesejahteraan umum" Kata "umum" rasanya  berarti masyarakat luas, bukan hanya oknum pemerintah dan pelaksana proyek yah. Peran regulator disini nampaknya memastikan bahwa uang yang terkumpul dari masyarakat digunakan seluas-luasnya untuk kepentingan pribadi. Ajaibnya, mayoritas masyarakat diam saja. Mungkin memang nikmat hidup di Jakarta dengan semua mukzizat ketimpangan yang ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun