Mohon tunggu...
Ferre Templar
Ferre Templar Mohon Tunggu... -

Saya Menulis Demi Menjaga Kewarasan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bersiaplah, Pemecatan Besar-besaran Akan Terjadi

5 November 2017   14:22 Diperbarui: 5 November 2017   14:30 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perlambatan Ekonomi Memang Terjadi

Seperti yang dimuat pada Kumparan.com, ternyata ekonomi Indonesia memang melambat. Masalah perlambatan ekonomi terasa di berbagai lini. Tak cuma pedagang dan toko retail yang sedang terpukul saat ini. Produsen barang konsumsi atau kebutuhan konsumen (Fast Moving Consumer Goods / FMCG) juga menderita perlambatan pertumbuhan penjualan selama sembilan bulan pertama tahun ini. Hal tersebut semakin mempertegas indikasi melemahnya daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah-bawah, ketimbang pengaruh tren penjualan secara elektronik (e-commerce).

Berdasarkan data lembaga survei Nielsen, penjualan barang konsumsi selama periode Januari-September 2017 hanya tumbuh 2,7%. Angka ini melanjutkan tren perlambatan penjualan FMCG yang tahun lalu tumbuh 7,7%, atau di bawah rata-rata pertumbuhan tahunan penjualannya sebesar 11% selama lebih 10 tahun ini.

Data tersebut terlihat cukup sahih, apalagi jika melihat data-data yang lain. Fenomena lesunya penjualan barang konsumsi juga terlihat merata di seluruh daerah. Di DKI Jakarta, penjualan FMCG turun 2,3%. Begitu pula di Jawa Timur yang turun 0,1%. Sedangkan penjualan barang konsumsi di Jawa Barat dan Jawa Tengah masih naik tipis masing-masing 6,1% dan 1,7%. Padahal, empat provinsi di Pulau Jawa ini menguasai 68% total pasar penjualan barang konsumsi di seluruh Indonesia.

Daya beli masyarakat menengah ke bawah tertekan

Data dari Nielsen menjelaskan penyebab penurunan konsumsi barang rumah tangga karena pelemahan daya beli pada masyarakat menengah ke bawah. Pelemahan daya beli disebabkan turunnya take home pay dan sebaliknya biaya kebutuhan hidup meningkat.

Penghasilan masyarakat turun karena tak ada kenaikan gaji atau kenaikan yang tak signifikan, juga berkurangnya tambahan pemasukan dari lembur, ketiadaan komisi atau sumber lainnya. Sementara biaya hidup dan pengeluaran meningkat seperti tarif listrik, biaya makanan, dan belanja sekolah.

Masyarakat pun berhemat dengan mengerem belanja yang membuat konsumsi mi intan turun 2,7% dan kopi instan turun 1,5%. Sebaliknya, masyarakat memilih membawa bekal makanan dan membuat snack sendiri yang terlihat dari peningkatan belanja tepung terigu 28,1%, minyak goreng (13,4%) dan susu cair (13,8%). Mereka juga memilih produk dalam kemasan kecil (sachet) untuk mengontrol penggunaannya.

Pemerintah tidak tinggal diam, bahkan desas-desus bahwa pemerintah DKI Jakarta akan menaikkan UMR pada bulan November ini. Apakah penaikan UMR menjadi langkah tepat bagi kondisi ekonomi saat ini?

Analisa Marxis Terkait Kondisi Ekonomi.

Mungkin semua ekonom konvensional akan bingung dengan kondisi yang terjadi, tapi dari kacamata persepektif kiri, kondisi ini memang sudah bisa diprediksi. Kapitalisme sudah punya fitur kontradiksi yang "included" didalam dirinya. Kapitalisme pasti akan membawa kesenjangan ekonomi anatara si kaya dan si miskin, serta adanya "business cycle atau boom & bust". Kondisi ekonomi Indonesia yang sedang melambat pertanda akan adanya bust/resesi yang segera terjadi jika tidak ada intervensi dari masyarakat atau pemerintah.

Seperti layaknya negara yang menggunakan kapitalisme sebagai system yang dominan, Indonesia sudah terkena efek sampingnya. Menurut laporan Oxfam 2016, 4 orang terkaya di Indonesia memiliki 50% asset di Indonesia. Dengan index GINI yang tembus 0,4 membuat Negeri ini menjadi salah satu negeri dengan ketimpangan ekonomi tertinggi.

Data-data sepertinya sudah masuk dalam skema berpikir Marx, lalu apa yang akan terjadi. Jika data tersebut akurat, maka ekonomi Indonesia akan terus melambat. Toko dan pabrik akan berhenti berproduksi atau terus mengurangi pekerja sebagai upaya mengurangi produksi demi tetap menjaga profit. Usaha pemerintah menaikan UMR justru menjadi bumerang, karena cost yang ditanggung dunia usaha justru akan membengkak. Alhasil, pengusaha berlomba-lomba mengurangi tenaga kerja akibat tenaga kerja sangat mahal.

Lalu ketika makin banyak orang di berhentikan dari pekerjaannya bagaimana masyarakat punya daya beli? Yah tidak ada daya beli, masyarakat makin megetatkan pembelian barang-barang konsumsi. Masyarakat tidak mampu beli, maka pengusaha tidak akan berproduksi. Buat apa berproduksi jika tidak ada yang beli. Indikasi ini bisa dilihat dengan data-data berikut. Masyarakat terlihat berhemat dengan mengerem belanja yang membuat konsumsi mi intan turun 2,7% dan kopi instan turun 1,5%. Sebaliknya, masyarakat memilih membawa bekal makanan dan membuat snack sendiri yang terlihat dari peningkatan belanja tepung terigu 28,1%, minyak goreng (13,4%) dan susu cair (13,8%). Mereka juga memilih produk dalam kemasan kecil (sachet) untuk mengontrol penggunaannya.

Nah dengan kondisi diatas, apakah pemerintah diam saja. Tidak, pemerintah pasti akan memberi "stimulus" Pemerintah akan menyalurkan uang ke masyarakat agar daya beli naik. Pada jaman rezim Susilo Bambang Yudhoyono, Pemerintah memberikan bantuan langsung tunai ke masyarakat agar daya beli masyarakat tetap ada. Namun itu tidak menjawab apapun, hanya mendorong masalah ke masa depan, karena pada akhirnya, uang yang disebar ke masyarakat akan kembali ke kantong kaum pengusaha lewat profit dari usahanya yang dibeli dengan uang bantuan langsung tunai. Ironis, uang dari pemerintah akan memenuhi pundi-pundi pengusaha lagi.

Membangun infrastruktur atau belanja pemerintah yang dilakukan pemerintah saat ini juga tidak berdampak signifikan dalam meningkatkan ekonomi masyarakat. Terbukti dari giat-giatnya infrastruktur dibangun rezim Jokowi, toh perlambatan ekonomi saat ini terjadi. Kenapa ini bisa terjadi? Sama dengan kisah diatas, uang pemerintah yang harusnya "menetes ke masyarakat" nyangkut di pengusaha konstruksi dan calo-calo proyek serta oknum pemerintah.

Tidak heran masyarakat kelas atas dan dekat dengan kekuasaan makin meningkat kekayaannya. Hal ini bisa dilihat dari makin banyaknya tabungan di Bank. Hal ini bisa dilihat dengan data dari Survei Kepercayaan Konsumen oleh Bank Mandiri menunjukkan porsi pendapatan masyarakat yang ditabung naik dari 20,6% pada Juli 2017 menjadi 21,1% pada Agustus 2017," Masyarakat yang miskin sepertinya tidak akan bisa jadi kaya sedangkan yang kaya terus meningkatkan tabungannya.

Bagaimana Solusinya

Apakah pemerintah akan meningkatkan pendapatan pajak. Para pengusaha akan menaruh kekayaannya di luar negeri terlepas adanya program tax amnesti. Kalo tax amnesti itu benar-benar berhasil, mengapa ekonomi tetap melambat? Jawabanya karena takut bayar pajak yang lumayan besar di kemudian hari, lebih baik menghentikan usaha atau mengurangi kapasitas ketimbang keuntungan selalu tergerus oleh pajak yang tinggi.

Solusi lain yang mungkin dilakukan pemerintah adalah dengan berutang (lagi) Tapi ini akan menjadi masalah baru karena utang pemerintah jika disalurkan ke masyarakat entah lewat program pembangunan ataupun bantuan langsung tunai akan berakhir seperti kisah diatas. Tidak akan memperbaiki kondisi ekonomi. Justru masyarakat harus membayar cicilan utang serta bunganya dikemudian hari.

Jadi apa solusinya? Selama masyarakat tidak merasakan ada yang salah dengan pengelolaan ekonomi yang ada di Indonesia, selamanya kondisi ini akan berlangsung. Pendiri bangsa ini sudah memberikan beberapa alternatif yang bisa dilakukan, namun kapan bangsa ini mau meniliki sejarah secara objektif? Mungkin krisis ekonomi yang maha dahsyat baru bisa membuat bangsa ini melek kondisi nyata ekonomi Indonesia ini. Selama masyarakat tidak diperkenalkan dengan cara melihat ekonomi dengan sudut pandang yang lain, masyarakat akan selalu terjebak dalam permasalahan ini serta ilusi pertumbuhan ekonomi.

Diskusi secara intensif terkait ekonomi dengan beragam perspektif dan multi disipliner merupakan awal dari perbaikan ekonomi Indonesia. Tapi apa kita siap berdiskusi secara jujur?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun