Seperti layaknya negara yang menggunakan kapitalisme sebagai system yang dominan, Indonesia sudah terkena efek sampingnya. Menurut laporan Oxfam 2016, 4 orang terkaya di Indonesia memiliki 50% asset di Indonesia. Dengan index GINI yang tembus 0,4 membuat Negeri ini menjadi salah satu negeri dengan ketimpangan ekonomi tertinggi.
Data-data sepertinya sudah masuk dalam skema berpikir Marx, lalu apa yang akan terjadi. Jika data tersebut akurat, maka ekonomi Indonesia akan terus melambat. Toko dan pabrik akan berhenti berproduksi atau terus mengurangi pekerja sebagai upaya mengurangi produksi demi tetap menjaga profit. Usaha pemerintah menaikan UMR justru menjadi bumerang, karena cost yang ditanggung dunia usaha justru akan membengkak. Alhasil, pengusaha berlomba-lomba mengurangi tenaga kerja akibat tenaga kerja sangat mahal.
Lalu ketika makin banyak orang di berhentikan dari pekerjaannya bagaimana masyarakat punya daya beli? Yah tidak ada daya beli, masyarakat makin megetatkan pembelian barang-barang konsumsi. Masyarakat tidak mampu beli, maka pengusaha tidak akan berproduksi. Buat apa berproduksi jika tidak ada yang beli. Indikasi ini bisa dilihat dengan data-data berikut. Masyarakat terlihat berhemat dengan mengerem belanja yang membuat konsumsi mi intan turun 2,7% dan kopi instan turun 1,5%. Sebaliknya, masyarakat memilih membawa bekal makanan dan membuat snack sendiri yang terlihat dari peningkatan belanja tepung terigu 28,1%, minyak goreng (13,4%) dan susu cair (13,8%). Mereka juga memilih produk dalam kemasan kecil (sachet) untuk mengontrol penggunaannya.
Nah dengan kondisi diatas, apakah pemerintah diam saja. Tidak, pemerintah pasti akan memberi "stimulus" Pemerintah akan menyalurkan uang ke masyarakat agar daya beli naik. Pada jaman rezim Susilo Bambang Yudhoyono, Pemerintah memberikan bantuan langsung tunai ke masyarakat agar daya beli masyarakat tetap ada. Namun itu tidak menjawab apapun, hanya mendorong masalah ke masa depan, karena pada akhirnya, uang yang disebar ke masyarakat akan kembali ke kantong kaum pengusaha lewat profit dari usahanya yang dibeli dengan uang bantuan langsung tunai. Ironis, uang dari pemerintah akan memenuhi pundi-pundi pengusaha lagi.
Membangun infrastruktur atau belanja pemerintah yang dilakukan pemerintah saat ini juga tidak berdampak signifikan dalam meningkatkan ekonomi masyarakat. Terbukti dari giat-giatnya infrastruktur dibangun rezim Jokowi, toh perlambatan ekonomi saat ini terjadi. Kenapa ini bisa terjadi? Sama dengan kisah diatas, uang pemerintah yang harusnya "menetes ke masyarakat" nyangkut di pengusaha konstruksi dan calo-calo proyek serta oknum pemerintah.
Tidak heran masyarakat kelas atas dan dekat dengan kekuasaan makin meningkat kekayaannya. Hal ini bisa dilihat dari makin banyaknya tabungan di Bank. Hal ini bisa dilihat dengan data dari Survei Kepercayaan Konsumen oleh Bank Mandiri menunjukkan porsi pendapatan masyarakat yang ditabung naik dari 20,6% pada Juli 2017 menjadi 21,1% pada Agustus 2017," Masyarakat yang miskin sepertinya tidak akan bisa jadi kaya sedangkan yang kaya terus meningkatkan tabungannya.
Bagaimana Solusinya
Apakah pemerintah akan meningkatkan pendapatan pajak. Para pengusaha akan menaruh kekayaannya di luar negeri terlepas adanya program tax amnesti. Kalo tax amnesti itu benar-benar berhasil, mengapa ekonomi tetap melambat? Jawabanya karena takut bayar pajak yang lumayan besar di kemudian hari, lebih baik menghentikan usaha atau mengurangi kapasitas ketimbang keuntungan selalu tergerus oleh pajak yang tinggi.
Solusi lain yang mungkin dilakukan pemerintah adalah dengan berutang (lagi) Tapi ini akan menjadi masalah baru karena utang pemerintah jika disalurkan ke masyarakat entah lewat program pembangunan ataupun bantuan langsung tunai akan berakhir seperti kisah diatas. Tidak akan memperbaiki kondisi ekonomi. Justru masyarakat harus membayar cicilan utang serta bunganya dikemudian hari.
Jadi apa solusinya? Selama masyarakat tidak merasakan ada yang salah dengan pengelolaan ekonomi yang ada di Indonesia, selamanya kondisi ini akan berlangsung. Pendiri bangsa ini sudah memberikan beberapa alternatif yang bisa dilakukan, namun kapan bangsa ini mau meniliki sejarah secara objektif? Mungkin krisis ekonomi yang maha dahsyat baru bisa membuat bangsa ini melek kondisi nyata ekonomi Indonesia ini. Selama masyarakat tidak diperkenalkan dengan cara melihat ekonomi dengan sudut pandang yang lain, masyarakat akan selalu terjebak dalam permasalahan ini serta ilusi pertumbuhan ekonomi.
Diskusi secara intensif terkait ekonomi dengan beragam perspektif dan multi disipliner merupakan awal dari perbaikan ekonomi Indonesia. Tapi apa kita siap berdiskusi secara jujur?