Di dunia kampus, kepatuhan mahasiswa sering kali dianggap sebagai hasil dari penerapan aturan yang ketat dan sanksi yang tegas. Namun, apakah kepatuhan sejati hanya bisa dicapai melalui ancaman hukuman? Atau, mungkinkah ada pendekatan yang lebih efektif untuk membuat mahasiswa merasa tergerak untuk mematuhi aturan dengan kesadaran penuh, tanpa merasa terpaksa? Dalam lingkungan yang dinamis seperti kampus, di mana mahasiswa diharapkan untuk berpikir kritis dan mandiri, pendekatan yang mengandalkan peraturan kaku mungkin justru kurang efektif.Â
Seperti halnya untuk membuat patuh anak kecil, mungkin memang pada dasarnya manusia tidak bisa dipaksa untuk diatur, apalagi jika aturan tersebut tidak sesuai dengan keinginannya atau malah menyusahkannya. Berdasarkan pendekatan ekonomi terhadap kejahatan dan hukuman yang diperkenalkan oleh Gary S. Becker, kita bisa mengeksplorasi bahwa kepatuhan tidak harus selalu mengandalkan sanksi, melainkan dapat didorong melalui pemahaman insentif, edukasi, dan peran komunitas. Dalam lingkungan kampus yang menekankan pemikiran kritis dan kebebasan akademik, pendekatan ini lebih selaras dengan nilai-nilai pendidikan dan pembentukan karakter mahasiswa.
Becker mengemukakan bahwa penegakan aturan yang efektif membutuhkan keseimbangan antara biaya dan manfaat sosial (social cost and benefit). Ia menjelaskan bahwa dalam setiap aturan, harus ada pendekatan yang tidak hanya berfokus pada peningkatan hukuman, tetapi juga pada probabilitas bahwa pelanggaran akan terdeteksi. Dalam konteks mahasiswa, hal ini bisa diinterpretasikan bahwa kepatuhan tidak hanya dicapai dengan memberikan ancaman sanksi, tetapi dengan menciptakan sistem di mana mahasiswa melihat keuntungan langsung dari mematuhi aturan dan memahami risiko dari pelanggaran. Penting untuk dipahami bahwa budaya kepatuhan lebih dari sekadar mengikuti peraturan.Â
Budaya ini menciptakan suatu lingkungan di mana individu secara sukarela bertindak sesuai aturan karena memahami pentingnya aturan tersebut bagi diri mereka sendiri maupun komunitas mereka. Di kampus, kepatuhan yang hanya didorong oleh ketakutan terhadap sanksi mungkin akan menciptakan efek jangka pendek, namun tidak menghasilkan kesadaran sejati. Kepatuhan semacam itu hanya bertahan selama ancaman hukuman ada, dan sering kali mahasiswa hanya berupaya untuk memenuhi aturan dengan syarat minimum. Sebaliknya, budaya kepatuhan yang sesungguhnya bisa mendorong mahasiswa untuk menjadi lebih bertanggung jawab dan proaktif dalam mematuhi aturan tanpa tekanan eksternal. Budaya ini juga menciptakan mahasiswa yang patuh walaupun tanpa pengawasan karena mahasiswa sudah memahami manfaat besar dari menaati peraturan tersebut untuk diri sendiri maupun untuk lingkungan sekitarnya.
Becker juga mengemukakan pentingnya "deterrence" atau pencegahan, mengingat sulitnya membuat budaya patuh tanpa pengawasan. Becker menekankan bahwa kepatuhan bisa lebih efektif dicapai ketika probabilitas pelanggaran diketahui tinggi, bukan hanya karena ancaman sanksi yang berat. Misalnya, di kampus, mahasiswa yang menyaksikan penegakan aturan yang konsisten, seperti pengawasan terhadap plagiarisme atau peraturan kehadiran, akan lebih termotivasi untuk mematuhi aturan. Mengutip Becker, "kepatuhan terhadap aturan seharusnya didasarkan pada kesadaran akan konsekuensi nyata dari pelanggaran, bukan sekadar ketakutan akan hukuman".Â
Strategi ini mungkin bisa diaplikasikan pada peraturan-peraturan yang baru dibuat. Ketika mahasiswa sudah memahami bahwa peraturan tersebut memiliki sisi positif ketika dipatuhi dan sisi negatif ketika dilanggar, mungkin kita bisa mengurangi pengawasan untuk menciptakan kesadaran dan kepatuhan kepada mahasiswa tanpa memerlukan pengawasan ataupun dengan pengawasan yang minim. Di kampus yang pernah saya timba ilmunya, mahasiswa disana memiliki budaya tidak menyontek. Ketika saya ketahuan menyontek dengan bukti yang kuat, maka saya akan di Drop Out dari kampus. Bahkan ancaman Drop Out dari kampus terkadang dipakai agar kita mematuhi peraturan-peraturan yang sederhana seperti peraturan untuk tidak menginjak rumput. Dari hal tersebut saya jadi terbiasa untuk tidak menginjak rumput dimanapun tempat nya walaupun saya sudah mengetahui bahwa di Drop Out akibat menginjak rumput itu tidak ada. Terkadang kesadaran akan mahasiswa diperlukan untuk berfikir kritis dan mencari tahu mengapa peraturan tersebut dibuat.
Untuk menciptakan budaya kepatuhan yang efektif, kampus perlu menerapkan pendekatan yang berbasis pada insentif positif. Daripada hanya memberikan sanksi bagi pelanggaran, kampus bisa memberikan penghargaan kepada mahasiswa yang menunjukkan kepatuhan dan perilaku positif. Penghargaan ini tidak harus berupa hadiah besar; bisa dalam bentuk sederhana seperti sertifikat atau poin ekstra yang dapat digunakan dalam kegiatan kampus. Pendekatan ini bisa membuat mahasiswa merasa bahwa kepatuhan mereka dihargai dan diperhatikan, sehingga mereka lebih terdorong untuk mempertahankan perilaku patuh tersebut. Saya rasa dengan adanya penghargaan, mahasiswa menjadi lebih termotivasi atau bahkan berlomba-lomba untuk mematuhi peraturan, bisa jadi penghargaan tersebut menjadi kebanggan untuk mahasiswa. Bisa kita lihat dalam melamar pekerjaan maupun dalam memilih pemimpin, penghargaan merupakan salah satu faktor yang dilihat untuk menentukan pilihan.
Selain insentif positif, penting pula untuk mengedukasi mahasiswa mengenai alasan di balik aturan yang ada. Pemahaman ini bisa diberikan melalui diskusi kelompok, workshop, atau seminar, di mana mahasiswa tidak hanya diberi tahu mengenai peraturan, tetapi juga diajak untuk memahami relevansi dan dampak positif dari peraturan tersebut. Dengan demikian, mereka tidak hanya mematuhi aturan secara formal, tetapi juga memahami esensi aturan itu sendiri. Ketika mahasiswa merasa bahwa aturan dibuat untuk melindungi atau meningkatkan kesejahteraan mereka, mereka akan lebih termotivasi untuk mematuhinya secara sadar dan tanpa paksaan.Â
Hal ini bisa kita lihat pada negara-negara yang terkenal akan kedisiplinannya akan peraturan, salah satunya Negara Jepang. Mereka sudah mengedukasi masyarakatnya sejak dini, mengajarkan pentingnya mematuhi peraturan, mengapa peraturan tersebut perlu dibuat, apa yang terjadi jika kita tidak memahami peraturan. Ditambah dengan budaya yang merasa malu jika berbuat salah dan menyusahkan orang lain, membuat Warga Negara Jepang bisa menaati peraturan tanpa paksaan. Saya rasa lebih baik untuk mengajak orang untuk memahami bahwa pentingnya peraturan untuk kebaikan bersama dibandingkan harus memaksakan mereka menaati peraturan tanpa tahu kenapa mereka harus menaati peraturan tersebut, walaupun memerlukan waktu yang tidak sebentar, tetapi hasil yang didapat dari pemahaman tersebut memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan jika kita harus memaksakan menaati peraturan kepada orang.
Aspek lain yang penting dalam menciptakan budaya kepatuhan adalah peran komunitas dan pengaruh teman sebaya. Seperti yang dijelaskan oleh Becker, "individu cenderung mengikuti aturan bukan hanya karena takut pada sanksi, tetapi karena pengaruh sosial yang kuat dari lingkungannya". Mahasiswa cenderung terpengaruh oleh lingkungannya; ketika mereka melihat rekan-rekan mereka patuh terhadap aturan tanpa merasa terbebani, hal ini akan membentuk norma sosial yang menguatkan budaya kepatuhan. Oleh karena itu, kampus bisa memanfaatkan kelompok-kelompok mahasiswa, seperti organisasi kemahasiswaan atau mentor akademik, untuk mendorong kepatuhan. Dengan pendekatan kolektif, kampus bisa menciptakan lingkungan di mana kepatuhan menjadi norma yang diadopsi secara alami oleh semua mahasiswa.