Mohon tunggu...
Fernando JustinHerman
Fernando JustinHerman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Kristen Krida Wacana

Seorang manusia yang memiliki karya

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

"Childfree" Belum Bisa Diterima oleh Kalangan Masyarakat Indonesia

31 Oktober 2021   20:37 Diperbarui: 31 Oktober 2021   20:38 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis: Fernando Justin Herman

Mungkin banyak diantara kita yang masih belum mengenal tentang istilah "Childfree". Keputusan yang banyak menimbulkan pro dan kontra ini sepertinya masih belum bisa diterima oleh kalangan masyarakat Indonesia. 

Childfree adalah sebuah keputusan dari suatu pasangan suami- istri untuk memilih tidak mempunyai anak setelah menikah. Dimana pada biasanya pasangan suami-istri ingin segera memiliki buah hati. 

Namun, orang yang memilih Childfree tentu memiliki suatu pemikiran yang sebaliknya. Mereka justru tidak ingin mempunyai anak dan memilih untuk hidup tanpa dikaruniai oleh seorang anak satupun. 

Keputusan Childfree ini tentu bukan sebuah keputusan yang mudah. Perlu pertimbangan yang sangat besar untuk bisa meyakinkan diri bahwa benar-benar ingin memilih untuk Childfree. 

Tidak semua orang cocok dengan pilihan Childfree ini, karena belum tentu seorang pasangan bisa bahagia tanpa memiliki anak. Tidak jarang pasangan yang justru memutuskan untuk berpisah/bercerai karena mereka tidak bisa mengaruniai seorang anak. 

Bisa saja hal itu disebabkan karena suatu penyakit atau suatu gangguan yang tidak memungkinkan wanita tersebut untuk hamil. Namun ada juga pasangan suami-istri yang memutuskan untuk menunda mempunyai anak karena belum siap secara mental dan fisik.

Ada beberapa faktor yang membuat suatu pasangan suami-istri memilih untuk Childfree, yaitu sebagai berikut:

1. Faktor Lingkungan

Lingkungan menjadi faktor yang paling utama mengapa pasangan suami-istri memutuskan untuk Childfree. Hal ini biasanya terjadi karena cerita buruk dari masa lalunya atau suatu kejadian yang pernah terjadi di lingkungannya yang membuat ia trauma dan ragu untuk memiliki anak.

2. Faktor Finansial

Finansial juga menjadi faktor yang penting dalam memutuskan suatu pasangan suami-istri untuk memilih Childfree. Hal ini disebabkan besarnya biaya finansial yang harus dipersiapkan untuk menopang hidup kelak anaknya nanti, mulai dari biaya pendidikan, biaya makan, biaya kesehatan, dan sebagainya.

3. Faktor Psikologi

Mental atau psikologi dari perempuan itu sendiri juga menjadi faktor yang tidak kalah penting dalam membuat suatu pasangan suami-istri memilih untuk Childfree. 

Terkadang perempuan yang memiliki kondosi psikolgi yang tidak stabil, biasanya mempunyai kekhawatiran yang berlebih jika ia memiliki anak. Kekhawatiran itu seperti takut jika anaknya nanti tidak berkehidupan layak atau ia tidak memiliki kemampuan dalam mengasuh anak dan sebagainya.

Nampaknya di Indonesia masih belum terbiasa dengan keputusan Childfree ini. Hal ini disebabkan karena begitu banyaknya stigma yang sudah menempel dalam kalangan masyatakat Indonesia. 

Stigma yang dimaksud adalah seperti "Buat apa nikah, kalau gapunya anak" , "Banyak anak banyak rezeki". Stigma-stigma tersebut sudah menjadi kebiasaan dan pola pikir yang melekat dalam benak masyarakat Indonesia. 

Terlebih lagi stigma "Banyak anak banyak rezeki" yang dari dulu sudah sangat terkenal di kalangan masyarakat Indonesia. Namun, semenjak perubahan revolusi, sepertinya stigma "Banyak anak banyak rezeki" perlahan-lahan mulai menghilang. 

Tetapi tetap saja keputusan Childfree ini masih dianggap seperti suatu hal yang tabu untuk diterapkan di kalangan masyarat Indonesia. Ditambah lagi kebiasaan masyarakat Indonesia yang selalu kepo dan mencibir hidup orang lain. Pastinya ini juga menjadi suatu beban yang paling berat yang harus dihadapi oleh pasangan yang memutuskan untuk Childfree.

 Bukan hanya mencoba untuk menghiraukan omongan orang lain, tetapi dalam keluarga sendiri juga ada yang ikut mencibir keputusan mereka untuk memilih Childfree. 

Tentu hal ini menjadi tamparan keras untuk masyarakat Indonesia, karena keputusan Childfree ini adalah suatu pilihan dari pasangan itu sendiri dan mereka berhak untuk memilih keputusan apapun yang mereka ingin lakukan dalam hidupnya.

Berbeda dengan di Eropa, Childfree ini bahkan sudah menjadi budaya bagi pasangan suami-istri disana. Banyak dari mereka malah yang tidak menikah secara resmi dan langsung hidup bersama. 

Mayoritas pasangan di Eropa juga memilih untuk Childfree dan memutuskan untuk hidup berdua saja bersama pasangan mereka. Bahkan di negara Finlandia, pemerintah membayar warganya agar mau punya anak. 

Pemerintah menamakan intensif ini sebagai "bonus bayi", mereka akan memberikan uang sejumlah 10.000 atau senilai 165 juta rupiah kepada warganya yang memutuskan untuk mempunyai anak. Hal ini disebabkan karena angka kelahiran di finlandia selalu menurun. 

Pemerintah Finlandia mengkhawatirkan bahwa populasi penduduk di Finlandia lama kelamaan akan punah. Kebijakan memberikan uang kepada pasangan suami-istri ini belum tentu efektif. Mungkin akan bertambah persentase pasangan suami-istri yang ingin mempunyai anak. 

Tetapi alasan uang saja tidak cukup, karena keputusan untuk memiliki anak itu pilihan diri masing-masing dan pastinya keinginan dari dalam diri sendiri akan lebih besar daripada faktor lainnya.

Ada sebuah buku yang menceritakan tentang Childfree yang berjudul " Childfree And Happy ". Buku ini ditulis oleh seorang perempuan yang sudah menikah dan memutuskan untuk Childfree yang bernama Victoria Tunggono. Victoria menjelaskan bahwa buku ini ditulis berdasarkan hasil wawancara dengan belasan anggota komunitas Childfree. Dalam kalimat pengantar di bukunya, Victoria mengatakan

"Kebanyakan orang bilang hidup belum sempurna kalau belum punya anak; perempuan belum sempurna kalau belum melahirkan. Tapi saya tahu, hidup saya sudah sempurna tanpa harus ada tambahan suami ataupun anak".

Victoria juga menyampaikan bahwa banyak perempuan di Indonesia yang sudah lama ingin tidak memiliki anak. Namun, mereka (perempuan) tidak berani untuk bersuara tentang itu. Terlebih lagi kuatnya kaum patriarki di Indonesia dan masih banyaknya stigma yang mewajibkan perempuan yang sudah menikah harus memberikan keturunan kepada suami.

Ada satu kutipan dari Chef Juna yang sangat saya sukai tentang keputusan Childfree ini.  Ia mengatakan bahwa,

"If my wife wants kids, we have kids. If my wife doesn't want kids, then we don't have to have a kids."

("Jika istri saya mau mempunyai anak, kita akan mempunyai anak. Tapi, jika istri saya tidak mau mempunyai anak, kita tidak akan mempunyai anak.")

"Are you that's gonna be pregnant nine months?"

("Apakah kamu yang akan hamil selama 9 bulan?")

"No, rights"

("Bukan, kan")

"How can you pressure your better half, to suffer like that if she doesn't want it."

 ("Bagaimana bisa kamu memaksa istri kamu untuk menderita seperti itu jika ia tidak ingin mempunyai anak?")

Terakhir yang bisa disampaikan dari keputusan Childfree ini adalah kita semua memiliki hak untuk memilih segala sesuatu apapun yang ingin kita lakukan, semua keputusan kita ditentukan oleh diri kita sendiri.

 Jadi tidak ada yang salah bila ingin memilih Childfree atau ingin memiliki anak. Semua orang memiliki keputusannya masing-masing dan kita harus bisa menghargai keputusan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun