Dari penjelasan mengenai demokrasi yang ada di atas, dapat kita ketahui bahwa demokrasi dapat diartikan sebagai kebebasan oleh masyarakat Indonesia yang dibatasi oleh peraturan perundang- undangan.
Dari penjelasan mengenai demokrasi yang ada di atas, dapat kita ketahui bahwa demokrasi dapat diartikan sebagai kebebasan oleh masyarakat Indonesia yang dibatasi oleh peraturan perundang- undangan. Dalam pelaskanaan demokrasi di Indonesia, masih banyak beberapa kasus yang merusak citra demokrasi di Indonesia. Contoh kasus pertama adalah, maraknya penjabat daerah yang ditangkap KPK karena kasus korupsi maupun suap. Dikutip dari detik.com dapat diketahui bahwa sudah ada 37 kepala daerah terjaring OTT KPK selama tahun 2018 ini.Â
Hal tersebut membuktikan bahwa ada penyalahgunaan wewenang dalam sistem berdemokrasi. Kekuasaan yang ia dapatkan digunakan untuk memperkaya diri sendiri dan bukan untuk melayani masyarakat setempat.Â
Penyalahgunaan wewenang tersebut membuktikan bahwa kesadaran hukum oleh pelaksana pemerintahan masih kurang sehingga kepala daerah tersebut dapat dikatakan tidak memenuhi indikator akuntabilitas saat pelaksanaanya. Selain itu, yang menjadi sorotan tersendiri dari kasus ini adalah tidak terlihatnya implementasi sikap terhadap Pancasila.Â
Kelima sila Pancasila dilanggar semua oleh oknum yang melakukan korupsi/ kolusi/ nepotisme. Hal tersebut dapat dirincikan sebagai berikut, melanggar sila pertama karena pelaku telah melanggar aturan Tuhan untuk tidak mengambil hak milik orang lain. Melanggar sila kedua karena dengan korupsi yang mengambil hak- hak orang lain untuk memperkaya diri sendiri mengakibatkan orang lain menjadi sengsara.Â
Melanggar sila ketiga karena dengan ditangkapnya pelaku korupsi maka aka nada perpecahan antar individu yang saling menyalahkan. Melanggar sila keempat karena koruptor mengkhianati amanat yang telah dipercayakan oleh rakyat dengan memanfaatkan jabatan yang ia miliki untuk memperkaya diri sendiri dan mengakibatkan kemunduran dalam segala aspek. Dan yang terakhir melanggar sila kelima karena korupsi hanya dapat menjadikan ketimpangan masyarakat menjadi meningkat dan negara serta rakyat menjadi miskin.
Contoh kasus kedua adalah disahkannya revisi UUMD3 atau yang lebih dikenal dengan Undang- Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. UUMD3 ini sangat kontroversial akhir- akhir ini dikarenakan dengan berlakunya UUMD3 ini dapat menjadi pemicu kriminalisasi terhadap demokrasi Pancasila di Indonesia.Â
Pasal yang paling kontroversial dari UUMD3 adalah pasal 122 k mengenai tugas MKD untuk mengambil langkah hukum/ langkah lain terhadap perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DP. Pasal tersebut ditafsirkan sebagai landasan yang dapat menjadikan DPR kebal hukum dan anti kritik. Hal tersebut tentu sangat bertolak belakang dengan semangat Pancasila serta demokrasi kebebasan yang ada di Indonesia.Â
Menurut saya, diberlakukannya UUMD3 ini menjadi kemunduran dari proses demokrasi di Indonesia. Mengapa demikian? Karena dengan dilarangnya mengkritik kinerja legislatif, pemerintahan tidak akan bisa mengetahui apa kekurangan dari kinerja mereka.Â
Selain itu dengan menjadikannya lembaga legislatif sebagai lembaga yang antikritik aka nada banyak oknum yang lebih mudah dalam penyelewengan kekuasaan untuk korupsi/ kolusi/ nepotisme. Hal tersebut disebabkan oleh ketakutan masyarakat saat mengkritik kinerja lembaga legislatif karena dapat dipidanakan oleh MKD.Â
Munculnya revisi UUMD3 ini sebagai tanggapan dari DPR atas ditangkapnya ketua DPR, Setya Novanto. Hal tersebut memicu revisi UUMD3 ini sebagai proteksi tambahan untuk anggota legislatif supaya terhindar dari proses hukum.Â