sebagaimana yang dikatakan oleh Yusuf Qardawi, merupakan kebiasaan dalam masyarakat dan menjadi salah satu kebutuhan sosial yang sulit untuk ditinggalkan dan berat untuk dilepaskan.Dalam hukum Islam terlihat dengan jelas bahwa syari’at Islam sangat memperhatikan adat (‘Urf) masyarakat setempat,misalnya mengenai larangan minuman keras.
Peluang adat (‘urf) untuk bisa dijadikanpertimbangan dalam menetapkan hukum secara implisit disyaratkan oleh beberapa ayat hukum dalam al-Qur’an, antara lain Adat kebiasaan dapat dijadikan dasar (pertimbangan) hukum dengan kaidah tersebut, hukum Islam dapat dikembangkan dan di terapkan sesuai dengan keadaan suatu masyarakat.Â
Sifat al-Qur’an dan as-Sunnah yang hanya memberikan prinsi-prinsip dasar dan karakter keefektifitasan yang luas hukum Islam dapat dijabarkan dan terealisir dalam dan oleh kaidah ini. Lebih jauh, senada dengan kaidah tersebut, dalam bidang perdagangan (perekonomian), kaidah fiqhiyyah memberikan keluasan untuk menciptakan berbagai macam bentuk transaksi atau kerja sama,Qaidah-qaidah tersebut memberikan peluang pada kita untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum, apabila tidak ada nash yang menjelaskan ketentuan hukumnya.
Bahkan meneliti dan memperhatikan adat (‘urf) untuk menjadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan suatu ketentuan hukum merupakan suatu keharusan.Akan tetapi, tidak semua adat (‘urf) manusia dapat dijadikan dasar hukum.Yang dapat dijadikan dasar hukum adalah adat (‘urf) yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dan tujuan-tujuan hukum Islam itu sendiri.Â
Karena itu para ulama mengklasifikasikan adat (‘urf) ini menjadi beberapa macam yaitu:
1. Al-‘Urf al-Shahih, yaitu kebiasaan yang berlaku di
2. tengah-tengah masyarakat dan tidak bertentangan
3. dengan prinsip-prinsip hukum Islam yang ada dalam
4. nash (al-qur’an dan as-sunnah).
5. Al-‘Urf al-Fasid, yaitu kebiasaan yang telah berlaku
6. di tengah-tengah masyarakat, tetapi kebiasaan