Mohon tunggu...
F. Norman
F. Norman Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Pemerhati Sosial dan Politik Amatiran....

Selanjutnya

Tutup

Politik

Di Jerman, Menlu Retno Jadi Corong Pemerintah Myanmar?

20 September 2017   06:30 Diperbarui: 20 September 2017   12:31 1689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Jerman, terungkap cara berpikir yang aneh dari seorang Menlu RI Retno Marsudi dalam menangani krisis Genosida Rohingya di Myanmar. Mengutip laman dari Kemlu, Menlu Retno terlihat seperti "corong" atau "pengacara" Pemerintah Myanmar dalam menjelaskan krisis Rohingya, di depan beberapa Menlu asing dalam satu pertemuan multilateral sebelum KTT G20 Februari yll.

Dalam judul tulisan "MIKTA Appreciate Indonesian Foreign Minister's Role in Improving the Situation in Rakhine State" bertanggal 17/2/2017, disebutkan Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi melakukan pertemuan Menteri Luar Negeri MIKTA di sela-sela Pertemuan Menteri Luar Negeri G20 di Bonn, Jerman.

MIKTA adalah kelompok informal dari lima negara berkembang, yaitu Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia, di gagas oleh 5 Menteri Luar Negeri yang didirikan di sela-sela Majelis Umum PBB ke-68 pada tanggal 17 September 2013. Kebetulan semua lima negara tersebut juga merupakan negara G20 sehingga mereka mengadakan pertemuan sehari sebelum KTT G20.

Pada pertemuan kali ini Pertemuan Menteri Luar Negeri MIKTA membahas perkembangan regional dan global serta program kerja MIKTA untuk tahun 2017. Sebagai pembicara utama, Menlu RI menyampaikan perkembangan terakhir terkait dengan Negara Rakhine, Myanmar.

Menlu Retno menyatakan bahwa Myanmar menghadapi situasi dan tantangan yang kompleks dan beragam di Negara Bagian Rakhine. Banyak tantangan yang dihadapi oleh Pemerintah Myanmar meliputi konflik komunal, kemiskinan, dan proses demokrasi dan reformasi yang terus berlanjut serta ancaman yang ditimbulkan oleh kejahatan terorganisir transnasional. Dengan masalah yang begitu rumit, masyarakat internasional perlu membantu Myanmar karena kegagalan akan menimbulkan dampak negatif bagi keamanan dan stabilitas kawasan ini.

Bagi penulis pernyataan Menlu Retno diatas terkesan memberikan "pengertian" atas kekejian luar biasa dialami Rohingya. Menlu banyak mengungkapkan dalih mengapa kekacauan itu terjadi bukan mengungkapkan apa akar permasalahan sebenarnya. 

Dengan hampir satu juta lebih etnis Rohingya terusir dari tanahnya dan lari ke luar Myanmar, ribuan orang dibantai dari orang tua sampai anak-anak tanpa ampun, dilecehkan, dihina, rumah dibakar habis, adalah sangat aneh masih mencoba memberikan "pengertian" atas krisis tersebut.

Lebih lanjut lagi blunderMenlu Retno adalah mengajak dunia untuk membantu Myanmar.

Mengapa saya mengritisi Menlu Retno?

Menlu Retno mendalihkan ini konflik Komunal, padahal sudah jadi pengetahuan umum sejarah rivalitas antaretnik memang ada tapi diperparah oleh manipulasi junta militer selama berpuluh tahun. Junta Militer Myanmar dan sekelompok melakukan persekusi sehingga eksodus ratusan ribu orang terutama sejak tahun 2012. 

Tentang kemiskinan, semua media asing tahu bahwa Rohingya mendapatkan perlakuan diskriminatif ala Apartheid dari Pemerintah Myanmar, yaitu tidak diakui sebagai warga negara sah walaupun sudah hidup beratus tahun di Rakhine. Tetapi ini tidak diungkap secara gamblang sebagai akar permasalahan.

Proses demokrasi dan reformasi yang terus berlanjut, disini lagi-lagi Menlu blunder, kalau anda mengerti konstitusi dan sistem pemerintahan Myanmar, anda akan langsung tahu bahwa Demokrasi di Myanmar adalah demokrasi yang semu. Suu Kyi, Presiden dan partai NLD nya hanya hiasan untuk mempercantik Myanmar dari luar agar investor asing datang. Junta militer adalah institusi pemegang kekuasaan sebenarnya.

Masyarakat Internasional membantu? 

Lagi-lagi Menlu Retno blunder..Ia tidak sadar bahwa Kofi Annan sebagai Chair Advisory Commission on Rakhine State pada September 2016 yll (5 bulan sebelum pertemuan MIKTA di Bonn). 

Dalam executive summary-nya, Komisi merekomendasikan: 

a. Agar pemerintah mengambil langkah konkret untuk mengakhiri pemisahan segregasi umat Budha Rakhine dan Muslim Rohingya. 

b. Memastikan akses kemanusiaan penuh dan tak terbatas ke seluruh negara bagian. 

c. Mengatasi kewaspadaan Rohingya dan "meninjau kembali" Undang-Undang Kewarganegaraan tahun 1982. 

d. Meminta pelaku pelanggaran hak asasi manusia.

e. Mengakhiri pembatasan kebebasan bergerak. 

Tapi mana tanggapan Myanmar atas semua rekomendasi tersebut? sepertinya hanya masuk ke laci mereka. 

Terakhir pada pertemuan terakhir dengan Suu Kyi bulan ini, Menlu Retno mengusulkan Myanmar untuk menjalankan konsep 4+1 untuk menanggulangi krisis Rohingya (4 inisiatif Indonesia, 1 adalah rekomendasi Kofi Annan). Artinya kalau rekomendasi Annan berjalan, untuk apa ia usulkan lagi. 

Selain itu Pemerintah Myanmar pun jarang memberi akses bagi pers atau negara asing atau bantuan kemanusiaan ke Rakhine, jadi kalau tidak mau transparan apanya yang mau di bantu???  

Terakhir, kata-kata yang dipilih oleh Menlu Retno dalam pertemuan MIKTA ini yaitu "menghadapi situasi dan tantangan yang kompleks dan beragam",mengingatkan saya dengan kata-kata yang dipilih Suu Kyi dalam menjelaskan krisis Rohingya pada pers asing. Contohnya saat pertama kali berbicara ke Pers setelah krisis Rohingya meletus Agustus ini.

Suu Kyi lebih memilih curhat akan "kesulitan" pemerintah nya dalam menangani tragedi itu dibandingkan membicarakan fakta ratusan ribu eksodus dari negara nya.

Ia berujar, bahwa pemerintahannya, yang merupakan pertama kali dipimpin oleh sipil dalam beberapa dasawarsa, tengah menghadapi tantangan terbesar. "Sedikit tidak masuk akal untuk mengharapkan kami menyelesaikan masalah ini dalam 18 bulan," kata Aung San Suu Kyi kepada Asian News International, Jumat (8/9/2017) .

Hebatnya Suu Kyi mengatakan bahwa pemerintah perlu "mengurus semua orang yang berada di negara kita (Myanmar), terlepas mereka warga negara kita atau tidak."

"Sumber daya kami tidak selengkap dan memadai seperti yang kami inginkan. Tapi kami tetap berusaha sebaik mungkin dan kami ingin memastikan bahwa setiap orang berhak mendapatkan perlindungan hukum," kata Suu Kyi menjelaskan.  

Kemudian ada kemiripan tanggapan Menlu Retno ini dengan pernyataan Suu Kyi saat bertemu dengan Jokowi di sela-sela KTT ASEAN di Manila April yll. Menlu Retno mengatakan pada Pers setelah pertemuan bahwa pemerintah Myanmar menyatakan komitmennya untuk memperbaiki situasi di Rakhine yang dihuni etnis minoritas Rohingya.

Presiden Jokowi bertemu Aung San Suu Kyi sebelum mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-30 ASEAN, di Manila, Filipina, Sabtu (29/4). (Foto: BPMI)
Presiden Jokowi bertemu Aung San Suu Kyi sebelum mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-30 ASEAN, di Manila, Filipina, Sabtu (29/4). (Foto: BPMI)
"Daw Suu (Suu Kyi) menyampaikan bahwa situasinyamemang tidak mudah, tetapi Daw Suu menyampaikan bahwa komitmen pemerintah Myanmar sangat kuat untuk memperbaiki situasi yang ada di Rakhine State," jelas Retno.

Kalau di pertemuan MIKTA Menlu Retno memakai kata "menghadapi situasi dan tantangan yang kompleks dan beragam",Suu Kyi berujar kepada Jokowi yang dikutip Menlu Retno "Situasinya memang tidak mudah"

Terakhir, saya rasa Menlu Retno patut untuk diganti atau di reshuffle, pendekatan konstruktifnya terbukti gagal, kekerasan dan kekejian aparat terus terulang dari 2012 sampai sekarang dengan ditandai mengalir terus pengungsi. 

Dengan sekitar 750.000 pengungsi di Bangladesh sekarang, mungkin sebentar lagi tidak ada satupun etnis Rohingya di Myanmar, sebab diperkirakan ada 1 - 1,2 juta etnis Rohingya di seantero negara itu. 

Jadi telat Bu Menlu kalau anda masih bermain "cantik" dengan Junta Militer Myanmar. 

Target anda keliru, anda merasa jadi kemenangan politik jika sudah diterima "baik" Pemerintah Myanmar kemudian berharap Junta Militer "insyaf". Jika belajar dari sejarah Junta Militer yang telah berkuasa puluhan tahun, ini ibarat pungguk merindukan bulan.

Dari semua itu, sangatlah aneh Menlu Retno memberikan "pengertian" ke dunia internasional agar mengerti kesulitan mereka.

Bagaimana menurut anda??  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun