Bayangkan jika setiap 1 KK penduduk miskin mendapat hak menggarap tanah sebesar 2 hektar, dan setiap hektarnya dapat menghasilkan 30 ton singkong, maka pendapatan kotor setiap KK adalah Rp 60 juta pertahun atau Rp 5 juta perbulan dari berbudidaya singkong saja. Belum lagi jika mereka mendapatkan hasil dari menanam tanaman tumpang sari atau mendirikan usaha patungan untuk mengolah singkong menjadi bioethanol.
Berapa lahan yang dibutuhkan? Pemerintah cukup menyediakan lahan seluas 1,2 – 1,5 juta hektar. Ini juga sejalan dengan Nawacita yang bahkan akan membagikan 9 juta hektar lahan bagi petani dan buruh tani. Dengan memberikan lahan 2 hektar per KK, kalau 1 KK terdiri dari 4 jiwa maka aka nada 2,4 - 3 juta jiwa yang secara langsung terangkat dari garis kemiskinan. Belum lagi efek berantai menggeliatnya perekonomian sekitar perkebunan singkong, akan ada sekian juta orang akan terangkat dari jurang kemiskinan. Ini sejalan dengan Nawacita yang mendorong pembanguanan dari desa/pinggiran.
Sekarang tinggal apakah kemauan Pemerintah mau menangkap peluang ini, sebab ada lima sasaran Nawacita terwujud sekaligus dengan pengentaskan kemiskinan sebagai sasaran utama. Berikut dengan “bonus” yang berlimpah seperti; mengurangi laju devisa keluar negeri akibat impor minyak mentah atau premium, sampai menahan laju urbanisasi ke kota. Intinya singkong akan menggairahkan perekonomian nasional secara berkesinambungan sebab bioethanol adalah termasuk energi baru yang terbarukan (EBT).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H