Ada seorang tetangga, katakanlah bukan orang biasa. Awalnya, keduanya berasal dari keluarga sederhana. Seiring berjalannya waktu, sang suami menjadi anggota DPRD. Meskipun demikian, sang istri, yang memang memiliki mental seorang wirausaha, tetap berjualan baju, membuka toko, dan usaha fotokopi. Mereka kaya, tetapi tetap sangat ramah dan tidak membeda-bedakan orang. Hal itu pula yang berhasil diajarkan kepada anak semata wayangnya. Mungkin ini bisa menjadi pelajaran berharga untuk teman-teman semua, terutama yang sudah atau akan menjadi ibu.
Kenyataannya, banyak anak tunggal yang dimanjakan. Apalagi jika ia adalah anak dari keluarga kaya—apa pun yang diminta, biasanya akan dipenuhi. Namun, kisah ini berbeda. Sejak kecil, anak itu diajarkan arti mencari uang. Saya masih ingat, sewaktu anak itu duduk di bangku SD, setiap bulan Ramadan, ia diajak berjualan es buah di sekitar alun-alun. Ia menawarkan es buah yang sudah dibungkus plastik kepada pengendara mobil dan motor yang lewat. Tanpa rasa malu, tanpa wajah jutek, atau terlihat terpaksa.
Ketika saya merasa malas, ibu sering menjadikannya contoh. Padahal, usia saya lebih tua daripada anak itu. Ibu berkata, “Kamu lihat dia anak siapa, tapi dia rajin, dimintai tolong ini-itu, diajak jualan juga mau dan tidak malu. Kamu yang anaknya orang biasa-biasa saja, mbok ya ngerti prihatin.”
Yang paling membuat saya terkesan adalah sopan santunnya. Sebelum pindah rumah, ibu saya adalah tetangga depan rumah suami-istri itu. Jadi, meskipun sudah pindah rumah dan beda RT, ibu saya sering diminta tolong membantu masak-masak saat ada acara. Saat menjelang Lebaran pun, anak itu selalu berkunjung ke rumah membawa hantaran untuk keluarga kami. Saya masih ingat betul momen ketika ia berdiri di depan pintu, mengucapkan salam, lalu mencium tangan bapak dan ibu setelah pintu dibuka. Dengan sopan, ia berkata, “Budhe, ini dari Ibu. Pulang dulu ya, Budhe, Pakdhe. Assalamu’alaikum…”
Dalam hati, saya hanya bisa berkata, Masya Allah, anak ini luar biasa.
Padahal, di rumah mereka ada banyak pembantu. Namun, ia tetap mau disuruh ibunya untuk mengantarkan hantaran sendiri. Bahkan, sering kali di siang bolong, ia datang ke rumah Ibu untuk membeli es batu. Pernah suatu kali ibu saya bertanya, “Lho, kok yang ambil es bukan mbaknya (pembantu)?” Ia hanya menjawab, “Disuruh Ibu, Budhe. Tidak apa-apa, Budhe…” Begitu ia pulang, ibu saya langsung berkata kepada saya, “Tuh lihat, anak jenderal saja mau disuruh-suruh siang-siang panas-panas.” Saya hanya bisa tersenyum.
Singkat cerita, setelah ia besar, sekitar SMP kalau tidak salah, ia memiliki adik. Adiknya pun dididik dengan cara yang sama. Kebetulan, adiknya ikut taekwondo. Pada tahun 2015, adiknya sempat mengikuti turnamen di Cibubur. Saya dan suami menyempatkan diri untuk menonton. Lagi-lagi saya takjub. Baru kelas 2 SD, ia sudah ikut turnamen di luar provinsi tanpa didampingi orang tua. Walaupun itu sudah menjadi peraturan pelatihnya, masih banyak orang tua yang tetap datang menemani. Tetapi, adik ini justru berkata kepada ibunya, “Ibu tidak usah lihat adek ya, adek sendirian berani.”
Dalam hati ibunya, seperti yang ia ceritakan kepada saya lewat BBM, ada rasa sedih sekaligus bangga. Apalagi, adik itu berhasil membawa pulang medali emas.
Sekarang, si kakak masih melanjutkan studi di Telkom Bandung, sedangkan adiknya masih duduk di bangku SD dan rutin berlatih taekwondo. Sayangnya, mereka kini yatim. Sekitar tiga tahun yang lalu, sang ayah meninggal dunia. Kini, mereka tinggal bersama ibu mereka.
Kesederhanaan yang mereka jalani ternyata memiliki hikmah yang luar biasa. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Oleh karena itu, belajar berjuang bukan hanya saat kita berada di bawah, tetapi setiap hari. Bukankah roda kehidupan selalu berputar? Kita tidak tahu seperti apa Allah akan menguji kita di masa depan.