Ladang berpindah merupakan sistem produksi yang masih dilakukan oleh sebagian masyarakat terkhususnya masyarakat adat desa. Â Kegiatan berladang tidak bisa dilepaskan dari masyarakat adat pedesaan. Kegiatan ini sudah dilakukan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Ladang berpindah biasanya dilakukan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.Â
Meskipun sudah banyak dikembangkan sistem perladangan tentang pertanian menetap atau yang lebih modern, perladangan berpindah tetap dilakukan oleh masyarakat adat. Salah satu masyarakat adat yang masih melakukan tentang perladangan berpindah yaitu masyarakat Pegunungan Meratus.
Masyarakat Pegunungan Meratus masih eksis melakukan perladangan dengan cara pengelolaan pertanian yang sudah diajarkan oleh leluhur mereka. Ladang berpindah ini sudah dianggap sebagai tradisi kebudayaan oleh masyarakat Pegunungan Meratus  yang harus mereka lestarikan..Â
perladangan berpindah merupakan suatu tradisi yang menunjukkan keterkaitan orang Meratus dengan tempat mereka berada, yaitu alam lingkungan (hutan). Kegiatan berladang ini biasanya untuk selalu memupuk kebersamaan karena kegiatan perladangan dilakukan secara gotong royong.
Pertanian ladang yang dilakukan oleh masyarakat Meratus memiliki karakteristik melakukan pengolahan pertanian penggunaan ladang yang bergantian, membersihkan ladang dengan membakar (api), hanya manusia yang menjadi satu-satunya tenaga, alat-alat dalam perladangan yang masih sederhana,Â
penggunaan pengolahan ladang yang memiliki periode-periode yang singkat dan harus dilakukan secepatnya mungkin pemberaan untuk menjaga kesuburan tanah. Proses perladangan yang dilakukan mengutamakan keberlangsungan ekosistem yang ada di ladang. Hal ini dilakukan agar ladang tersebut masih tetap bisa digunakan terus menerus.
Pembersihan ladang dengan dibakar sering kali dianggap sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan. Kabut asap dan kebakaran yang menyebabkan banyak hutan menjadi gundul dan mencemari lingkungan dianggap berasal dari kegiatan perladangan berpindah. Namun masyarakat yang akan melakukan pembersihan ladang dengan membakar iniÂ
sudah melakukan suatu antisipasi agar api dari pembakaran tersebut tidak menyebar melewati ladang mereka. Selain itu terdapat atur yang ketat tentang pembakaran ini yang diatur dalam hukum adat. Jika ada yang melanggar maka seseorang yang melanggar akan mendapatkan sanksi adat.
Misalkan pada masyarakat di Pegunungan Meratus yang melanggar akan mengalami kepidaran, yaitu berupa kutukan pidara dari nenek moyang berupa musibah yang beruntun dan penyakit berkepanjangan yang akan didapatkan oleh yang bersangkutan.Â
Adat merupakan akar kehidupan. Hukum adat merupakan hukum yang harus dipatuhi oleh setiap masyarakat adat jika tidak dipatuhi, maka orang tersebut  akan dikucilkan dari bubuhannya (kelompoknya).
Selain berhubungan dengan adat-istiadat, kegiatan berladang merupakan suatu kegiatan yang berkaitan dengan religi (Kaharingan) bagi masyarakat Meratus. Setiap tahap kegiatan berladang berladang dikaitkan dengan illah atau roh tertentu dengan cara pemberian sesajen (sesaji) dan puja-puji oleh balian yang dihadiri oleh sejumlah orang, maka jadilah kegiatan berladang tersebutÂ
sebagai upacara religius. Kegiatan berladang yang dilakukan menerapkan nilai-nilai dalam "pengelolaan lingkungan" yang berupa simbolis dalam kegiatan religius seperti menanam berbagai jenis bambu di ladang-ladang yang baru dibuka.Â
Tingkat religi menentukan  dalam pemilihan pekerjaan  terlihat dalam fakta bahwa selain berladang (bahuma) dengan menanam padi, pekerjaan-pekerjaan lainnya seperti berkebun karet, berkebun pisang,
 atau mengumpulkan hasil hutan bukanlah pekerjaan utama. Meskipun hasil yang didapatkan lebih besar dari pekerjaan utama bila diperhitungkan dengan uang,  namun pekerjaan lain dianggap sebagai pekerjaan sambilan.
Mengapa pekerjaan tersebut hanya dianggap sebagai pekerjaan sambilan? Hal ini dikarenakan pekerjaan tersebut tidak digambarkan dalam sistem keyakinan. Ranggan atau 'culture hero" lainnya tidak pernah mengajarkan bertanam kayu manis, kelapa, pisang, karet, maupun rotan. Tanaman-tanaman atau tumbuh-tumbuhan tersebut tidakÂ
diciptakan pada waktu penciptaan manusia oleh Suwara tetapi hanya sebagai penciptaan (kreasi) Datu Adam dan Datu Tihawa. Tanaman-tanaman atau tumbuh-tumbuhan tersebut tidak sakral dan pada gilirannya menanamnya pun tidak didahului oleh suatu upacara.Â
Mengusahakan kebun-kebun tanaman komoditi tersebut menjadi pengumpulan dan penjualan tetap hasil kebun bukanlah hadat Dati Nini dan karenanya tidak wajib dilakukan. Â
Namun demikian, seiring dengan berjalannya waktu, banyak hal yang menjadi tantangan untuk terus melakukan perladangan berpindah yaitu penduduk terus bertambah sehingga semakin banyaknya masyarakat petani peladang namun ketersediaan lahan yang terbatas.Â
Oleh karena itu memerlukan siklus perputaran perladangan yang cepat sehingga berdampak pada waktu pemberaan yang singkat. Hal ini bisa berdampak pada rendahnya tingkat produktivitas lahan perladangan akibat tingkat kesuburan yang rendah.Â
Selain itu, waktu yang terbatas tersebut mempunyai sedikit dampak pada tanaman-tanaman dan komunitas organisme asli, dan regenerasi hutan akan sulit pulih dengan waktu yang singkat. Oleh karena itu perlu pertimbangan yang matang dalam melakukan perladangan berpindah untuk menghindari dampak negatif yang dapat ditimbulkan
Source: Hidayat, Y., 2013. Sistem perladangan berpindah sebagai local genius pada masyarakat bukit di pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan. Vidya Karya, 28(1), pp.82-88.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H