Selain berhubungan dengan adat-istiadat, kegiatan berladang merupakan suatu kegiatan yang berkaitan dengan religi (Kaharingan) bagi masyarakat Meratus. Setiap tahap kegiatan berladang berladang dikaitkan dengan illah atau roh tertentu dengan cara pemberian sesajen (sesaji) dan puja-puji oleh balian yang dihadiri oleh sejumlah orang, maka jadilah kegiatan berladang tersebutÂ
sebagai upacara religius. Kegiatan berladang yang dilakukan menerapkan nilai-nilai dalam "pengelolaan lingkungan" yang berupa simbolis dalam kegiatan religius seperti menanam berbagai jenis bambu di ladang-ladang yang baru dibuka.Â
Tingkat religi menentukan  dalam pemilihan pekerjaan  terlihat dalam fakta bahwa selain berladang (bahuma) dengan menanam padi, pekerjaan-pekerjaan lainnya seperti berkebun karet, berkebun pisang,
 atau mengumpulkan hasil hutan bukanlah pekerjaan utama. Meskipun hasil yang didapatkan lebih besar dari pekerjaan utama bila diperhitungkan dengan uang,  namun pekerjaan lain dianggap sebagai pekerjaan sambilan.
Mengapa pekerjaan tersebut hanya dianggap sebagai pekerjaan sambilan? Hal ini dikarenakan pekerjaan tersebut tidak digambarkan dalam sistem keyakinan. Ranggan atau 'culture hero" lainnya tidak pernah mengajarkan bertanam kayu manis, kelapa, pisang, karet, maupun rotan. Tanaman-tanaman atau tumbuh-tumbuhan tersebut tidakÂ
diciptakan pada waktu penciptaan manusia oleh Suwara tetapi hanya sebagai penciptaan (kreasi) Datu Adam dan Datu Tihawa. Tanaman-tanaman atau tumbuh-tumbuhan tersebut tidak sakral dan pada gilirannya menanamnya pun tidak didahului oleh suatu upacara.Â
Mengusahakan kebun-kebun tanaman komoditi tersebut menjadi pengumpulan dan penjualan tetap hasil kebun bukanlah hadat Dati Nini dan karenanya tidak wajib dilakukan. Â
Namun demikian, seiring dengan berjalannya waktu, banyak hal yang menjadi tantangan untuk terus melakukan perladangan berpindah yaitu penduduk terus bertambah sehingga semakin banyaknya masyarakat petani peladang namun ketersediaan lahan yang terbatas.Â
Oleh karena itu memerlukan siklus perputaran perladangan yang cepat sehingga berdampak pada waktu pemberaan yang singkat. Hal ini bisa berdampak pada rendahnya tingkat produktivitas lahan perladangan akibat tingkat kesuburan yang rendah.Â
Selain itu, waktu yang terbatas tersebut mempunyai sedikit dampak pada tanaman-tanaman dan komunitas organisme asli, dan regenerasi hutan akan sulit pulih dengan waktu yang singkat. Oleh karena itu perlu pertimbangan yang matang dalam melakukan perladangan berpindah untuk menghindari dampak negatif yang dapat ditimbulkan
Source: Hidayat, Y., 2013. Sistem perladangan berpindah sebagai local genius pada masyarakat bukit di pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan. Vidya Karya, 28(1), pp.82-88.