Aku menemukanmu saat diri ini sudah putus di ujung harapan. Kau datang di tengah keangkuhan ribuan wanita di sosial media saat itu. Aplikasi yang dikenal sebagai biro jodoh di dunia maya, tidak merubah nasibku sebagai jomblo sejati.Â
Terpampang di beranda sebuah akun, blangko fotomu yang sebam waktu itu hampir aku lewati. Aku kira karena kamu mengambilnya dengan kamera yang tidak bagus. Jadi sekilas tidak menarik perhatian.Â
Tapi entah, wajahmu dalam foto itu memanggilku kembali untuk lebih banyak mencari tahu tentang dirimu. Di histori akunmu, kau memang tidak banyak aktif. Hanya beberapa status yang menceritakan kepiluanmu.
Aku meminta pertemanan terlebih dulu waktu itu. Tak banyak berharap. Karena pikirku akan terus terulang kembali seperti yang sudah-sudah. Setelah kenalan beberapa waktu dengan perempuan. Aku dicampakkan begitu saja seperti barang yang klise.
Tidak lama menunggu, kau menerima permintaan pertemananku. Semula biasa saja. Aku hanya haturkan terima kasih atas konfirmasinya. Sebelum akhirnya kau membalasnya dengan lembut.
Ku kirim pesan berlanjut.
[Semoga kita bisa menjadi teman yang baik, Mbak, meski sebatas di dunia maya.]
[Sama-sama Mas. Memang itu yang aku harepin.]
Ada sedikit sesuatu yang ganjil saat itu. Dalam statusmu kamu seperti kurang dapat perhatian dari seorang yang berarti dalam hidupmu. Hati seperti apa yang harus ku taruh kepadamu. Perasaan iba ini lebih menyentuh ketimbang sekedar egoku mencari sosok pendamping hidup.
[Maaf, Mbak, jika aku baru kenal sudah ikut campur dalam kehidupan kamu. Sepertinya, Mbak, banyak masalah. Kalau mbak mau curhat sama aku, boleh kok. Kita terbuka saja].
Saranku ke kamu.
[Sekarang aku lagi di Surabaya, Mas, lagi ngontrak]
Pesan balasmu.