Mohon tunggu...
Feri Nata
Feri Nata Mohon Tunggu... Guru -

Guru di Sekolah Kristen Calvin, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia Perlu Kebangkitan Nasional 2.0

30 September 2015   18:04 Diperbarui: 30 September 2015   18:12 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bangsa Indonesia terbentuk karena adanya penjajahan. Adanya perasaan senasib di antara pendiri Bangsa Indonesia, mendorong mereka untuk bersatu mengusir penjajah. Hari Kebangkitan Nasional merupakan momentum bersejarah bagi lahirnya Bangsa dan Negara Indonesia. Hal ini mengawali perjuangan-perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu, diperhadapkan pada musuh bersama, Bangsa Indonesia diwujudkan dalam satu pertemuan yang menyerukan kesamaan tanah air, bangsa, dan bahasa, yaitu Indonesia. Kelanjutan ceritanya kita semua tahu dan cerita inilah yang membentuk jati diri kita sebagai Bangsa Indonesia. Kita baru saja memperingati kemerdekaan ketujuh puluh negara kita, Republik Indonesia. Namun, penulis hendak mengajak kita sekalian bertanya, “Benarkah kita sudah terbebas dari penjajahan?

Sempat beredar broadcast message melalui aplikasi chatting Whatsapp yang membahas hari kemerdekaan Indonesia dan Korea Selatan yang hanya terpaut dua hari. Lalu detail pesan tersebut membahas arti selisih dua hari kemerdekaan dikaitkan dengan tingkat kemajuan Negara Indonesia dan Korea Selatan. Tentu saja, Indonesia tertinggal dibandingkan Korea Selatan. Lalu apa kaitannya pertanyaan di atas dengan selisih dua hari kemerdekaan? Mari kita lihat. 

Imperialisme atau Kolonialisme 2.0

Ini bukan versi perangkat lunak. Imperialisme atau kolonialisme 2.0 adalah bentuk baru penjajahan. Bentuk anyar ini tidak menggunakan senjata perang. Cara ini justru anti perang. Namun, banyak negara berkembang tak mampu keluar dari kondisi terjajah dengan metode baru ini. Negara-negara berkembang dapat dikatakan secara sukarela memberi diri dijajah dengan metode baru ini. Seperti apa bentuknya imperialisme 2.0? Sebenarnya imperialisme 2.0 tidak dapat dengan mudah dipersalahkan secara moral. Dalam bentuknya yang baru ini, negara-negara maju berlomba-lomba menghasilkan barang dan jasa untuk ditawarkan kepada negara lain. Negara-negara berkembang pun boleh ikut terlibat. Prosesnya terjadi cukup sukarela, meskipun ada berbagai upaya dari masing-masing negara untuk menjaga ketimpangan supaya tetap dapat memenangkan kompetisi ini dibandingkan negara lain.

Tentunya tidak salah negara maju mengembangkan produk domestiknya. Karena kenyataannya, produknya toh dibutuhkan oleh negara lain. Suka atau tidak, perdagangan internasional akan terus terjadi dan malah meningkat. Negara-negara tidak lagi menunjukkan kedigdayaan mereka dengan senjata, tetapi dengan produk dan jasa yang kompetitif. Paling tidak, itulah yang berhasil dilakukan oleh negara-negara maju. Saat ini, setiap detik kita dapat menjumpai produk dari negara lain. Kita bangun tidur lalu mandi menggunakan sabun Lux (Unilever; Inggris-Belanda), odol Pepsodent (Unilever; Inggris-Belanda), dan sampo Pantene (P&G; Amerika). Kita sarapan Koko Crunch (Nestle; Swiss). Kita mengenakan kemeja Ralph Lauren (Amerika). Kita berangkat kerja dengan mobil Toyota (Jepang). Dan seterusnya sampai kita tidur kembali, tak sedikit dari kita yang menggunakan produk luar negeri.

Tentunya tidak ada yang salah dalam hal ini, kecuali jika kita kaitkan dengan cinta produk dalam negeri. Namun, ketika produk dalam negeri memiliki kualitas yang lebih rendah, secara kolektif mayoritas penduduk di suatu negara lebih suka dengan produk luar negeri. Alhasil negara tersebut menjadi negara konsumen dalam perdagangan internasional. Dalam bahasa sarkarme, negara tersebut “terjajah” oleh produk dari luar negeri. Itulah yang penulis maksudkan sebagai imperialisme 2.0.

Imperialisme 2.0 lebih powerful untuk meningkatkan kedigdayaan ekonomi negara-negara adikuasa. Dahulu, negara-negara adikuasa meningkatkan kekuasaan mereka dengan memperluas wilayah jajahan. Tercatat Inggris memiliki GDP $918.7 miliar pada 1983 ketika mereka sedang menguasai 33% area bumi.1 Tercatat sebagai imperialis terbesar sepanjang sejarah. Berikut adalah daftar lengkap yang penulis dapatkan dari situs Wikipedia, kekaisaran terbesar berdasarkan ukuran produk domestik bruto (GDP).

  1. British Empire – $918.7 miliar (pada 1938)2
  2. Nazi Germany – $375.6 miliar (pada 1938)3
  3. Empire of Japan – $260.7 miliar (pada 1938)4
  4. Russian Empire – $257.7 miliar (pada 1917)5
  5. Qing Dynasty – $241.3 miliar (pada 1912)6
  6. France French Empire – $234.1 miliar (pada 1938)7
  7. Italy Italian Empire – $143.4 miliar (pada 1938)8
  8. Afsharid dynasty – $119.85 miliar (pada 1740)9
  9. Austria-Hungary – $100.5 miliar (pada 1918)10
  10. Mughal Empire – $90.8 miliar (pada 1700)11
  11. Dutch Empire – $60 miliar (pada 1900)
  12. Ottoman Empire – $26.4 miliar (pada 1923)12
  13. Empire of Brazil – $13.6 miliar (pada 1889)13
  14. Portuguese Empire – $12.6 miliar (pada 1913)14

GDP Kerajaan Inggris pada 1938 ketika mereka menguasai luas area terbesar yang pernah dikuasai suatu kerajaan ternyata tidak sebesar GDP Inggris pada 2014, yaitu $2,945.1 miliar (menurut IMF). Jerman, Jepang, Rusia, China, Prancis, dan Itali malah tercatat memiliki GDP masing-masing $3,859.5 miliar, $4,616.3 miliar, $1,857.5 miliar, $10,380.4 miliar, $2,846.9 miliar, dan $2,148.0 miliar pada 2014 menurut data IMF. Jauh melebihi GDP mereka ketika paling berjaya sebagai kerajaan yang menguasai wilayah yang luas. Amerika yang tidak pernah menjajah negara lain tercatat memiliki GDP $17,418.9 miliar pada 2014.15

Tentunya kita bisa menebak dari mana negara-negara di atas memperoleh kekayaan sebesar itu. Dari perdagangan internasional. Apa yang salah dengan praktik ini? Mungkin pertanyaannya, perlu diganti dengan apa kerugian kita sebagai negara konsumen dalam perdagangan internasional? Penulis mengidentifikasi paling tidak 3 kerugian yang diderita negara konsumen, yaitu:

  1. Indeks pembangunan manusia (human development index) yang sulit naik.
  2. Nilai tambah produk kita yang rendah karena cenderung menyediakan produk hulu.
  3. Kita harus membayar tinggi atas barang-barang yang bahan bakunya berasal dari negara kita.

Negara-negara maju memiliki indeks pembangunan manusia yang tinggi. Indeks yang tinggi meningkatkan daya saing negara untuk menghasilkan produk dan jasa yang memiliki nilai tambah tinggi. Negara-negara berkembang sulit keluar dari lingkaran setan ini. Karena pertumbuhan ekonomi yang rendah, usaha pengembangan manusia terhambat. Indeks pembangunan manusia yang rendah membuat daya saing negara berkurang. Daya saing yang rendah memberi sedikit kemungkinan bagi suatu negara untuk menghasilkan produk dan jasa yang kompetitif. Alhasil, tingkat pertumbuhan ekonomi tidak cukup baik dan lingkaran ini terus berputar dan membuat usaha untuk keluar terlihat begitu sulit.

Indeks pembangunan manusia yang rendah menyebabkan produk komoditas kita tidak terolah di dalam negeri sehingga harus dijual ke luar negeri. Setinggi-tingginya harga komoditas, nilai tambah yang dihasilkan bagi negara sangat minim. Belum lagi sering terguncangnya harga komoditas karena mekanisme pasar. Padahal, komoditas yang sama dibeli oleh negara-negara miskin sumber daya lalu diolah dengan teknologi yang mereka kuasai menghasilkan produk yang ratusan bahkan ribuan kali lipat lebih mahal dibandingkan harga bahan baku yang mereka gunakan. Tentunya dalam hal ini, perusahaan-perusahaan yang menghasilkannya didukung strategi pemasaran yang sangat hebat sehingga konsumen tetap sukarela mengeluarkan uang untuk membeli produk mereka. Terkadang malah perlu antri. Indonesia tertinggal jauh dalam hal ini. Indonesia sering menjadi negara konsumen dalam praktik yang terjadi. Indonesia dapat dikatakan menjadi korban dari imperialisme 2.0.

Itulah yang banyak dialami oleh Negara Indonesia. Indonesia mengimpor produk-produk jadi yang diproduksi dengan bahan baku yang berasal dari Indonesia yang terpaksa dijual murah karena toh kita tidak mampu mengolahnya dengan benar. Miris memang. 

Kebangkitan Nasional 2.0

Indonesia harus bangkit. Kita tidak boleh terus terjebak sebagai negara konsumen. Tapi bagaimana caranya? Indonesia sudah merdeka 70 tahun, toh masih berkutat sebagai negara berkembang. Tidak mudah memang. Kebangkitan ini tidak bisa hanya dilakukan oleh segelintir orang yang ada di Indonesia. Kebangkitan level nasional lah yang mampu membawa Indonesia keluar dari status negara konsumen. Itulah Kebangkitan Nasional 2.0. Kebangkitan Nasional 1.0 sudah terjadi pada 1908 dan menyadarkan Bangsa Indonesia perlu bersatu untuk mengusir penjajah. Saat ini, Bangsa Indonesia perlu menyadari tidak boleh terus terjebak sebagai negara konsumen.

Imperialisme 2.0 memang membius negara-negara konsumen sehingga tidak melihat urgensi untuk bangkit. Namun, jika dibiarkan terus-menerus, maka impian Indonesia untuk menjadi negara maju mungkin hanya akan menjadi sekedar impian. Alias tak akan pernah terwujud. Lalu, bagaimana memulai gerakan yang begitu sulit ini? Penulis mengidentifikasi beberapa langkah yang perlu dilakukan secara simultan supaya tercipta semangat komunal yang memberikan energi bagi Bangsa Indonesia untuk sama-sama terlibat dalam Kebangkitan Nasional 2.0. Langkah-langkah tersebut mencakup peningkatan indeks pembangunan manusia, peningkatan daya saing industri, gerakan cinta produk dalam negeri, penguatan jati diri dan budaya bangsa, serta perbaikan birokrasi pemerintah. 

Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (HDI)

Selain peningkatan infrastruktur yang mulai dikebut oleh pemerintah saat ini, peningkatan indeks pembangunan manusia tidak kalah urgen. Bahkan, sebenarnya lebih penting. Daya saing sumber daya manusia Indonesia memberikan kesempatan yang lebih besar bagi industri dalam negeri. Kompetensi yang selama ini tidak tersedia di dalam negeri perlu diupayakan melalui sistem pendidikan yang mengikuti perkembangan zaman. Pendidikan formal dan nonformal harus difasilitasi seluas-luasnya untuk berkembang menyediakan sumber daya manusia Indonesia dengan tingkat kompetensi tinggi. Perlu lebih dari sekedar kebijakan anggaran minimal 20% untuk pendidikan.

Pendidikan Indonesia perlu terus berbenah untuk memperbaiki kualitas manusia Indonesia. Melalui pendidikan lah, indeks pembangunan manusia Indonesia dapat merangkak naik mengejar negara-negara maju. 

Peningkatan Daya Saing Industri Indonesia

Perlu upaya ekstra untuk meningkatkan daya saing industri Indonesia. Sembari memperbaiki kualitas sumber daya manusia Indonesia, industri-industri Indonesia perlu lebih kreatif dalam mengatasi kesenjangan kompetensi yang diperlukan untuk bersaing. Pelatihan internal dalam perusahaan merupakan opsi yang tersedia sembari menunggu dunia pendidikan memperbaiki kualitas lulusannya. Dalam hal ini, pemerintah selaku regulator perlu menyiapkan kebijakan yang memungkinkan hal ini berjalan lebih lancar.

Dukungan pemerintah dalam insentif yang efektif perlu dipikirkan dan disiapkan dengan matang supaya perusahaan-perusahaan dapat berkembang sampai level internasional untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan global. Mudah? Tidak sama sekali. Oleh karena itu, eksekusinya tidak boleh sembarangan. Konsep yang matang dan terintegrasi merupakan harga mutlak supaya pemerintah dapat membantu pekembangan industri nasional. 

Gerakan Cinta Produk Dalam Negeri

Hal ketiga ini tidak kalah sulit untuk direalisasikan dibandingkan dua yang pertama adalah gerakan cinta produk dalam negeri. Gaung gerakan ini redup di tengah-tengah gempuran imperialisme budaya yang perlahan namun pasti menghancurkan kebanggaan dan jati diri sebagai Bangsa Indonesia. Membangun gerakan cinta produk dalam negeri begitu sulit karena masing-masing berharap adanya figur publik yang terus mengimbau untuk menggunakan produk dalam negeri. Sementara, produk-produk luar negeri tak pernah rehat membanjiri pasar Indonesia dengan tawaran yang sangat, sangat menggiurkan (penekanan sengaja ditambahkan).

Mari kita mulai dari diri kita sendiri. Kita sering mengucapkan jargon “Kalau bukan kita, siapa lagi. Kalau bukan sekarang, kapan lagi.” Marilah kita libatkan diri kita kali ini. Semakin banyak yang terlibat, bola salju akan makin besar, momentum akan tercipta bagi produk Indonesia untuk berkembang dan bersaing dengan produk asing.

Sumber: akuinginhijau.org 

Penguatan Jati Diri dan Budaya Bangsa Indonesia

Gerakan cinta produk dalam negeri sulit terwujud jika kesadaran sebagai Bangsa Indonesia tidak dihidupi oleh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pengenalan bagi masyarakat akan jati diri mereka sebagai bagian dari Bangsa Indonesia perlu dikuatkan. Gerakan cinta budaya Indonesia yang terbentuk dari beragam suku dan budaya merupakan hal yang sudah lama diabaikan. Jika masyarakat Indonesia terus melihat budaya bangsa lain lebih superior daripada budaya bangsa sendiri, maka akan sulit sekali menumbuhkan kebanggaan sebagai Bangsa Indonesia. Dalam kondisi demikian, sulit sekali untuk membuat gerakan cinta produk dalam negeri diterima dan dijalankan oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Hanya akan ada gerakan-gerakan parsial yang kurang berarti bagi kemajuan industri dalam negeri.

Kecintaan akan budaya Indonesia merupakan kunci masuk pada kecintaan akan produk Indonesia. Jika semangat ini dapat dikembangkan dalam masyarakat kita, manfaatnya bagi Bangsa dan Negara Indonesia sangat besar. Semangat ini akan memberikan energi besar bagi Kebangkitan Nasional 2.0.

Sumber: ketikketik.com 

Perbaikan Birokrasi Pemerintah

Diberikan urutan terakhir bukan berarti tidak sepenting empat yang pertama. Pemerintah harus berupaya keras memperbaiki indeks persepsi korupsi untuk mendukung Kebangkitan Nasional 2.0. Pemerintah dapat menghancurkan empat usaha simultan yang pertama, jika pemerintah sendiri tidak terlibat dalam gerakan ini. Peranan pemerintah sebagai pengayom masyarakat sangat sentral untuk memotivasi Bangsa Indonesia untuk bergerak bersama-sama.

Untuk menjalankan peran ini, birokrasi yang bersih, transparan, dan akuntabel akan mendapatkan penerimaan yang sangat besar di hati masyarakat. Dengan penerimaan masyarakat yang tinggi, peran regulasi akan lebih mudah dijalankan oleh pemerintah dan pemerintah akan lebih powerful dalam mengarahkan masyarakat dalam program-program yang mendukung Kebangkitan Nasional 2.0.

Demikianlah gambaran langkah-langkah yang dapat diupayakan dalam upaya Kebangkitan Nasional 2.0. Semua komponen Bangsa Indonesia harus tergabung dalam gerakan ini karena kebangkitan parsial tidak memiliki energi yang cukup untuk mengeluarkan Indonesia dari zona negara konsumen. Oleh karena itu, melalui tulisan ini, penulis mengimbau setiap warga Negara Indonesia untuk turut dalam gerakan ini. Ayo bangkit!

Footnote:

  1. Harrison (1998, pp. 3,7).
  2. Ibid.
  3. Ibid.
  4. Ibid.
  5. Maddison, op cit.
  6. Ibid.
  7. Harrison (1998, pp. 3,7).
  8. Ibid.
  9. Maddison, op cit.
  10. Broadberry and Harrison (2005).
  11. Maddison, op cit.
  12. Pamuk (2005).
  13. Broadberry and Harrison (2005).
  14. Ibid.
  15. "World Economic Outlook Database, April 2015". Diakses 30 September 2015.

Sumber Gambar Utama: patriotindo.wordpress.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun