Mohon tunggu...
Feri Nata
Feri Nata Mohon Tunggu... Guru -

Guru di Sekolah Kristen Calvin, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengapa harus Sekolah Kristen Calvin? - Komunitas Pembelajar

21 September 2015   09:12 Diperbarui: 28 September 2015   10:09 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain aspek panggilan pada masing-masing individu guru, Sekolah Kristen Calvin juga berhasil menciptakan sebuah komunitas guru-guru pembelajar sebagai sumber daya organisasional yang memiliki keinginan kuat untuk terus meningkatkan kompetensi. Sekolah Kristen Calvin mengembangkan atmosfer belajar baik untuk siswa maupun guru. 

Baca juga: Mengapa harus Sekolah Kristen Calvin? - Guru Berkualitas

Baca juga: Sekolah Kristen Calvin, Sekolah Visioner yang Melawan Arus Zaman

Kunjungi juga: Website Sekolah Kristen Calvin

Di dalam sekolah, kami juga sangat mengembangkan budaya akademis karena kami mau melatih orang dalam akademis. Budaya itulah yang kami ciptakan. Bukan hanya murid-murid saja yang belajar karena kami nanti berbicara mengenai komunitas. Jadi, bukan hanya murid-murid yang belajar, gurunya pun dimasukkan dalam suatu atmosfer yang belajar. (Pak Ivan, Koordinator Sekolah Kristen Calvin)

Komunitas ini dapat terbentuk karena adanya kesadaran dari guru-guru untuk terus mau belajar dan mengembangkan diri. Bu Happy, Kepala SD Kristen Calvin menyatakan bahwa bahwa guru-guru didorong oleh suatu kesadaran akan hidup yang hanya satu kali sehingga dalam hidup satu kali ini tidak boleh menyia-nyiakan waktu yang ada tanpa mengembangkan potensi dan kemampuan diri. Kesadaran seperti ini dapat muncul karena guru-guru belajar semangat dari wawasan Reformed Injili yang mengajarkan guru-guru untuk mempunyai sikap tanggung jawab terhadap Tuhan bukan sekedar kepada atasan.

Kesadaran untuk menggali potensi sebenarnya. Masing-masing memiliki pergumulan yang didorong dari pengetahuan hidup ini hanya satu kali lalu hidup inilah “coram deo”. Dengan kesadaran itu, guru-guru melihat adanya kesempatan dan merebut kesempatan itu. Ambil contoh, guru-guru kami satu per satu ambil studi. Saya pikir itu didorong pengetahuan terhadap Allah lalu mengetahui hidup ini hanya satu kali. Dan juga teologi waktu sehingga tidak ada yang bermain-main. Kami bertanggung jawab bukan kepada Pendiri, bukan kepada Koordinator, bukan bertanggung jawab kepada kepala sekolah, tapi kami memiliki kesadaran, kami bertanggung jawab yang pertama adalah kepada Tuhan. Nah, masalah komunitas pembelajar, memang otomatis karena teologi Reformed sangat menekankan mandat budaya. Taklukkan bumi, untuk menaklukkan bumi kami harus memiliki pengetahuan. Dan seluruh kebenaran adalah kebenaran dari Allah sehingga kami tidak membatasi diri untuk belajar apa pun. Jadi, pengertian teologi, mandat budaya itu membuat, bukan hanya komunitas Sekolah Calvin, tetapi orang Reformed yang benar-benar memahami tentang teologi Reformed akan berpikir bahwa seluruh aspek perlu digali untuk dibawa kembali kepada Allah sehingga gairah yang ada pada guru-guru di Sekolah Calvin membuat guru-guru bisa berdiskusi tentang banyak hal, tidak terlepas dari pengetahuan tentang teologi Reformed, khususnya mandat budaya tadi. (Bu Happy, Kepala SD Kristen Calvin)

Tercatat kualifikasi yang dimiliki guru-guru Sekolah Kristen Calvin meliputi 15 lulusan S2, 43 orang lulusan S1, 5 orang lulusan D3, dan 5 orang lulusan SMA. Beberapa di antaranya sedang melanjutkan studi, yaitu 7 orang sedang menyelesaikan studi S2 dan 2 orang sedang menyelesaikan studi S3 (Data per Bulan November 2014).

Selain jalur formal yang ditempuh oleh guru-guru, proses pembelajaran informal juga terus ditekuni oleh guru-guru Sekolah Kristen Calvin melalui membaca buku, mengikuti seminar dan pelatihan. Bahkan ada kebiasaan di kalangan guru-guru Sekolah Kristen Calvin untuk ikut belajar dalam kelas yang sedang diajarkan oleh guru lain sebagai wujud semangat guru-guru untuk belajar dan mengembangkan diri. Hal-hal seperti ini tentunya sangat mendukung pencapaian visi Sekolah Kristen Calvin untuk membentuk karakter siswa karena guru-guru dapat menjadi teladan bagi siswa.

Guru-guru Sekolah Kristen Calvin berfoto bersama pembicara setelah selesai pelatihan.

Pak Edy, Guru Seni Rupa SD Kristen Calvin, menggambar di atas kanvas dalam sela-sela kunjungan Study Tour di Yogyakarta.

 

Kalau sudah setiap guru punya atmosfer belajar, hal itu tidak menjadi persaingan, tapi semacam ada perasaan tertinggal dari rekan-rekan guru lain yang maju terus. Ada semacam ajakan tidak langsung untuk mau maju. Di tempat kami, banyak orang mau ambil S2, ambil S3. Kalau tidak pun mereka mau coba belajar sesuatu. Jadi, atmosfernya diciptakan untuk benar-benar maju, misalnya kami tidak hanya imbau “Bapak-Ibu banyak baca buku ya.” Tidak, kami tidak hanya imbau begitu, tapi dengan adanya kelompok diskusi, mau tidak mau ketika ada yang bicara majunya luar biasa, dia sendiri tidak maju-maju, terpaksa mereka juga harus update, kalau tidak malu sendiri tidak bisa presentasi apa-apa, sementara yang lain sudah maju sampai ke mana-mana. Jadi, lingkungan inilah yang diciptakan sebagai suatu komunitas. Anak-anak juga melihat, guru-gurunya bukan hanya bicara, tetapi mau mengejar untuk makin maju, karena gurunya untuk pelajaran tertentu bisa ikut kelas dari guru lain. Jadi, anak juga melihat belajar buat semua umur. Itu bukan hanya teori, tapi dipraktikkan oleh guru-gurunya sendiri. Guru-gurunya mau belajar sesuatu dari para seniornya. Jadi, konsepnya adalah bagaimana kami menghidupi. Di sekolah ini proyek komunitas itu penting. Lalu, Guru-gurunya diimbau menulis. Itu sebagai suatu gaya hidup, tetapi juga sebagai daya saing. Bisa dihitung dengan jari sekolah yang punya jumlah Magister dengan persentase setinggi kami. Bahkan kami memiliki guru yang sedang menempuh studi doktorat. Kalau kita melihat guru dengan gelar Magister dan ada yang sedang kuliah doktorat, maka hal ini dapat dipandang sebagai daya saing tersendiri. Mengapa mereka ini ada di sini? Karena komunitas akademik yang kami buka. Jadi, kami sangat mengasihi kebenaran. Itu fondasinya. Akademik bukan hanya semata-mata untuk menunjukkan kehebatan kami, tetapi juga menjadi suatu gaya hidup. Karakter, itu yang mau kami bentuk. (Pak Ivan, Koordinator Sekolah Kristen Calvin)

 

(Diadaptasi dari Thesis "Membangun Keunggulan Kompetitif melalui Pendekatan Pandangan Berbasis-Sumber Daya - Studi Kasus pada: Sekolah Kristen Calvin" yang penulis siapkan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Master of Business Administration di Universitas Gadjah Mada)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun