Setelah akhir bulan september 2019 sukses menyelenggarakan Gelaran balap sepeda bertajuk International Tour de Banyuwangi Ijen (ITdBI) 2019. Medio bulan oktober kegiatan akbar juga akan dihelat oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.
Gandrung Sewu, even tahunan yang pertama kali digelar sejak 2012 yang saat pertama kali diselenggarakan, festival tersebut sudah memecahkan rekor MURI sebagai acara dengan jumlah penari terbanyak, yakni 1.047 orang.
Perhelatan yang terus disambut dengan apresiasi menjadikan event ini masuk ke dalam 10 Best Calendar of Event Wonderful Indonesia. Mengutip Radar Banyuwangi edisi Minggu, (06/10/2019) Gandrung Sewu tahun ini melibatkan 1.330 seniman tari dan musik Banyuwangi.Â
Mengambil tema Panji-Panji Sunangkara, sendratari itu akan bercerita tentang semangat membara Pangeran Rempeg Jagapati, memimpin rakyat Banyuwangi melawan kolonial Belanda. Tari kolosal gandrung sewu tersebut bakal menghadirkan suasana megah, karena pertunjukannya dihelat di bibir pantai Marina Boom.
Bahkan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan jika festival itu semacam perayaan tahunan para penari gandrung. Ribuan gandrung dari berbagai penjuru Banyuwangi, telah berkumpul dan berlatih bersama untuk menghadirkan atraksi seni kolosal yang memikat. Beralaskan pasir pantai, mereka akan menari dengan lincah membentuk beragam formasi.
Gandrung sendiri merupakan salah satu identitas budaya Banyuwangi yang telah mendunia. Tidak hanya menghadirkan sebuah event, Gandrung Sewu yang digelar juga sebagai upaya regenerasi seniman tari di Banyuwangi.
Butuh Persiapan
Jika ditelisik secara mendetail kegiatan Gandrung Sewu memiliki banyak keuntungan. Utamanya bagi kaum milenial dan iGeneration yang bisa memanfaatkannya sebagai wadah untuk mencintai tari tradisi. Hal tersebut dapat dilihat dengan antusias mereka yang cukup tinggi. Serta ketatnya persaingan untuk bisa lolos menjadi bagian penampil di event akbar itu.
Penulis sendiri yang pernah menjadi bagian dari perhelatan Gandrung Sewu edisi ke Tiga ditahun 2014 merasakan bagaimana proses itu terjadi. Mulai seleksi dari tingkat sekolah berlanjut ke Kecamatan hingga nantinya bisa bergabung dengan ribuan penari yang bertalenta.
Selain itu bagi penampil yang lolos juga akan diberikan waktu latihan yang intens sejak satu bulan sebelum hari penyelenggaraan. Hingga puncaknya akan dikumpulkan di Stadion Diponegoro guna latihan bersama seluruh peserta. Saat itulah porsi latihan semakin meningkat bahkan bisa dalam sehari hingga memakan waktu enam jam.
Faktor kesiapan peserta memang sudah harus difikirkan jauh-jauh bulan, punbegitu tidak sedikit juga peserta yang belum berkesempatan merasakan adrenalin saat menjadi bagian dari Gandrung Sewu. Kala itu bagi penulis sendiri merupakan kebanggaan bisa turut serta menyemarakan event tahunan itu.
Jika dibeberapa daerah lain tari tradisi seperti luput dari pantauan radar remaja, hal itu tidak berlaku di Banyuwangi. Pandangan itu berbanding lurus dengan kesadaran orang tua untuk bisa mengikutkan anaknya agar bisa menari utamanya di sangar tari yang banyak tersebar di Banyuwangi. Hal inilah yang membuat regenerasi Gandrung Banyuwangi tetap terjaga.
Keuntungan lainnya dari tari itu juga memberi dampak pada kunjungan wisatawan yang datang ke Banyuwangi. Mengingat tak hanya Gandrung Sewu saja tema-tema kegiatan yang mengusung gerakan badan yang berirama dan diiringi dengan bunyi-bunyian. Ada juga  pementasan sendratari Meras Gandrung di Festival Lembah Ijen yang digelar di Taman Gandrung Terakota setiap bulannya.
Tak hanya aspek peningkatan kunjungan wisata, Tari Gandrung yang awalnya hanya ada saat hajatan atau sengaja dihadirkan dengan bayaran, kini semakin berkembang dimasyarakat. Bahkan intensitas pertunjukannya sering dijumpai baik dalam kegiatan gormsl maupun informal.
Tetap Istiqomah
Beberapa keuntungan itu tentunya tidak berlebihan jika Gandrung Sewu juga harus tetap digelar siapapun kelak Bupati yang akan memimpin Banyuwangi. Setidaknya dengan tetap menjaga event itu tetap ada setiap tahunnya akan membuat pelestarian seni tradisi tetap terjaga di Banyuwangi.
Apalagi Gandrung yang sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sehingga tanpa menafikan aspek kesenian tradisi lain di Banyuwangi diharapkan event tersebut tetap berjalan agar tetap menjaga ghirah penjagaan tradisi ini.
Tidak dipungkiri jika wadah tidak disediakan guna menampung segala kreativitas kaula muda bisa saja tari tradisi justru akan hilang ditelan bumi. Oleh sebab itu pemerintah pusat banyak melakukan upaya-upaya dalam melestarikan tari tradisional Indonesia
Salah satu yang sedang digalakan pemerintah pusat yang dalam hal ini dijalankan oleh Dinas Kebudaya dan Pariwisata (Disbudpar) dengan merekomendasikan sekolah-sekolah untuk mengadakan ekstrakulikuler menari tari tradisional.
Lalu kegiatan perlombaan tari antar sekolah tingkat nasional, seperti  Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FL2SN) atau lomba Suku Dinas Pariwisata, dengan reward jika memenangkan kompetisi, anak tersebut akan lebih mudah masuk sekolah yang diinginkannya dengan jalur prestasi.
Beberapa rekomendasi tersebut bagi Banyuwangi tidak begitu asing karena penerapannya sudah mulai berjalan dipelbagai tingkatan pendidikan di Banyuwangi. Bahkan untuk Tari Gandrung sendiri merupakan tarian wajib bagi anak-anak di Bumi Blambangan.
Terakhir penulis cukup apresiasi semangat dari peserta Gandrung Sewu Banyuwangi  setiap melihat perjuangan menuju ketitik itu hati serasa masygul bercampur rasa bahagia dan bangga tak terkira. Semoga semangat itu juga dibarengi dengan tetap digelarnya agenda itu seterusnya ditahun-tahun mendatang. Terlepas seberat apapun prosesnya pasti selalu ada ilmu dan pengalaman yang bermanfaat didalamnya.Â
*Tulisan ini pernah dimuat di Surat Kabar Radar Banyuwangi dengan judul yang sama.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H