Kopi hitam mengepul. Udara beranjak pagi. Orang-orang di ronda kumpul. Menyaksi laga bola penuh gengsi. Belanda lawan Spanyol. Langsung disiarkan dari Brazil. Pemain kelas dunia tampil. Orang-orang ronda asyik komentar dan ngobrol. Mereka pasang taruhan. Mereka lupa Tuhan. Piala dunia telah membuat mereka sejenak melupakan kewajiban. Pada pilihan Presiden dan syaum Ramadhan.
Orang-orang ronda banyak bertaruh untuk kemenangan tim Spanyol. Mereka memiliki keyakinan tim Matador tak akan kebobolan gol. Mereka terus saja memuji-muji dan mengacungi jempol. Tetapi tim Belanda ternyata mampu melesakkan lima gol ke gawang Spanyol. Orang-orang ronda jadi dongkol.
“Ini murni kesalahan pelatih. Strategi yang diraciknya sudah tidak lagi matih,” kata Ketua RT yang ikut ronda dengan nada lirih.
“Pelatih Spanyol kan sudah tua. Bisa saja dia sudah pikun dan jadi pelupa. Masa sekelas juara dunia kalah terhina di pertandingan perdana! Skor telak 5-1 ini benar-benar malapetaka,” timpal anggota Linmas penuh kecewa.
“Apa saya bilang tadi! Belanda sudah punya strategi yang akan membuat permainan La Furia Roja mati. Pelatih Belanda memang sakti,” ujar Asep Masduki. Wajahnya berseri-seri.
“Ah.... Pak Asep kan pendukung fanatik Belanda. Kalau muji-muji seperti itu, tidak aneh bagi kita. Tapi memang, saya akui permainan cepat Belanda luar biasa,” kata Ujang Suja.
Pak RT rupanya kecewa berat. Tim kesayangannya habis dilumat. Pak RT terlihat emosi. Nada suaranya tiba-tiba meninggi.
“Saya gak ngerti sama Pak Asep! Belanda itu bekas penjajah kita. Jangan-jangan Pak Asep perlu ke dokter minta resep. Biar otaknya sedikit terbuka.”
“Eh.... Pak RT bicara apa! Saya suka Belanda itu urusan saya. Kalau jago Pak RT keok terima saja. Jangan ngomong ngelantur ke mana-mana.” Asep Masduki balik menyerang Pak RT sambil berdiri. Orang-orang ronda pun berdiri.
Anggota Linmas berusaha menenangkan Pak RT yang berdiri bertolak pinggang. Sementara Ujang Suja menepuk-nepuk pundak Asep Masduki supaya bersabar. Tangan Pak RT terlihat gemetar. Wajah Asep Masduki bertambah garang.
“Linmas jangan ikut-ikutan urusan saya! Kamu tidak tahu siapa si Asep Masduki ini. Kakek buyut si Asep Masduki ini orang Belanda. Nenek buyut si Asep Masduki hamil tanpa dikawini.”
“Pak RT jangan bicara sembarangan. Jangan mentang-mentang kakek buyut Pak RT ningrat. Gelar ningrat itu diberikan orang-orang Belanda yang Pak RT umpat-umpat. Sebenarnya kakek buyut Pak RT itu garong yang diberi kekuasaan.” Asep Masduki menunjuk-nunjuk wajah Pak RT yang memerah. Pagi yang dingin malah terasa semakin gerah.
“Coba Bapak-bapak bayangkan! Negara kita dijajah bangsa Belanda sangat-sangat lama. Si Asep Masduki sudah tidak bisa lagi menyangkal kakek buyutnya adalah garong negara kita. Makanya dia fitnah kakek buyut saya sebagai penyamun yang diberi kekuasaan.” Suara Pak RT semakin keras. Asep Masduki bertambah beringas.
“Pak RT jangan menyangkal! Kalau turunan pencuri akui saja sebagai anak cucu pencuri! Orang-orang yang hadir di sini pun tahu dan tidak akan menyangkal. Pak RT mewarisi darah kakek buyut Pak RT yang gemar mencuri.” Asep Masduki terus menyerang. Orang-orang ronda tak bisa melarang.
“Ha ha ha.... Mencuri apa? Kamu jangan sembarangan menuduh! Iman saya sebagai RT masih teguh.”
“Pak RT mencuri beras jatah rakyat miskin. Mencuri urunan warga! Untung saja warga merasa iba. Makanya kelakuan Pak RT dibiarin.”
“Itu bukan pencurian! Itu hal yang wajar di negeri ini! Coba saja bapak-bapak tanya RT lain yang ada di desa ini! Semua pasti melakukan hal demikian.”
Orang-orang ronda melongo. Debat dan ketegangan antara Pak RT dan Asep Masduki begitu menarik perhatian mereka. Mereka ingat debat-debat di televisi yang menampilkan politisi dan pengacara kurang peduli etika. Orang-orang ronda kembali menyulut rokok.
"Sudah-sudah! Pak RT dan Pak Asep jangan ribut terus.” Ujang Suja tampak serius. Melerai Pak RT dan Asep Masduki yang sama-sama tidak mau kalah.
“Ingat bapak-bapak! Tidak lama lagi kita akan masuk bulan puasa. Seharusnya kita saling memaafkan dosa perdosa. Jangan saling mencela.” Anggota Linmas menengahi. Pak RT dan Asep Masduki saling membelakangi.
Orang-orang ronda bubar. Aku yang hanya diam mendengar perseteruan Pak RT dan Asep Masduki malah gusar. Aku harus mencari cara agar kedua orang itu tidak kembali berseteru. Demi kesuksesan calon presiden dalam Pemilu.
Aku adalah ketua partai pengusung calon presiden. Pak RT dan Asep Masduki sama-sama aku andalkan. Mereka sangat telaten. Mengkampanyekan calon presiden dengan segenap perasaan.
Bila Pak RT dan Asep Masduki tidak akur, aku takut mereka berhenti turun ke masyarakat. Bila suara masyarakat ngawur, aku takut calon presidenku kalah dan karir politiku tamat.
Meski aku hanya ketua partai di tingkat desa. Aku merasa sangat bertanggung jawab untuk menyukseskan calon presiden yang diusung partai. Aku pulang dengan langkah lemah dan lunglai. Terus berpikir mencari cara dan sedikit-sedikit rekayasa.
Pukul sembilan pagi, aku sudah berpakaian rapi. Aku sudah punya strategi. Aku akan segera menemui Pak RT dan Asep Masduki.
Halaman rumah Pak RT terlihat asri. Meski tidak luas tetapi ditata serasi. Rumahnya sederhana. Warnanya sedikit kusam dimakan usia.
“Assalamu ‘alaikum....” Aku memberi salam seraya tersenyum.
“Waal’aikumussalam....” Pintu dibuka Pak RT dari dalam.
Setelah dipersilakan duduk, aku mulai membuka obrolan. Pak RT ngangguk-ngangguk mendengar penuh perhatian.
“Semalam saya tidak bisa tidur. Ingat terus sama Pak RT dan Pak Asep Masduki. Saya khawatir Pak RT dan Pak Asep Masduki terlanjur saling membenci. Semalam saya terus berdoa dan tafakur.”
“Si Asep memang keterlaluan! Dia menghina leluhur saya.” Pak RT bicara perlahan. Seperti tidak ingin ada orang lain yang mendengarnya.
“Tapi Pak RT harus ingat! Pak Asep Masduki itu pamannya Bu RT.” Aku menatap mata Pak RT. Hawa lembab membuat Pak RT berkeringat.
Aku berkata pada Pak RT dan sedikit berdusta. Semalam aku mendapat wangsit. Belanda telah membebaskan Indonesia dari penjajahan raja-raja. Belanda menghapus status hamba dan raja yang menganga seperti bumi dan langit.
“Kalau tidak ada Belanda mana mungkin Indonesia ada. Indonesia sebelumnya tidak ada karena dulu nusantara merupakan kumpulan kerajaan-kerajaan. Raja yang bertakhta mesti disembah layaknya Tuhan. Kebebasan berpolitik sama sekali tidak ada.”
Pak RT tertegun. Wajahnya ngungun. Pikirannya seperti melayang jauh. Ke masa lalu yang tidak pernah dia tempuh.
“Gusti Alloh telah mentakdirkan Indonesia berdiri dan merdeka. Dengan adanya penjajahan Belanda, bangsa kita bangkit dan bergerak bersama-sama. Menghimpun kekuatan dengan cita-cita yang sama. Menjadi bangsa yang benar-benar merdeka.”
“Waduh! Waduh! Wangsit Pak Ketua Partai benar-benar telah menyadarkan saya. Kaki saya terasa lumpuh. Lemas mendengar cerita tentang perjalanan bangsa kita.”
“Nah, Pak RT sekarang sudah terang benderang. Jangan lupa berjuang agar calon presiden kita menang!” Aku permisi setelah sedikit basa-basi. Pak RT tersenyum berseri-seri setelah berjanji akan meminta maaf pada Asep Masduki.
Aku kembali berjalan kaki. Meninggalkan rumah Pak RT menuju kediaman Asep Masduki. Aku tersenyum lega. Burung-burung di pinggir jalan berkicau ceria.
Di pintu gerbang halaman rumah, Asep Masduki berdiri memegang pancing. Topi hitam kulit gaya koboynya sedikit miring. Beruntung, aku sempat bertemu. Kalau tidak, aku harus menunggu malam untuk kembali bertamu.
“Wah kebetulan sekali Pak Asep belum melempar kail! Saya ingin ngobrol dulu sebentar saja.” Asep Masduki tersenyum lebar seperti biasa. Dia memperhatikan kopiah saya yang sudah dekil.
“Tumben pagi-pagi Pak Ketua Partai sudah bertamu! Biasanya pergerakan dan rapat-rapat kan malam hari.” Aku tersipu-sipu sedikit malu. Aku memang sering ikut numpang di rumah Asep Masduki untuk menggelar rapat rahasia dari malam hingga menjelang pagi.
“Semalam saya mendapat wangsit. Saya rasa Pak Asep perlu juga mengetahui wangsit yang saya terima.” Aku kembali berdusta soal wangsit. Seperti juga telah aku dustakan kepada Pak RT yang telah berhasil terpedaya.
“Oh... gitu ya! Emang gimana wangsitnya.” Asep Masduki mulai percaya. Aku siap-siap membodohinya.
“Pak Asep kan semalam beradu mulut dengan Pak RT di pos ronda! Saya tidak bisa tidur memikirkan kejadian tersebut. Akhirnya saya berdoa dan berzikir sebisa saya. Ketika berzikir itulah saya mendapat pesan gaib tapi entah dari Gusti Alloh atau dari lelembut.”
Aku sejenak diam. Memperhatikan mata Asep Masduki sedikit temaram.
“Dalam wangsit seolah-olah tergambar dan terdengar jelas. Para pejabat negeri ini dari mulai presiden sampai RT terlalu sukar untuk lepas dari jerat korupsi. Korupsi itu bukan saja terkait dengan kebijakan, uang, jabatan, harta negara dan beras. Tidak bijak dan menghambur-hamburkan waktu saat jam kerja itu pun termasuk korupsi.”
Asep Masduki manggut-manggut. Janggut putihnya tampak kering serupa rumput.
“Oleh karena itu, kita sebaiknya lebih mendekatkan diri kepada sang Pencipta. Memperbaiki negeri ini dan mengurangi korupsi mulai dari diri kita. Jangan saling menghujat karena itu perbuatan dosa. Gusti Alloh tidak menyukainya.”
“Astaghfirulloh al ‘adzim.....” Asep Masduki beristigfar dengan takzim.
“Dalam Islam, orang yang meminta maaf lebih dahulu adalah orang yang lebih baik dan mulia. Saya sangat berharap Pak Asep mau menemui Pak RT dan meminta maaf terlebih dahulu kepadanya!”
“Baiklah! Saya pasti akan meminta maaf dan menyatakan islah.” Raut muka Asep Masduki lemah. Pasrah.
“Oh ya... jangan lupa juga dengan perjuangan kita! Seperti yang telah kita sepakati bersama. Calon presiden dari partai saya harus unggul di tiap TPS yang ada di desa kita.”
“Siap! Itu masalah gampang.” Asep Masduki tersenyum mantap. Matanya tenang.
***
Jam lima sore rekapitulasi penghitungan suara selesai dilaksanakan. Aku tersenyum dengan sejuta kebanggaan. Pada mulanya sekujur ragaku berdebar-debar. Darahku seakan-akan menjadi panas dan berkobar-kobar.
Perolehan suara calon Presiden nomor 1 dan nomor 2 susul menyusul. Aku tidak enak duduk seakan-akan di pantatku ada bisul.
Hingga akhirnya, beban di pundakku terasa lepas. Aku merasa melayang seperti kapas. Dibelai angin kemenangan dan kebahagiaan. “Aku bisa promosi jadi ketua partai kecamatan.” Aku berkata-kata sendiri dalam lamunan.
“Selamat! Calon presiden yang kita dukung menang di semua TPS di desa kita. Wangsit Ketua Partai telah menjadi penyelamat. Sehingga saya dan Pak Asep Masduki kembali kompak dan saling percaya.” Pak RT mengajak bersalaman. Asep Masduki turut pula bersalaman.
Aku merenung di hadapan hidangan berbuka puasa. Seluruh jiwaku penuh suka cita. Calon presidenku menang. Tetapi pengurus masjid di desaku mengerang.
“Mungkin saja pengurus masjid mendengar isu. Calon presiden kita non-muslim dan turunan orang Belanda. Kita tidak usah percaya isu. Isu itu hanya mengada-ada.” Istriku bicara seolah mengetahui apa yang aku pikirkan. Kerudung panjang dan gamisnya tampak anggun menenangkan.
Beduk terdengar merdu ditabuh dari surau. Aku berbuka dengan mata berkilau-kilau.*
Ciamis, 26 Juni 2014
FERI KARTONO
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H