Jam lima sore rekapitulasi penghitungan suara selesai dilaksanakan. Aku tersenyum dengan sejuta kebanggaan. Pada mulanya sekujur ragaku berdebar-debar. Darahku seakan-akan menjadi panas dan berkobar-kobar.
Perolehan suara calon Presiden nomor 1 dan nomor 2 susul menyusul. Aku tidak enak duduk seakan-akan di pantatku ada bisul.
Hingga akhirnya, beban di pundakku terasa lepas. Aku merasa melayang seperti kapas. Dibelai angin kemenangan dan kebahagiaan. “Aku bisa promosi jadi ketua partai kecamatan.” Aku berkata-kata sendiri dalam lamunan.
“Selamat! Calon presiden yang kita dukung menang di semua TPS di desa kita. Wangsit Ketua Partai telah menjadi penyelamat. Sehingga saya dan Pak Asep Masduki kembali kompak dan saling percaya.” Pak RT mengajak bersalaman. Asep Masduki turut pula bersalaman.
Aku merenung di hadapan hidangan berbuka puasa. Seluruh jiwaku penuh suka cita. Calon presidenku menang. Tetapi pengurus masjid di desaku mengerang.
“Mungkin saja pengurus masjid mendengar isu. Calon presiden kita non-muslim dan turunan orang Belanda. Kita tidak usah percaya isu. Isu itu hanya mengada-ada.” Istriku bicara seolah mengetahui apa yang aku pikirkan. Kerudung panjang dan gamisnya tampak anggun menenangkan.
Beduk terdengar merdu ditabuh dari surau. Aku berbuka dengan mata berkilau-kilau.*
Ciamis, 26 Juni 2014
FERI KARTONO
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI