Mohon tunggu...
Feridha Medina
Feridha Medina Mohon Tunggu... Mahasiswi -

Mahasiswi di Universitas Padjadjaran yang mengambil Hukum sebagai jurusannya.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Masihkah DPR Menjadi Wakil Rakyat?

1 Maret 2018   23:32 Diperbarui: 2 Maret 2018   09:26 1097
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Awal-awalnya nih tentang kontroversi Revisi UU MD3, saya biasa aja dan mikir. Ah yasudahlah itu hal yang biasa mengenao pro-kontra tentang suatu aturan yang dikeluarkan oleh badan legislatif. Tapi setelah saya melakukan penelitian yang sederhana mengenai muatan pokok yang menjadi sorotan semua kalangan di Indonesia. Saya akhirnya sadar, bahwa ada beberapa muatan yang memberikan kesan bahwa DPR disini menjadi sakti, anti kritik dan hak imunitas yang semakin luas. Beberapa Pasal kontroversial:

PASAL 73 (AYAT 4, Huruf C) yang berbunyi:

KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA MEMERINTAHKAN KEPALA KEPOLISIAN DAERAH DI TEMPAT DOMISILI PEJABAT NEGARA, PEJABAT PEMERINTAH, BADAN HUKUM DAN ATAU WARGA MASYARAKAT YANG DIPANGGIL PAKSA UNTUK DIHADIRKAN MEMENUHI PANGGILAN DPR SEBAGAIMANA DIMAKSUD PADA AYAT (4)

Disini Polisi menjadi sangat dilematis keberpihakannya. Sedangkan DPR bukan merupakan penyidik dan ini bertentangan dengan konstitusi yang ada di Indonesia. Seseorang dapat dipanggil secara paksa bila seseorang itu merupkan saksi dalam sebuah peristiwa hukum. Sesuai dengan yang diatur dalam KUHAP Pasal 6 Ayat 1:

Penyidik adalah

  • pejabat Polisi negara Republik Indonesia.
  • pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberikan kewenangan khusus oleh undang.-undang.
  • syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

PASAL 122 UU MD3 (HURUF K) yang berbunyi:

MKD MENGAMBIL LANGKAH HUKUM DAN ATAU LANGKAH LAIN TERHADAP PERSEORANGAN, KELOMPOK ORANG, ATAU BADAN HUKUM YANG MERENDAHKAN KEHORMATAN DPR DAN ANGGOTA DPR

Menjadi multitafsir dari kata 'Merendahkan' yang dimuat dalam Pasal tersebut namun pasal ini akan bermuara pada pembungkaman pada orang-orang yang hanya sekadar curhat, berpendapat, dan kritik seperti Jurnalis, Aktivis, Warga, Pengusaha dll. Pun pasal ini bertentangan dengan UUd 1945 Pasal 28E yang berbunyi, "Bahwa kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagaimana ditetapkan dengan undang-undang." 

Tidak hanya satu aturan saja yang bertentangan terdapat satu lagi aturan yaitu UU No 9 Tahun 1998 mengenai Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang berbunyi, "Manusia menjamin kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat tanpa gangguan apapun dengan cara apapun dengan tidak memandang batas-batas."

Menurut Mahfud MD pun MK telah memutus bahwa penghinaan, pencemaran nama baik terhadap pejabat dan jabatan itu TIDAK ADA dan harus bersifat pribadi yang nantinya akan menjadi delik aduan bila melakukan pengaduan. Parameter mengenai merendahkan kehormatan disini pun telah diatur dan termuat dalam KUHP dalam bab XVI mengenai penghinaan dan yang ditekankan adalah harus perseorangan langsung dan bersifat perorangan.

Negara Indonesia merupakan negara demokrasi ini tersirat dalam UUD Pasal 1 Ayat 2 yang berbunyi bahwa "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan diselenggarakan menurut Undang-Undang Dasar." Ini menyiratkan bahwa mekanisme dalam penyelenggaraan negara adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun