Mohon tunggu...
Feriadi Tampubolon
Feriadi Tampubolon Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah seorang penulis yang suka menulis berbagai pandangan tentang berbagai isu sosial, budaya, olahraga, dan teknologi. Dengan latar belakang di bidang komunikasi dan jurnalistik, saya tertarik menulis artikel yang dapat memberikan sudut pandang baru kepada pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena Doom Spending: Ketika Anak Muda Terjebak Belanja di Masa Sulit

4 Oktober 2024   22:14 Diperbarui: 5 Oktober 2024   14:23 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Doom Spending adalah aktivitas  membelanjakan uang untuk menghilangkan stes di tengah kekhawatiran atas kondisi ekonomi yang tidak pasti dan kondisi hubungan internasional yang tidak stabil. Belanja impulsif atau doom spending sering kali muncul sebagai respons emosional terhadap ketidakpastian atau ketakutan akan masa depan. Dalam masa-masa sulit, anak muda cenderung mencari pelarian dari stres atau tekanan yang mereka alami, dan belanja sering kali dianggap sebagai bentuk pelampiasan emosi yang instan. Dengan meningkatnya akses terhadap belanja online dan media sosial yang mempromosikan gaya hidup konsumtif, perilaku ini semakin mudah dilakukan.

Banyak anak muda yang merasa terjebak dalam ketidakpastian ekonomi dan sosial. Banyak dari mereka kehilangan pekerjaan atau mengalami pengurangan pendapatan, sementara ketidakpastian tentang masa depan membuat mereka merasa cemas. Untuk mengatasi stres ini, sebagian memilih untuk berbelanja barang-barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan, seperti pakaian, gadget, atau produk kecantikan, yang sering kali hanya memberikan kepuasan sementara.

Faktor Penyebab Doom Spending

Ada beberapa faktor yang menyebabkan anak muda terjebak dalam perilaku doom spending. Salah satunya adalah tekanan sosial. Kehadiran media sosial memainkan peran besar dalam mendorong perilaku konsumtif di kalangan anak muda. Banyak anak muda yang merasa harus mengikuti tren atau gaya hidup yang dipromosikan oleh influencer atau selebriti di platform seperti Instagram dan TikTok. Hal ini menciptakan kebutuhan untuk selalu tampil 'sempurna' dan memperlihatkan kesuksesan material, meskipun pada kenyataannya mereka mungkin tidak mampu untuk membelinya.

Sumber Freepik
Sumber Freepik

Selain itu, ada juga faktor psikologis. Ketika anak muda merasa kehilangan kendali atas aspek-aspek penting dalam hidup mereka, seperti karier atau hubungan sosial, mereka mungkin mencoba mencari kendali melalui aktivitas yang dapat mereka atur, seperti belanja. Belanja memberikan ilusi kontrol dan kepuasan emosional, meskipun hanya bersifat sementara. Hal ini bisa menyebabkan siklus perilaku belanja berlebihan, di mana semakin besar tekanan yang mereka rasakan, semakin besar pula keinginan untuk berbelanja.

Faktor lainnya adalah kemudahan akses. Dengan kemajuan teknologi, belanja online menjadi sangat mudah dilakukan. Hanya dengan beberapa klik, seseorang bisa membeli barang dari berbagai platform e-commerce. Ditambah dengan penawaran diskon, promosi besar-besaran, dan kemudahan metode pembayaran seperti paylater atau cicilan, anak muda semakin terdorong untuk melakukan pembelian yang sebenarnya tidak mereka butuhkan.

Dampak Doom Spending

Fenomena doom spending memiliki dampak jangka panjang yang serius, terutama dalam hal keuangan pribadi. Banyak anak muda yang akhirnya terjerat dalam utang karena kebiasaan belanja yang tidak terkendali. Penggunaan kartu kredit atau layanan paylater yang berlebihan bisa menyebabkan penumpukan utang yang sulit dilunasi, yang pada akhirnya memperburuk kondisi keuangan mereka. Masalah keuangan ini dapat berdampak pada kualitas hidup, seperti menunda pembelian rumah, pernikahan, atau bahkan pendidikan lebih lanjut.

Sumber Freepik
Sumber Freepik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun