Mohon tunggu...
Ferdinand Sujanto
Ferdinand Sujanto Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat

Ora Et Labora

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kawin Beda Agama: Ruwet Gak Seh? Tok! Sekarang Tidak Boleh!

19 Juli 2023   04:20 Diperbarui: 19 Juli 2023   04:53 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peserta Ressyouth On The Road (Sumber Pribadi). 

Sedikit kilas balik pada 20 Mei 2023 lalu, komunitas pemuda-pemudi GKI Residen Sudirman Surabaya menyelenggarakan acara Ressyouth On The Road sebagai wadah dialog lintas agama yang membahas tentang keruwetan masalah pencatatan kawin beda agama di Indonesia. Ternyata jawaban dari keruwetan pencatatan kawin beda agama di Indonesia secara tidak sengaja dijawab oleh Mahkamah Agung, yakni demi kepastian hukum dan kesamaan penerapan hukum dinyatakan kawin beda agama tidak diperbolehkan di Indonesia. 

Jawaban tidak diperbolehkannya kawin beda agama di Indonesia termaktub dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 (SEMA 2/2023) tentang petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan. Melalui SEMA 2/2023 tersebut, alasan mendasar untuk keruwetan pencatatan perkawinan beda agama di Indonesia ialah mewujudkan kepastian hukum dan kesamaan penerapan hukum bagi hakim yang mengadili permohonan perkawinan beda agama dan kepercayaan tersebut. 

SEMA 2/2023 tersebut memberikan pedoman kepada hakim yang mengadili permohonan pencatatan perkawinan beda agama dengan dasar Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 8 huruf f UU Perkawinan yang pada intinya mengatur perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Lebih lanjut, pada poin kedua pedoman yang ditetapkan dalam SEMA 2/2023 tersebut diatur jika pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan. 

SEMA 2/2023 Bertentangan Dengan  UU Administrasi Kependudukan (Adminduk) 

Sebelum membahas pertentangan antara SEMA 2/2023 dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia, perlu diingat kembali mengenai hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Menurut Pasal 7 Jo. Pasal 8 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pada prinsipnya SEMA memang diakui sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, kedudukannya SEMA ialah tidak setara dengan undang-undang. SEMA merupakan produk peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari wewenang Mahkamah Agung untuk memberikan petunjuk kepada seluruh peradilan dibawah Mahkamah Agung. Dengan kata lain, SEMA hanya mengikat dalam lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung saja. 

Namun, dengan adanya SEMA 2/2023 ini membuat adanya pertentangan dengan beberapa peraturan perundang-undangan. Pertama, Pasal 35 huruf a UU Adminduk yang mengatur "Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: 

a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan;".

Pasal ini seringkali digunakan sebagai aturan eksplisit atau jalan keluar bagi hakim yang memeriksa dan mengadili permohonan perkawinan beda agama. Pun dipertegas kembali pada bagian penjelasan Pasal 35 huruf a UU Adminduk, yang menyatakan "Yang dimaksud dengan ”Perkawinan yang ditetapkan olehPengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar-umatyang berbeda agama."

Dengan adanya konflik norma dalam dua peraturan perundang-undangan ini antara SEMA 2/2023 dan UU Adminduk, menunjukkan pemerintah kembali mengambil langkah yang gegabah dan justru menimbulkan permasalahan lebih luas lagi dibandingkan sebelumnya yang hanya berputar pada masalah keruwetan pencatatan perkawinan beda agama di Indonesia. Jikalau memang ingin melarang perkawinan beda agama di Indonesia, sudah seharusnya ketentuan pada Pasal 35 huruf a UU Adminduk ini dihapus terlebih dahulu, karena pasal tersebut tidak dapat dipungkiri menjadi landasan hakim demi mewujudkan asas hukum ius curia novit (hakim wajib menerima dan mengadili perkara yang masuk di pengadilan, meskipun tidak ada atau tidak jelasnya pengaturan terhadap suatu masalah). Apalagi kedudukan SEMA yang dinilai tidak dapat mengikat, menjadi problematika lanjutan dari adanya konflik norma ini. 

Proses penghapusan atau pencabutan terhadap Pasal 35 huruf a UU Adminduk ini sudah semestinya dilakukan melalui wewenang legislatif, yaitu DPR. Padahal, terbaru dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XX/2022, dalam concuring opinion Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh telah disebutkan jika sengkarut masalah perkawinan beda agama perlu dikaji ulang bagi pembentuk peraturan perundang-undangan, yaitu Presiden/Pemerintah dan DPR. 

Dua hakim konstitusi tersebut, mengusulkan agar pembentuk peraturan perundang-undangan melakukan perubahan pada ketentuan UU perkawinan dengan menyesuaikan dinamika sosial serta beberapa hal lainnya guna menyelesaikan sengkarut masalah perkawinan beda agama maupun pencatatan perkawinannya. Akan tetapi, alih-alih menyelesaikan masalah perkawinan beda agama di Indonesia yang terus bergulir, justru keluarnya SEMA 2/2023 makin membuat konflik norma perkawinan beda agama di Indonesia semakin tidak jelas, meski tujuan adanya SEMA tersebut adalah kepastian hukum dan kesamaan penerapan hukum di lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung. 

Ironi Atas Fakta Heterogenitas Masyarakat Indonesia

Pdt. Albertus M. Patty (Sumber Pribadi). 
Pdt. Albertus M. Patty (Sumber Pribadi). 
Perlu disepakati masyarakat Indonesia memiliki karakteristik yang heterogen mulai dari suku, budaya, agama, dan ras. Dengan adanya heterogenitas pada masyarakat Indonesia ini, tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut harus diakui secara tegas. Hal ini senada dengan pernyataan dari Pdt. Albertus M. Patty (Pendeta Gereja Kristen Indonesia) selaku salah satu pembicara dalam acara Ressyouth On The Road yang diselenggarakan oleh Ressyouth pada 20 Mei 2023 lalu. Beliau menyampaikan jika fenomena perkawinan beda agama adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari, sehingga sikap kita harus menghadapi dengan realistis. Lebih lanjut, beliau juga mengkritisi bahwa pemerintah dalam menghadapi permasalahan perkawinan beda agama tidak didasarkan pada pertimbangan nasional, mulai dari tidak adanya kajian dengan mempertimbangkan kemajemukan bangsa Indonesia dan nilai-nilai kemanusiaan yang diakui dalam UUD NRI 1945 maupun Konvensi-Konvensi Internasional. Sikap pemerintah yang seolah-olah membiarkan permasalahan perkawinan beda agama terus menerus terjadi konflik dikarenakan adanya penafsiran ajaran agama yang sempit, triumphalistik (sikap yang paling menganggap dirinya pemenang dan unggul), dan polaristik (pembagian kelompok masyarakat sesuai dengan kepentingannya) yang justru membuat perpecahan dan diskriminasi. 

Sungguh ironi jika fakta tersebut secara jelas dan nyata telah dihiraukan oleh pemerintah, apalagi dengan adanya SEMA 2/2023 yang kemunculannya patut dipertanyakan. Pertanyaan yang akan terus bergulir antara lain bagaimana kehadiran pemerintah dalam mempertanggungjawabkan atas penghormatan, perlindungan, penegakkan, dan perhatian pada kemajemukan masyarakat Indonesia terhadap hak asasi manusia, khususnya berkaitan dengan sengkarutnya masalah perkawinan beda agama. Padahal seharusnya pemerintah dapat memfasilitasi fenomena perkawinan beda agama ini sebagai wujud mempertanggungjawabkan kewajibannya. Semoga pertanyaan ini tidak dijawab oleh rumput yang bergoyang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun