Tanggal 16 Maret 2018 ini merupakan Hari Bakti Rimbawan (HBR) yang ke-35. HBR biasanya diperingati oleh Rimbawan Indonesia (baik pusat dan daerah) sebagai refleksi terhadap peran Rimbawan dalam pembangunan hutan dan kehutanan di Indonesia. Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan refleksi terhadap perkembangan perhutanan sosial yang sedang didengung-dengungkan, termasuk di Sumatera Barat. Perhutanan sosial kemudian menjadi program nasional yang diklaim sebagai bentuk keberpihakan kepada masyarakat untuk memberikan kesempatan masyarakat mendapatkan manfaat langsung dari sumber daya hutan.
Haruskah Perhutanan Sosial?
Istilah perhutanan sosial merupakan padanan dari terminologi social forestry yang kemudian dijadikan sebagai salah satu program dan kegiatan dalam pembangunan hutan dan kehutanan. Rimbawan mengenal perhutanan sosial melalui skema-skema yang diatur dalam peraturan pemerintah, yaitu Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA), dan kemitraan.Â
Penulis berpendapat, lahirnya skema-skema tersebut cenderung mengkerdilkan istilah perhutanan sosial dalam program, kegiatan, atau skema tersebut. Mungkin, ketika Rimbawan ditanya apakah perhutanan sosial itu, jawabannya mungkin HD, HKm, HTR, HA, atau kemitraan. Jawaban tersebut memang sebagaimana tertuang dalam peraturan dan praktek-praktek yang selama ini dijalankan tentunya mengarahkan jawaban tersebut.
Dalam konteks filosofis, perhutanan sosial seharusnya dimaknai sebagai sebuah strategi yang dirumuskan oleh Rimbawan dalam pengelolaan sumber daya hutan untuk menjamin sumber-sumber penghidupan (livelihoods) masyarakat. Sebagai sebuah strategi, aplikasi perhutanan sosial tentu berdasarkan pertimbangan sosial, ekonomi, dan ekologis dari sumber daya hutan yang dikelola. Perhutanan sosial kemudian merupakan pilihan bagi Rimbawan menyikapi dinamika sosial, ekonomi, dan ekologis tersebut.
Kenapa Rimbawan menjatuhkan pilihan pada perhutanan sosial? Pertanyaan ini dapat dijawab ketika Rimbawan mengetahui dan menggali fakta-fakta terkait dengan pertanyaan-pertanyaan berikut. Apakah kehidupan masyarakat bergantung pada sumber daya hutan? Apakah berkembang nilai-nilai sosial terkait dengan sumber daya hutan?Â
Dan apakah sumber daya hutan harus dilestarikan? Ketiga pertanyaan itu saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Kita kemudian dapat mengambil contoh Sumatera Barat dengan memberikan fakta-fakta terkait dengan pertanyaan-pertanyaan tadi. Ketika Rimbawan dapat menggali fakta-fakta tersebut, maka Rimbawan dapat menjelaskan kenapa harus memilih perhutanan sosial.
Perhutanan Sosial sebagai Strategi
Penulis berpendapat bahwa perhutanan sosial perlu ditempatkan sebagai strategi kehutanan daerah seperti di Sumatera Barat. Kita boleh berbangga dengan komitmen Pemerintah Provinsi Sumatera Barat melalui Dinas Kehutanan sejak tahun 2012 untuk memberikan ruang kelola hutan bagi masyarakat seluas 500 ribu hektar. Luasan itu mencapai 20% dari luas kawasan hutan Sumatera Barat.Â
Persentase ini jauh lebih besar dari target persentase nasional yang hanya 10%. Komitmen yang sudah ada tersebut dapat diperkuat dengan ketegasan untuk menyatakan bahwa visi dan misi pembangunan hutan dan kehutanan Sumatera Barat adalah dengan pendekatan perhutanan sosial.
Jika demikian halnya, perencanaan kehutanan daerah, pemanfaatan hutan, perlindungan hutan, dan rehabilitasi hutan dimungkinkan berbasis perhutanan sosial. Juga dimungkinkan pemberian hak kelola sumber daya hutan kepada korporasi dapat memastikan penggunaan pendekatan perhutanan sosial dalam perencanaan pengelolaan hutannya. Artinya, tindak tanduk Rimbawan dalam pengelolaan hutan dimungkinkan selalu mengarah pada prioritas jaminan sumber-sumber penghidupan masyarakat.
Dampaknya dari sisi produk juga dapat lebih beragam. Rimbawan akan mampu menjamin kemandirian pangan keluarga petani dan masyarakat lokal karena hutan juga diarahkan untuk memproduksi pangan keluarga. Rimbawan juga akan mampu menjamin kemandirian energi lokal dan kemandirian usaha berbasis pemanfaatan sumber daya hutan lokal.Â
Dari sisi sosial, Rimbawan akan mampu menjamin tumbuh kembangnya kearifan lokal dalam perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya alam. Rimbawan juga akan mampu mendorong tata kelola lokal yang adil dan sejahtera.
Keberlanjutan Sumber Daya Hutan
Rimbawan menyadari bahwa prinsip utama pengelolaan sumber daya hutan adalah keberlanjutan atau kelestarian. Maknanya adalah manfaat dan fungsi hutan dapat terjaga dan masyarakat dapat sejahtera. Perhutanan sosial tentunya juga harus bermuara pada keberlanjutan. Ketika Rimbawan dapat memastikan dan menjamin sumber-sumber penghidupan masyarakat, maka yang terjamin adalah generasi saat ini dan generasi mendatang.Â
Oleh karena itu, segala daya dan upaya dengan bekal ilmu kehutanan yang dimilikinya perlu mengandung suatu kerangka pandang yang luas dan jauh ke depan. Rimbawan kemudian dituntut memiliki kemampuan multidisiplin untuk mencapai keberlanjutan yang multidimensi.
Keberlanjutan sumber daya hutan bukan hanya menyangkut dimensi sosial, ekonomi, dan ekologis semata, tetapi juga menyangkut dimensi politik. Oleh karena, perhutanan sosial juga harus menjadi bagian dari politik Rimbawan untuk melestarikan sumber daya hutan. Penguasaan teknis kehutanan dengan baik yang dilengkapi dengan kemampuan politik kehutanan yang jelas perlu menjadi perhatian bagi Rimbawan.
Sekali lagi, perhutanan sosial itu adalah strategi yang dapat diperankan oleh Rimbawan untuk mencapai tujuan pembangunan hutan dan kehutanan. Bakti pada hutan dan kehutanan dapat ditunjukkan dengan konsistensi Rimbawan pada tujuan untuk menjamin sumber-sumber penghidupan masyarakat. Selamat Hari Bakti Rimbawan, Salam Rimbawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H