Tanah adalah suatu entitas yang integral Dalam konteks kesatuan sub-suku, tanah milik kesatuan hukum adat sering disebut sebagai Binua (Kanayaan), Manoa (Iban), Ba- nua (Simpang, Laur, Jeka, Laur, Krio, Lara, Bakati). Konsep kebenuaan, dengan demikian, adalah sebuah konsepsi geo-poli- tik.Â
Tidak heran seorang pemuka adat Dayak Iban di Sarawak dengan tegas melukiskan, "The Dayak Concept on Menoa is equivalent to the concept of state of today". (konsep tentang banua bagi orang Dayak adalah ekuivalen dengan konsep ten- tang negara dewasa ini). Dalam batas banua terdapat tanah yang mengandung kekayaan sumber daya alam. Di dalam ba- nua terdapat rakyat yang memiliki seperangkat aturan (hukum) dan individu-individu yang diangkat oleh rakyat untuk mene- gakkan aturan itu. Memang namanya bukan negara, state, atau etar, atau stat, tetapi banua, binua atau manoa.
Oleh karena itu, tanah bukan semata berfungsi ekonomis. Tetapi terlebih merupakan basis politik, sosial, budaya dan spiritual. Penataruangan banua juga sangat jelas, semacam landuse management. Saya menyebutnya sebagai sistem pertanian asli terpadu (indigenous integrated farming system). Di dalam SPAT ini sekurang-kurangnya terdapat tujuh komponen.
Menurut masyarakat Dayak, dunia dan segala isinya dicip- takan oleh Yang Maha Tinggi. Schärer (1963) dalam bukunya "Ngajuk Religion, the Conception of God Among a South Bor- neo Indigenous peoples" secara terus terang menyatakan, kon- sep ketuhanan pada masyarakat Dayak tidak dapat dipahami hanya melalui kehidupan empiris. Schärer seperti halnya Coo- mans, adalah salah seorang dari sejumput teolog Kristen yang mengakui adanya konsep ketuhanan pada suku bangsa Dayak.
Untuk mengetahui konsep-konsep ketuhanan itu, kata Schä- rer, seseorang harus menelaah sumber-sumber. Sumber yang dimaksud Schärer, tidak lain adalah tradisi lisan. Ia menggam- barkannya sebagai sacred literature (sastra suci). Sastra suci, menurut dia berbeda secara konseptual dan verbal dari yang bersifat profan. Teks-teks lisan itu dilukiskannya sebagai sacred historical truth and reality and contain the devine reve- lations which were manifested at the time at the first human being. They are sacred teaching which determine the whole life, from birth to death, according to the devine laws"
Orang Dayak Kenyah disebut Bunga Malam. Pada Dayak Kanayatn, dia disebut sebagai Daniang, dan menurut orang Simpang disebut sebagai Nek Duata. Orang Ngaju mengenal dua macam pencipta, masing-masing Yang di Atas dan Yang di Bawah. Yang di atas disebut Tingang dan Yang Di Bawah ada- lah Tambon (Naga). Dalam literatur lisan Ngajuk, keduanya lebih dikenal sebagai Mahatala dan Jata. (Lihat Kusni, "San- sana Tingang arungut Jata").
Dalam pada itu, tiap-tiap benda dan makhluk di bumi ini memiliki semangat (the living spirit). Dalam beberapa sub-su- ku, semangat ini disebut Jubata, atau Duata. Misalnya duata ta- nah, duata langit, duata batu, duata kayu, duata ikan, duata binatang. Oleh karena itu, benda-benda baik yang hidup mau- pun yang mati tidak boleh diperlakukan tidak senonoh. Jika melakukannya, pelakunya akan mendapat balasan yang setimpal.
Padi, adalah salah satu ciri penting dalam kehidupan sosial budaya suku bangsa Dayak. Upacara-upacara ritual sepanjang tahun pada dasarnya didasarkan pada siklus penanaman padi. Para ahli sosiologi memandang gejala ini karena suku bangsaDayak adalah masyarakat agraris. Bagi orang Dayak, pandang- an demikian sangat mengecilkan arti sosial budaya mereka. Pekerjaan menanam, memelihara dan menuai padi merupa- kan pusat aktivitas kehidupan dan interaksi sosial. Pada waktu bergotong royong mengerjakan ladang, pemuda-pemudi menu- tur pantun dan nyanyian. Orang-orang tua memberikan petun- juk tentang tradisi yang mesti dikuasai oleh generasi muda mereka.
Padi tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan religius suku bangsa Dayak. Lingkaran tahun liturgis agama asli Suku Da- yak dimulai ketika pada saat musim menebas dan menebang untuk pembukaan ladang baru. Dalam tiap tahapan pekerjaan terdapat upacara-upacara ritual. Upacara itu berpuncak setelah masa panen selesai.
Dalam upacara-upacara ritual, padi disamakan dengan ma- nusia. Mereka memiliki samangat smangir (the living spirits). Samangat smangir itu harus dirawat dan dihormati supaya me- reka betah untuk tinggal bersama manusia. Anggota suku yang selalu mendapat banyak padi dalam berladang dianggap samp- badi (orang beriman, taat dan taqwa).
Pesta-pesta adat pasca panen (Naik Dango pada suku Dayak Kanayatan, Gawai Dayak di Kalbar dan Sarawak, Pesta Kaamatan di Sabah) adalah puncak pesta-pesta ritual yang berhubungan dengan siklus perladangan. Pesta itu adalah wujud nya- ta rasa syukur dan ungkapan harapan untuk mendapatkan hasil yang berlimpah pada tahun mendatang.