Mohon tunggu...
Ferdianus Gato
Ferdianus Gato Mohon Tunggu... Relawan - why?

voluntarisme

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Susah Sinyal: Ironi Anak Perbatasan Ende-Nagekeo

27 April 2020   20:07 Diperbarui: 27 April 2020   20:14 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
POS-KUPANG.COM/LAUS MARKUS GOTI

(Sebuah Catatan Lepas)

Sebagai Rujukan

"Kalau ke pantai tidak berani sendiri, mama yang temani, tapi kalau mama sibuk tak bisa ke pantai".

Demikian ungkapan memprihatinkan salah satu siswa sekolah dasar sebagaimana dikutip dari harian Pos-Kupang.com edisi 21 April 2020. 

Sepintas beberapa orang yang membaca penggalan kalimat di awal tulisan ini mungkin akan marajutnya dengan konsep tentang liburan, rekreasi keluarga atau aktifitas libur musim panas lainnya. Namun tangkapan sederhana ini akan berubah emosinya bilamana berita tersebut di atas kita akses. Kesan pertama kita pasti dipengaruhi oleh headline-nya: Derita Anak Perbatasan Ende-Nagekeo Cari Signal di Pantai untuk Belajar Online, TV Juga Tak Punya.

Pertama kali membaca headline berita tersebut, perhatian saya terfokus pada penggunaan term derita. Sebuah term yang seakan secara mendalam menjelaskan situasi orang-orang yang tengah mengalami kesulitan lahir-batin. Fokus ini sekiranya terlepas dari ekspresi subjetif saya terhadap kemahiran para jurnalis dalam meramu setiap kata.

Dalam filsafat Barat ada suatu tradisi panjang yang mengajarkan bahwa "berpikir sama dengan berada". Catatan lepas ini sedikit tidaknya mengafirmasi salah satu situasi dan kondisi kami di Desa Ondorea Barat, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Provinsi NTT, Indonesia. 

Perlu diberi penekanan bahwa wilayah Desa Ondorea Barat merupakan wilayah perbatasan antara Kabupaten Ende dan Kabupaten Nagekeo. Dua kabupaten besar di wilayah flores-NTT. Sayangnya wilayah yang strategi ini tidak sinkron dengan ketersediaan jaringan telekomunikasi. Salama ini kami menghibur diri dengan menyematkan kampung halaman kami ini sebagai sebuah kampung unik; kawasan bebas sinyal.

Berada di era seperti ini tentunya memungkinkan sebagian besar populasi manusia  menikmati perkembangan dan kemajuan teknologi; menikmati fitur-fitur internet yang menarik; memanfaatkan banyak platform yang memudahkan pekerjaan, berkeliling dunia dengan gadget; up to date, mengakses banyak hal yang bukan hanya memuaskan keinginan tetapi juga memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 

Namun sangat kontras dengan kehidupan kami.  Bagi kami masyarakat kawasan bebas sinyal, instrument-instrumen tersebut di atas adalah sesuatu yang 'mahal'. Revolusi industri 4.0 mungkin suatu yang amat sangat aneh di telinga masyarakat kami pada umumnya.  Masyarakat secara masal  gagap teknologi (gaptek).

Kami harus menempuh perjalanan yang jauh; ke pantai atau ke titik-titik tertentu yang dijangkau oleh sinyal dari pulau tetangga. Jika tidak ingin memanjat pohon hanya  untuk mengirim pesan via SMS atau sekadar menelpon anggota keluarga di kota. 

Jadi, tidak mengherankan bahwa hampir setiap hari akan dijumpai beberapa orang di pesisir pantai dan sibuk dengan gadget-nya. Itu pun bila cuaca mendukung, jika tidak maka pencariannya sia-sia. HP Android mungkin tidak akan bersahabat dengan kami. Bukan soal kami tidak mahir menggunakannya. Tentu kalian sudah mulai paham apa alasannya.

Belajar dari rumah (?)
Sejak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Corona Virus 2019 (Covid-19) sebagai pandemi, dunia seakan dibangunkankan dan bergerak untuk memerangi penyebarannya. Kepanikan tentu terlihat di mana-mana. Dari pusat hingga ke desa-desa. Suasana yang mungkin kami rasakan ialah aktifitas penjagaan yang ketat oleh aparat keamanan dan tim medis di area perbatasan. 

Sekali lagi desa kami adalah wilayah perbatasan antara Kabupaten Ende dan Kabupaten Nagekeo. Hemat saya aparat keamanan dan tim medis yang bertugas/ditugaskan di tempat kami ini bukan hanya resah dengan penyebaran wabah virus corona tetapi juga jaringan telekomunikasi yang sama sekali tidak membantu atau bahkan menghambat pekerjaan mereka sebagai garda terdepan dalam memerangi covid-19. Informasi daring tentu tidak akan mudah dijangkau sebagaimana mestinya.

Dampak kedua yang sangat dirasakan adalah ditutupnya sekolah-sekolah. Sebagai informasi, di Desa Ondorea Barat terdapat bebarapa persekolahan seperti TK/PAUD, SDK dan SMP. Sekolah sebagai mitra masyarakat dalam melaksanakan fungsi pendidikan, tentu untuk sementara kegiatan belajar mengajarnya lumpuh total. 

Lantas situasi ini seakan diselamatkan oleh wacana belajar dari rumah. Toh partisipasi sadar dan aktif untuk belajar, banyak ditentukan oleh tugas-tugas belajar dan pengarahan edukatif yang dilancarkan di sekolah. 

Bagi masyarakat pedesaan seperti kami tentu sumber-sumber belajar akan sangat minim bila semua siswa diarahkan untuk belajar dari rumah. Prinsip minus malum mungkin dapat membenarkan aktifitas ini. Keleluasaan mengakses media online akan sangat penting. Sebagian besar sarana-prasarana serta proses pembelajarannya berkaitan erat dengan media online.

Belajar dari rumah dan wacana pemerintah pusat terkait penyediaan fitur-fitur belajar online yang bisa diakses oleh seluruh pelajar dan mahasiswa adalah nihil terwujud di kampung halaman kami ini. Desa kami tidak ada sinyal!  Tidak semua punya TV di rumah. Jika ada; mungkin chanel yang direkomendasikan oleh pemerintah tak terjangkau jaringannya. 

Bukan soal kepada siapa kami harus mengaduh, tetapi uraian ini sekaligus mengafirmasi presensi para pelajar; anak perbatasan [berpikir sama dengan berada]. Terhadap realita ini, saya senapas dengan salah satu pemikir besar Filsafat Barat Modern J.J. Rousseau; bahwa dalam keadaan 'primitif', manusia bergantung pada benda-benda, tidak pada sesama.

Bersambung
Perlu disadari bahwa kemiskinan golongan-golongan tertentu di dalam masyarakat bukanlah akibat dari kekurangan secara individual, akan tetapi sebagai konsekwensi logis dari kelemahan kedudukan masyarakat tertentu dalam proses kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya masyarakat. 

Pada titik ini ijinkan saya mempertanyakan sifat subsider negara dalam menyediakan prasarana-prasarana yang diperlukan masyarakat agar dapat merasa sejahtera. Sebab tiap-tiap orang mempunyai hak yang sama atas keseluruhan sistem yang paling luas dari kebebasan-kebebasan dasar yang sama sesuai dengan sistem kebebasan serupa bagi semua orang (Rawls).

Desa kami butuh tower BTS, terkhusus dalam situasi dan kondisi seperti saat ini. Sangat sulit bagi anak sekolah khususnya, dalam mengakses internet. Kami tidak diliburkan dari sekolah; dari perguruan tinggi; dari  perkantoran tempat kami bekerja. Kami dirumahkan dan bekerja/belajar dari rumah. Sekarang kami sangat kesulitan dalam menjalankan proses bekerja dari rumah atau belajar dari rumah (homeschool) sebagaimana ditegaskan oleh pemerintah. Apa ia, keputusan dari pemerintah pusat ini tidak berlaku untuk warga pedesaan seperti kami?

Semoga catatan lepas beserta beribu harapan yang terselip pada setiap kata dan tersamar di tiap kalimatnya mengetuk hati semua mereka; pihak-pihak yang lebih bertanggung jawab terhadap situasi ini dan menaruh kepedulian terhadapnya. Semoga masalah usang ini segera teratasai. 

Sebab banyak yang ingin merintih tapi jenuh. Ingin mengaduh tapi bingung. Perasaan ini juga menyertakan teman-teman yang terpaksa menahan keinginan mereka untuk mendapatkan keamanan dan ketenangan di kampung halaman di tengah wabah pandemi dan tetap bertahan di kota-kota besar; di zona merah penyebaran covid-19. Hingga hari ini mereka terjebak suasana genting terkait covid-19. Tak sekadar demi keselamatan, tatapi juga demi tugas; demi perkuliahan. Karena jika tidak demikian, mereka akan 'terjebak' di kawasan bebas sinyal.

Teriring salam dari anak-anak desa perbatasan Kabupaten Ende -- Kabupaten Nagekeo. Salah satu desa terpencil; bagian dari NKRI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun