Maya menggenggam tangan Damar erat-erat. "Jadi... itu dia? Arwah Nyai Sari yang mengganggu kita?" tanyanya dengan suara bergetar.
Pak Rusdi mengangguk pelan. "Kemungkinan besar. Tapi dendam sebesar itu tidak mudah dihapuskan. Jika kalian ingin menyelesaikannya, kalian harus memutuskan kutukannya."
Ritual Penebusan
Damar dan Maya kembali ke rumah tua itu, membawa bunga melati, dupa, dan kain putih seperti yang disarankan Pak Rusdi. Di tengah ruangan tempat cermin itu hancur, Damar mulai mengatur benda-benda ritual. Ia menggambar pentagram di lantai dengan kapur putih, menempatkan setiap benda di sudutnya.
"Kita harus memanggil arwahnya," kata Damar sambil menyalakan dupa.
Maya menelan ludah. "Kamu yakin ini aman?"
Damar menggeleng. "Tidak. Tapi ini satu-satunya cara."
Ia menutup matanya dan mulai mengucapkan mantra dari sebuah buku tua yang ditemukan di dalam kotak di gudang. Perlahan, suasana ruangan berubah. Angin dingin berhembus meski tidak ada jendela yang terbuka. Lampu yang tadinya redup kini berkedip-kedip dengan ritme aneh.
Bayangan seorang wanita muncul di tengah pentagram. Sosoknya menyerupai Nyai Sari, dengan wajah penuh amarah namun juga dipenuhi kesedihan. Mata merahnya bersinar menembus kegelapan.
"Apa yang kau inginkan dariku?" suaranya bergema, serak namun memikat.
Damar berdiri tegap. "Kami tahu dendam yang kau simpan. Tapi dendam ini hanya membuatmu terjebak di sini. Kau bisa bebas, tapi kau harus melepaskan amarahmu."